Kemanapun aku pergi
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)
Aku ingat pada senyuman itu. Senyum merekah menyambut pagi yang tak pernah ramah. Senyumnya selalu ada disitu, menunggu bus kota lewat dan berhenti di halte. Aku selalu ingat pada senyuman itu. Rupa berseri dalam balutan senyum itu mengingatkanku pada perempuan itu. Perempuan yang pernah ada mengisi hari-hari sepi. Perempuan yang selalu membuatku hilang dari sadarku. Perempuan yang tiba-tiba menghilang bagai mimpi-mimpi malam.
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)
Aku ingat pada senyuman itu. Senyum merekah menyambut pagi yang tak pernah ramah. Senyumnya selalu ada disitu, menunggu bus kota lewat dan berhenti di halte. Aku selalu ingat pada senyuman itu. Rupa berseri dalam balutan senyum itu mengingatkanku pada perempuan itu. Perempuan yang pernah ada mengisi hari-hari sepi. Perempuan yang selalu membuatku hilang dari sadarku. Perempuan yang tiba-tiba menghilang bagai mimpi-mimpi malam.
Pemilik senyum tadi rupanya naik bus kota setiap hari. Berdesakan dengan penumpang lainnya yang sama memburu mimpi di Jakarta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus berlarian mengejar bis kota. Mereka berlomba dan saling berebutan hanya untuk sekedar mendapatkan bangku kosong yang ada.
Aku pun pernah mengalaminya. Betapa tidak menyenangkannya saat-saat itu. Saat peluh bercampur dengan berbagai macam aroma dan itu selalu membuat kepalaku pusing. Aku tidak bisa membayangkan bahwa ia harus hidup dengan kenyataan itu setiap hari. Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah dialaminya dan tiba-tiba saja dalam sekejap ia sudah kembali menata penampilannya. Membereskan letak leher kamejanya, mengikat rambut serupa buntut kuda, tak lupa menambal perona wajah sekenanya. Dengan demikian, ia telah siap untuk menjalani hari-hari yang akan selalu seperti itu.
*
Ibu Guru Tati mengawali harinya dengan menyapa orang tua murid yang kebetulan bisa mengantar anak-anak mereka pergi sekolah satu persatu. Setiap pagi ia akan selalu menemuiku. Dengan wajah berseri sambil menyapa hangat "Selamat pagi..." sembari ditemani dua murid kecilnya yang sudah menunggu. Tidak pernah nampak bekas keringatnya yang meleleh sewaktu di dalam bus. Tidak ada juga wajah lelah dan bosan.
Ibu Guru Tati selalu tersenyum manis setiap menghadapi murid-muridnya. Tidak jarang, mereka sudah menyambutnya sejak gerbang sekolah. Kemudian, ia akan selalu menggandeng tangan Prita. Membawanya masuk kelas dan meninggalkanku. Aku masih ingat wangi parfumnya. Aku perlahan tersenyum sendirian. Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.
Ibu Guru Tati selalu tersenyum manis setiap menghadapi murid-muridnya. Tidak jarang, mereka sudah menyambutnya sejak gerbang sekolah. Kemudian, ia akan selalu menggandeng tangan Prita. Membawanya masuk kelas dan meninggalkanku. Aku masih ingat wangi parfumnya. Aku perlahan tersenyum sendirian. Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.
Sekali waktu, sengaja aku menunggunya. Usai dentang bel sekolah, aku menemuinya dan mulai berbasa-basi. Aku ingin mengantarkannya pulang. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena telah mau menjadi ‘teman’ untuk Prita. Prita selalu bercerita bahwa Ibu Guru Tati selalu mengajarinya membaca buku #Cerita Hari Ini dari seorang penulis tanpa nama. Buku cerita favorit muridnya. Buku itu tidak lebih dari sekumpulan cerita anak berjumlah tiga puluhan cerita pendek yang berisi pelajaran-pelajaran dasar kehidupan. Misalnya, budi pekerti.
Semenjak perceraianku dengan Anita, sudah jadi kewajibanku untuk mengantar-jemput Prita. Makanya, aku selalu punya kesempatan untuk bertemu dengan Ibu Guru Tati. Kesempatan yang tidak akan pernah aku lewatkan begitu saja.
“Mari, saya antar pulang.”
“Maaf. Terima kasih. Saya naik bus saja.”
Begitu katanya, sambil pergi berlalu begitu saja bagai pesawat tempur.
Aku memang kehilangan kesempatan itu. Aku tidak tahu mengapa tetapi yang jelas ia punya seribu alasan untuk tidak menerima tawaranku. Aku bisa mengerti itu. Dengan statusku yang seperti ini tentu Ibu Guru Tati lebih cerdas dalam bertindak. Tentu ia tidak ingin menampakkan sesuatu yang sangat sulit untuk dijelaskan. Ibu Guru Tati tidak ingin pandangan orang lain merusak reputasinya. Apalagi, ia menjadi figur pengganti para orang tua di sekolah.
Aku melihatnya berlalu begitu saja. Berjalan cepat sambil sesekali menutupi wajahnya karena silau matahari siang. Aku bisa melihat butir keringat yang perlahan muncul di dahinya. Seketika pula ia akan menyekanya dengan sapu tangan berwarna merah jambu. Sapu tangan pemberian Anita, sebulan sebelum kami bercerai. Aku lihat Ibu Guru Tati melambaikan tangan. Bus kota yang sudah terlalu tua dan badannya dipenuhi iklan itu menepi.
Tidak kulihat lagi Ibu Guru Tati. Ia kembali melebur jadi warga ibu kota yang selalu jadi korban kebijakan. Betapa kota ini tidak pernah ramah bagi warganya sendiri. Pengguna angkutan umum adalah contohnya. Pemerintah telah berkhianat pada mereka. Satu sisi, Pemerintah mengharapkan warganya untuk beralih menggunakan sarana transportasi publik. Namun, disisi lain Pemerintah tidak menyediakan sarana transportasi yang layak dan memadai. Ibu Guru Tati hanyalah bagian kecil dari siklus perkeliruan itu.
*
Aku kini sedang berada dalam bus malam yang akan membawaku ke Surabaya. Malam mulai meninggi. Jalanan sudah sepi. Hanya keremangan malam yang menemaniku. Aku lihat tidak banyak penumpang yang masih terjaga. Kecuali aku dan seorang yang duduk di dekat toilet. Kondektur dan sopir pun seakan khusyuk sekali memandang jalanan di depan.
Kepergianku ke Surabaya bukan untuk sekedar perjalanan biasa. Aku telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Aku terima tawaran pekerjaan disana. Aku butuh pengalaman dalam hidupku yang semakin terasa datar ini. Aku tidak pernah tahu kemana sungai kehidupan membawaku. Aku hanya tahu bahwa aku harus melanjutkan hidup, itu saja.
Aku terlalu banyak mengkhayal tentang Ibu Guru Tati. Semenjak kepindahanku ini, aku tentu tidak akan bisa menemuinya lagi. Menatapi senyum ramahnya dan merasakan aroma parfum yang dikenakannya. Tidak pula kutemui lagi sapaan hangat yang selalu membuat Prita begitu riang.
Sepanjang perjalanan aku hanya bisa tertegun bila mengingatnya. Entah darimana datangnya. Bayangan tentangnya masih saja menemuiku. Raungan mesin diesel Hino masih memecah kebisuan di sepanjang jalanan yang masih juga sepi. Aku masih melamun. Aku hanya memandangi jendela saja.
Dalam gelap malam yang semakin pekat. Bayangan itu nampak jelas dan seakan hidup. Aku hanya melihat bayangan wajahnya saja. Bukan Anita, sosok perempuan rendah hati yang telah kusakiti hatinya. Bukan pula Prita, buah cinta kesayanganku satu-satunya, yang selalu membuatku punya alasan untuk tetap hidup. Aku hanya melihat bayangan Ibu Guru Tati. Bayangannya saja.
Beginilah keadaannya. Aku tidak pernah merasa berat hati untuk meninggalkan apapun yang telah kulalui. Aku tidak pernah merasa menyesal atas apapun. Sejenak masih melamun. Bayangan Ibu Guru Tati datang lagi ketika aku mengingat kembali senyumannya. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Aku memanggil namanya kembali. Dalam hati saja. Begitu lekatnya hingga tak ingin pergi.
Semuanya masih gelap. Hanya keremangan lampu jalanan saja yang menemani. Aku masih menatap jendela. Aku merasa sangat lelah. Perlahan bayangan tentangnya muncul kembali. Bagai hujan di musim badai seperti ini yang tak pernah berucap kapan waktunya tiba. Bagus. Sementara perjalanan masih lumayan jauh, aku hanya berkutat dengan bayangannya saja. Pergulatan dengan bayangan yang semakin menyiksaku. Kenapa hal seperti ini muncul pada saat-saat seperti ini? Aku sedang tidak melarikan diri tapi kenapa bayangnya masih selalu ada. Senyumnya selalu mengikuti. Bagaikan bus kota yang mengikuti kehendak sang supir.
Ia bukan siapa-siapa. Maksudku, ia hanya seorang guru, dan hanya itu saja. Kita dipertemukan oleh takdir yang sudah seharusnya terjadi. Aku mengenalnya karena sering bertemu saja. Lainnya, tidak ada. Tapi mengapa saat ini seakan aku merasa dekat sekali dengannya. Aku bisa rasakan hembusan nafasnya dibelakang tengkuk leher ini. Hmm, aku jadi merinding.
Lewat dini hari aku tidak tahu sudah sampai mana. Aku merasa ia sedang duduk di sebelahku. Sama-sama memandang sayu pada jendela yang bertuliskan Jakarta-Surabaya. Aku merasa ia disana dan sedang memegangi tanganku dengan dingin yang mengalir dari sela jari-jarinya.
Aku segera tersadar bahwa aku hanya tertidur sesaat. Itu pun kalau bukan karena klakson bus malam lainnya yang berpapasan. Aku menghela nafas panjang. Aku lihat disekelilingku hanya aku saja yang masih terjaga. Ada sesuatu menganggu. Aku ingin terus terjaga.
*
Aku bersandar pada jok. Mengambil nafas panjang dan keluarkan perlahan sambil memejamkan mata. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa sendirian. Sendirian saja di dalam bus malam yang penumpangnya penuh. Aku melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.
Paninggilan, 26 April 2012.
*) dari lirik lagu “Aku Ingin Pulang” dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade
*) dari lirik lagu “Aku Ingin Pulang” dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade