Tiap manusia memiliki penderitaan yang tak terucap. Ada kalanya kenyataan terasa sangat kejam.
(Hal. 121)
Bila ada orang yang mampu untuk merasakan penderitaan lahir dan batin akibat penyakit yang terlanjur menjalar hingga seluruh tubuh pastilah ia adalah seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa. Kekuatan yang mampu melewati batas keinginan hingga terpaksa menyerah dan kalah akibat penyakitnya jua. Terkadang keinginan tak seiring sejalan dengan kenyataan. Terlebih lagi, ketika mendapati fakta bahwa penyakit yang mendekapnya adalah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Kalaupun ada, itu hanya bersifat memperlambat dan menghalau laju penyakit itu untuk sementara saja.
Memang kematian adalah sesuatu yang tak bisa dihindari lagi namun Aya berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia harus membalas budi orang-orang yang berbaik hati pernah membantu dan menolongnya. Sehingga, Aya menemukan alasan untuk tetap bertahan dalam kehidupannya yang demikian sebagai penderita cacat. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Aukai Collins, seorang mualaf yang dalam memoarnya ''My Jihad''*) selalu merasa diintai oleh kematian ketika berada di medan perang (baca: Jihad) dan ia selalu memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup.
Hanya saja, Aya sudah tahu, cepat atau lambat, kematian akan menyambutnya. Namun Aya tidak mau berpikir tentang kematian itu sendiri. Ia memiliki optimisme yang kuat untuk kehidupannya kelak. Aya tidak mau menyerah dulu sebelum berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Sayang sekali kalau harus mati tanpa berjuang dulu, begitu tulisnya.
Dalam buku ini dimuat juga catatan dari dokter yang menangani Aya, Dokter Yamamoto Hiroko dan ibu kandung Aya, Shioka Kito. Dalam tulisannya, dr. Hiroko menjelaskan secara singkat mengenai ihwal penyakit yang biasa disingkat dengan SCA itu (mirip inisial penulis favorit saya) beserta gejala-gejala yang biasa dialami penderita.
Diketahui, Aya mengidap penyakit bernama Spinocerebellar Ataxia yang mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan dalam daya kerja syaraf dalam tubuh. Akibatnya, sel-sel saraf sumsum tulang belakang, otak kecil, dan penghubung otak besar-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, penyakit itu mengakibatkan hilangnya fungsi pergerakan otot semua bagian tubuhnya secara perlahan.
Tidak hanya itu saja, kesan personal juga ditunjukkan dalam catatan dr. Hiroko seputar momen-momen ketika mendampingi Aya. Mulai dari pertemuan dengan Ibu Aya hingga saat-saat menghadapi Aya secara langsung. Termasuk konflik batin yang dirasakannya usai menanggapi pertanyaan-pertanyaan Aya. Dari situ kita dapat belajar bahwa hanya dengan bersabar dan memahami lebih dalam keadaan penyakit itu kita dapat berempati dan berkomunikasi lebih baik penderita.
Catatan Ibu Aya kental sekali dengan nuansa yang lebih personal-naluri alamiah seorang ibu. Tentang perasaan seorang ibu yang terus mengusahakan pengobatan terbaik demi kesembuhan anaknya. Sekaligus juga menghadapi konflik dalam batinnya mengenai kehidupan anaknya kelak. Termasuk menanggung kepahitan ketika Aya kerap menyalahkan diri sendiri atas keadaan kehidupannya yang demikian. Belum lagi beban atas kehidupan adik-adik Aya yang lain, karena perhatiannya lebih tercurah pada Aya.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Menarik sekali untuk membaca kisah perjuangan seorang gadis kecil yang beranjak dewasa namun harus kehilangan semua impian masa mudanya. Semua impian itu harus Aya bungkus rapat-rapat dalam setiap usaha untuk mempertahankan hidup, demi bertahan dari penyakit yang perlahan menggerogoti dirinya. Aya sendiri terus berkutat dengan dirinya sendiri yang masih punya banyak keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah, bekerja, atau sekedar terjun ke masyarakat.
Barangkali saja, bila penyakit itu tidak terlanjur menggerogoti raganya, Aya akan mampu sekolah hingga jenjang universitas dan bekerja menjadi seorang Pustakawati. Kenyataan memang terkadang tidak selalu menyenangkan. Aya kehilangan kehidupannya yang dulu penuh dengan semangat dan cita-cita. Kalaupun ada yang tersisa, Aya harus tetap semangat demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Walaupun begitu, Aya tidak sendirian. Banyak teman-temannya baik sebaya, senasib, maupun yang lebih tua, yang peduli dan menaruh perhatian khusus kepadanya. Itulaah sebabnya, Aya merasa masih layak untuk hidup. Demi membalas kebaikan orang-orang tadi yang telah berjasa membantunya-terutama kepada ibunya.
Melalui buku ini, jelas bahwa alasan dibalik penerbitannya memiliki niat yang mulia bagi pembacanya untuk lebih menghayati nilai-nilai perjuangan; bahwa segala sesuatunya harus tetap diusahakan dan diperjuangkan. Apalagi dalam menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan-dan belum ditemukan obatnya-sekalipun akan berujung pada kematian.
Menghargai kehidupan kadang begitu sulit-sekalipun dalam keadaan normal. Namun, dalam posisi Aya seberapa pun kecilnya nilai kehidupan tentu jauh lebih berarti. Betapa daya juang dalam penderitaan semacam itu membuat kita belajar supaya bisa lebih memaknai dan mensyukuri atas segala nikmat dan karunia yang Tuhan berikan.
Menghayati lebih jauh, kita akan diajak untuk lebih memaknai kasih sayang dalam keluarga. Terutama mengenai kasih sayang seorang ibu. Maka benarlah kata satu lagu anak-anak, kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.
Judul: 1 Liter of Tears
Penulis: Aya Kito
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2005
Tebal: viii + 156 hal.
Genre: Memoar
Pharmindo, 14 September 2010. 22:54.
*) lebih lanjut baca ''My Jihad'', Aukai Collins, Penerbit Hikmah, 2006.
NB: Mengenai 1 Liter of Tears, pernah diangkat menjadi sinema televisi di negerinya. Lebih detil bisa disimak di Youtube. Konon, di Indonesia juga pernah dipentaskan di layar sinetron. Tapi, saya lupa kapan dan siapa yang memerankannya. Mohon pembaca maklum adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar