This was a whole lot more than a simple affair. This was a love story.*)
Hanya itu saja yang bisa dia bilang tadi malam. Hanya beberapa kata "Aku benci kamu!." Aku pun masih tidak mengerti sebabnya. Tidak ada pertengkaran semalam. Hanya sebuah perdebatan saja. SBY dan JK sedang bicara bagaimana caranya supaya RUU Tipikor dapat segera disahkan jadi UU, lalu bagaimana mereka menghandle isu-isu tentang Hak Asasi Manusia, hingga hutang luar negeri yang selalu jadi perdebatan sejak bangsa ini mengenal hingga akhirnya bisa melunasi hutang dari IMF.
Sedangkan, aku dan dia berdebat panjang tentang urusan lebaran nanti. Maunya, segala sesuatu sudah mulai dipersiapkan dari sekarang. Kue-kue kaleng untuk tamu. Minyak Goreng yang harganya selalu melambung tinggi menjelang lebaran. Baju baru, kerudung baru, dan segala tetek bengek lainnya yang tidak pernah aku mau dengar. Aku hanya diam saja. Tak ada komentar mengalir dari mulutku.
Ternyata, dia malah tahu penyebab diamku.
"Kamu kok diem? Kamu nggak suka?
Aku tetap diam
"OK. Kamu boleh nggak suka dengan caraku, that will not stopping me!"
Aku masih diam. Mengikuti kemana saja langkahnya. Aku sengaja biarkan dia yang memilih saja semua kebutuhan itu. Aku tidak peduli walau pada akhirnya tagihan kartu kredit akan membengkak. Aku biarkan saja. Aku menunggunya didalam mobil. Aku mencoba mencari kesibukan sendiri sambil menunggu dia datang.
*****
Pikiranku mengarah pada perempuan itu. Perempuan yang kutemui dalam sebuah jamuan makan malam di pesta ulang tahun sahabatku. Hanya dari perkenalan semata, tapi aku serasa masih menginginkannya. Aku tahu ia sudah bersuami, sama sepertiku yang sudah beristri. Kita saling memahami satu sama lain. Seperti ketika suatu siang ia mengajakku lunch bersama. Obrolan yang kita bahas bukan masalah kejenuhan berumah tangga atau pun hal-hal lainnya yang masih berkaitan dengan keluarga dan rumah tangga.
Bukan saat yang tepat untuk berkeluh-kesah tentang keluarga dan rumah tangga serta tetek bengeknya dengan seseorang yang baru kita kenal. Kita bisa bicara panjang lebar tentang debat capres dan cawapres yang kehilangan esensinya sebagai debat publik. Belum lagi tentang serangkaian manuver politik kontestan pemilu capres. Ia terlihat paham sekali isu-isu yang berkembang saat ini. Mulai dari bagaimana neo-lib menancapkan tiangnya di negeri ini hingga konsep ekonomi kerakyatan yang tidak pernah menyentuh masalah rakyat yang paling utama. Ia juga tidak suka dengan konsep pemilu yang satu putaran saja. Tidak demokratis katanya.
Bukannya bermaksud membandingkan, tetapi itulah yang kusuka darinya. Tidak seperti istriku yang tahunya hanya begitu-begitu saja. Semakin cepat pemilu ini selesai, semakin cepat pula keadaan ekonomi akan membaik. Artinya, ekonomi rumah tangga tidak akan terlalu banyak menemui hambatan terutama masalah pembiayaan hidup ini yang tidak pernah henti-hentinya hanya untuk meyakinkan bahwa kita berdua besok masih bisa makan nasi. Tidak ada gunanya membahas visi dan misi capres, karena segala sesuatunya seperti sudah ditetapkan sebelumnya. Makanya, aku tidak pernah lagi mau membahas hal yang begituan dengannya.
Sudah dua bulan ini aku mengenalnya dan aku merasa dekat dengannya. Setiap membayangkannya, aku ingin segera menemuinya. Aku ingin selalu bersamanya kalau bukan karena bayangan istriku yang selalu menghujam jantungku. Harus kuakui, masih lebih baik mengangkat batu ke puncak gunung daripada bertengkar dengan istriku. Sangat tidak menyenangkan sekali rasanya ketika harus menghadapi marah seorang istri. Mungkin itu sebabnya, banyak suami yang kelihatan tangguh namun ternyata malah lebih takut sama istrinya sendiri. Dan aku termasuk salah satunya.
Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengannya. Aku tidak berhubungan dengannya lewat facebook, e-mail, atau malah push-mail dari Blackberry. Aku pun tidak pernah mengirimkan SMS padanya. Bukannya aku menghindari hal-hal yang seperti itu. Aku hanya tidak ingin berlebihan dalam menggunakannya. Hanya sesekali saja lewat telepon, hanya untuk mengajak bertemu. Dalam suatu pertemuan denganku, ia bercerita bahwa ia sangat menikmati hubungan ini. Aku pun demikian. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Aku rasa wajar saja bila aku melakukannya. Hanya pertemanan biasa saja, tidak lebih. Dan itu tentu saja tidak akan membahayakan pernikahanku-juga pernikahannya, walau tendensi menuju arah perselingkuhan selalu ada.
Semakin lama, semakin lucu. Tidak pernah ada rasa curiga dari istriku. Aku masih bisa menyembunyikannya. Aku tidak sedang menuai badai karena aku tidak (atau belum) melibatkan perasaanku dengan perasaannya. Tidak ada cinta dalam hubunganku dengannya. Kemungkinan itu masih selalu ada, dan aku tidak ingin memulainya duluan. Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat dengannya. Kita jadi lebih sering bertemu. Entah bagaimana pun caranya ada saja kesempatan. Terlebih lagi istriku ternyata lebih senang menghabiskan waktunya di rumah saja.
Kesempatan itu memang sudah begitu adanya atau memang diciptakan. Waktu selalu membawaku bersamanya. Menghabiskan waktu menonton Transformers 2 di blitz megaplex. Duduk bersebelahan sambil menenggak Coca-cola Zero dan Pepsi Blue. Berlanjut hingga sekedar minum kopi di Kopi Tiam Oey. Semua itu berlalu begitu saja. Tidak ada suara dering handphone yang mengganggu. Pun ketika akhirnya bibirnya menempel pada bibirku hingga aku bisa rasakan detak jantungnya. Semua itu terjadi dan berlalu begitu saja.
*****
Aku sedang menulis SMS hingga sebuah pukulan keras menghantam kaca jendela mobilku. Rupanya istriku sudah datang dan menyuruhku untuk membantunya mengangkat semua barang belanjaan. Aku masih belum beranjak sampai SMS darinya tiba:
"weekend ke Bandung??? Hmmm… boleh juga tuh. You'll pick me right? Miss u!"
Kelapa Gading, 3 Juli 2009
*) Time Magazine, 13 July 2009, p.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar