Apa kau dari bintang angkasa
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma
Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta
Menurut imajinasi penulisnya, salah seorang adipati Tuban pada abad ke-15 bernama Wilotikto. Nama itu mengingatkan kita pada ibukota kerajaan Majapahit, Wilwatikta. Tapi, kono Wilotikto berasal dari Oei Lo Tik. Adipati ini terkenal senang kawin. Meskipun punya 50 orang istri namun belum mendapatkan seorang anak pun. Bisa ditafsirkan, mungkin Adipati Wilotikto ini adalah “orang kasim” yang dikirm kaisar untuk menjadi konsulnya. Tetapi entah bagaimana, sebetulnya seorang di antara 50 orang istrinya itu ada juga yang melahirkan. Renggoning namanya, dengan putra bernama Samik atau Santang.
Dikisahkan, Semarang 500 tahun yang lalu, Samik datang dari Tuban dan bernyanyi semerdu hatinya untuk menarik perhatian Lay Kun, putri tunggal keluarga Tan Kim Seng. Lay Kun sebetulnya menaruh perhatian juga pada Samik. Namun, ayahnya tidak bisa menerima sehingga Samik babak-belur dihajar oleh Tan Kim Seng. Dalam kisah ini, Tan Kim Seng adalah ahli obat-obatan tradisional yang datang ke Jawa bersama rombongan Panglima Ceng Ho.
Tan Kim Seng tidak mungkin menerima Samik karena sudah berjanji akan menerima lamaran Adipati Wilotikto. Bandot tua berumur 71 tahun ituberjanji akan menceraikan semua istrinya bila mendapatkan yang ke-51. Sebenarnya, kedatangan Samik pada Lay Kun karena ditugaskan oleh ibunya, Renggoning, untuk merebut cintanya Lay Kun sehingga Renggoning tidak sampai menjanda.
Ketika hari yang dinanti tiba, Adipati Wilotikto beserta rombongan besar dari Tuban melamar Lay Kun di Semarang. Namun gadis itu terguncang jiwanya dan pingsan. Adipati menyangka Lay Kun pingsan saking terlalu bahagia. Kenyataannya, Lay Kun hanya dapat disembuhkan oleh suara seruling yang ditiup Samik, yang datang menyamar sebagai Santang, pemain seruling dari Pasundan. Sayang, upaya Santang akhirnya terbongkar juga ketika sedang bercinta dengan Lay Kun. Santang dihukum keras dihadapan Adipati Wilotikto.
Pertumpahan darah tak terhindarkan. Adipati menikam Samik. Renggoning, ibunya Samik murka dan menikam Adipati. Adipati yang sama sekali tidak merasa punya anak dan tidak tahu bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri. Semua pengawal Wilotikto ikut melampiaskan kekesalannya pada Wilotikto yang terlanjur jadi smbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan.
Membaca Siau Ling berarti mengajak kita untuk menelusuri kembali sejarah yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa hari ini. Berlatar belakang abad ke-15, buku ini bercerita tentang cinta sepasang anak manusia yang kandas karena tingkah laku penguasa yang sewenang-wenang. Siau Ling sendiri bukanlah nama pemeran utama dalam buku ini,. Secara morfologi, siau ling adalah kata asli Bahasa Cina yang diseap oleh Bahasa Melayu, seringkali ditambahkan –er, jadi seruling.
Walaupun Siau Ling mengambil latar belakang tahun 1414 dan mengaitkan dengan sejarah, seluruh kisah didalamnya imajinatif. Melalui buku ini, pembaca diajak lebih mengenal sejarah kerajaan di Jawa, terutama Kerajaan Majapahit. Lalu, masuknya “kaum pendatang” ke Pulau Jawa hingga akulturasi budaya antara masyarakat Jawa dengan etnis pendatang Tionghoa. Beberapa catatan sejarah didalamnya bisa dijadikan sebagai rujukan tentang asal-muasal hubungan Nusantara dan Tongkok serta sejarah kedatangan kaum Tionghoa yang tersebar di Pantai Utara, terutama Semarang dan Tuban.
Siau Ling lahir dalam periode yang sangat memprihatinkan (tahun 2000-2001). Indonesia sedang mengalami masa-masa penyadaran yang luar biasa. Masyarakat Indonesia seolah berada dalam situasi tidak berdaya, terhimpit dalam masalah politik, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat berada dalam tatanan yang acak. Mirip dengan situasi abad ke-15 dan 17 dimana setelah runtuhnya Kerajaan-kerajaan besar, muncul raja-raja kecil yang menunggu masuknya penguasa kolonial. Begitupun Indonesia dengan Otonomi Daerahnya yang semakin menegaskan keberadaan penguasa-penguasa daerah.
Dalam konteks kekinian, Siau Ling mengajarkan pada kita agar setiap pemimpin senantiasa mengayomi rakyatnya. Pemimpin harus rendah hati dan membela kebenaran, termasuk diberi tahu bila sewaktu-waktu ia telah melahirkan ‘anak haram’. Kita tidak dilatih untuk tidak bersandar pada idola-idola karena pada taraf imajinasinya, Remy Sylado tidak memberi kita seorang pun pahlawan.
Melihat kembali pada judul sebagai “drama musik kemempelaian budaya” kita diajak melihat bagaimana para penghuni Nusantara menekankan keasliannya agar tidak dijarah dan menggarisbawahi toleransinya dengan para pendatang. Ini bisa disebut sebagai “pembaruan” yang luar biasa. Persaingan dan pertikaian tidak didasarkan kepada perbedaan keturunan, warna kulit, dan agama. Justru, malah karena perebutan kepentingan, untuk mendapatkan keuntungan secara politis atau pun secara ekonomi.
Melalui Siau Ling, kita diajarkan untuk saling menghargai keragaman budaya sebagai jati diri bangsa yang majemuk. Masyarakat majemuk yang tidak cengeng tetapi juga tidak bengis. Bersama seluruh dunia, saat ini Indonesia sedang menjalani proses demokratisasi dan internasionalisasi yang luar biasa cepatnya. Kedua proses itu tidak hanya mengubah kita, tetapi juga menghendaki peran dan sumbangan kita dengan proaktif mengadakan perubahan dan memberikan sumbangsih terbaik.
Judul : Siau Ling: Drama Musik Kemempelaian Budaya
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2003
Genre : Drama Musikal
Tebal : xv + 136 hal.
ISBN : 979-9023-47-5
Paninggilan, Ciledug
11 Maret 2010
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma
Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta
Menurut imajinasi penulisnya, salah seorang adipati Tuban pada abad ke-15 bernama Wilotikto. Nama itu mengingatkan kita pada ibukota kerajaan Majapahit, Wilwatikta. Tapi, kono Wilotikto berasal dari Oei Lo Tik. Adipati ini terkenal senang kawin. Meskipun punya 50 orang istri namun belum mendapatkan seorang anak pun. Bisa ditafsirkan, mungkin Adipati Wilotikto ini adalah “orang kasim” yang dikirm kaisar untuk menjadi konsulnya. Tetapi entah bagaimana, sebetulnya seorang di antara 50 orang istrinya itu ada juga yang melahirkan. Renggoning namanya, dengan putra bernama Samik atau Santang.
Dikisahkan, Semarang 500 tahun yang lalu, Samik datang dari Tuban dan bernyanyi semerdu hatinya untuk menarik perhatian Lay Kun, putri tunggal keluarga Tan Kim Seng. Lay Kun sebetulnya menaruh perhatian juga pada Samik. Namun, ayahnya tidak bisa menerima sehingga Samik babak-belur dihajar oleh Tan Kim Seng. Dalam kisah ini, Tan Kim Seng adalah ahli obat-obatan tradisional yang datang ke Jawa bersama rombongan Panglima Ceng Ho.
Tan Kim Seng tidak mungkin menerima Samik karena sudah berjanji akan menerima lamaran Adipati Wilotikto. Bandot tua berumur 71 tahun ituberjanji akan menceraikan semua istrinya bila mendapatkan yang ke-51. Sebenarnya, kedatangan Samik pada Lay Kun karena ditugaskan oleh ibunya, Renggoning, untuk merebut cintanya Lay Kun sehingga Renggoning tidak sampai menjanda.
Ketika hari yang dinanti tiba, Adipati Wilotikto beserta rombongan besar dari Tuban melamar Lay Kun di Semarang. Namun gadis itu terguncang jiwanya dan pingsan. Adipati menyangka Lay Kun pingsan saking terlalu bahagia. Kenyataannya, Lay Kun hanya dapat disembuhkan oleh suara seruling yang ditiup Samik, yang datang menyamar sebagai Santang, pemain seruling dari Pasundan. Sayang, upaya Santang akhirnya terbongkar juga ketika sedang bercinta dengan Lay Kun. Santang dihukum keras dihadapan Adipati Wilotikto.
Pertumpahan darah tak terhindarkan. Adipati menikam Samik. Renggoning, ibunya Samik murka dan menikam Adipati. Adipati yang sama sekali tidak merasa punya anak dan tidak tahu bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri. Semua pengawal Wilotikto ikut melampiaskan kekesalannya pada Wilotikto yang terlanjur jadi smbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan.
Membaca Siau Ling berarti mengajak kita untuk menelusuri kembali sejarah yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa hari ini. Berlatar belakang abad ke-15, buku ini bercerita tentang cinta sepasang anak manusia yang kandas karena tingkah laku penguasa yang sewenang-wenang. Siau Ling sendiri bukanlah nama pemeran utama dalam buku ini,. Secara morfologi, siau ling adalah kata asli Bahasa Cina yang diseap oleh Bahasa Melayu, seringkali ditambahkan –er, jadi seruling.
Walaupun Siau Ling mengambil latar belakang tahun 1414 dan mengaitkan dengan sejarah, seluruh kisah didalamnya imajinatif. Melalui buku ini, pembaca diajak lebih mengenal sejarah kerajaan di Jawa, terutama Kerajaan Majapahit. Lalu, masuknya “kaum pendatang” ke Pulau Jawa hingga akulturasi budaya antara masyarakat Jawa dengan etnis pendatang Tionghoa. Beberapa catatan sejarah didalamnya bisa dijadikan sebagai rujukan tentang asal-muasal hubungan Nusantara dan Tongkok serta sejarah kedatangan kaum Tionghoa yang tersebar di Pantai Utara, terutama Semarang dan Tuban.
Siau Ling lahir dalam periode yang sangat memprihatinkan (tahun 2000-2001). Indonesia sedang mengalami masa-masa penyadaran yang luar biasa. Masyarakat Indonesia seolah berada dalam situasi tidak berdaya, terhimpit dalam masalah politik, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat berada dalam tatanan yang acak. Mirip dengan situasi abad ke-15 dan 17 dimana setelah runtuhnya Kerajaan-kerajaan besar, muncul raja-raja kecil yang menunggu masuknya penguasa kolonial. Begitupun Indonesia dengan Otonomi Daerahnya yang semakin menegaskan keberadaan penguasa-penguasa daerah.
Dalam konteks kekinian, Siau Ling mengajarkan pada kita agar setiap pemimpin senantiasa mengayomi rakyatnya. Pemimpin harus rendah hati dan membela kebenaran, termasuk diberi tahu bila sewaktu-waktu ia telah melahirkan ‘anak haram’. Kita tidak dilatih untuk tidak bersandar pada idola-idola karena pada taraf imajinasinya, Remy Sylado tidak memberi kita seorang pun pahlawan.
Melihat kembali pada judul sebagai “drama musik kemempelaian budaya” kita diajak melihat bagaimana para penghuni Nusantara menekankan keasliannya agar tidak dijarah dan menggarisbawahi toleransinya dengan para pendatang. Ini bisa disebut sebagai “pembaruan” yang luar biasa. Persaingan dan pertikaian tidak didasarkan kepada perbedaan keturunan, warna kulit, dan agama. Justru, malah karena perebutan kepentingan, untuk mendapatkan keuntungan secara politis atau pun secara ekonomi.
Melalui Siau Ling, kita diajarkan untuk saling menghargai keragaman budaya sebagai jati diri bangsa yang majemuk. Masyarakat majemuk yang tidak cengeng tetapi juga tidak bengis. Bersama seluruh dunia, saat ini Indonesia sedang menjalani proses demokratisasi dan internasionalisasi yang luar biasa cepatnya. Kedua proses itu tidak hanya mengubah kita, tetapi juga menghendaki peran dan sumbangan kita dengan proaktif mengadakan perubahan dan memberikan sumbangsih terbaik.
Judul : Siau Ling: Drama Musik Kemempelaian Budaya
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2003
Genre : Drama Musikal
Tebal : xv + 136 hal.
ISBN : 979-9023-47-5
Paninggilan, Ciledug
11 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar