The truth is what you choose to believe. (hal. 262)
Kalau Trio Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani punya Tiga Menguak Takdir maka Clara Ng punya Empat Menguak Takdir. Bukan untuk membanding-bandingkan tetapi jelas bahwa empat orang karakter utama dalam buku ini sengaja diciptakan untuk mengupas takdir mereka masing-masing. Empat perempuan kembar dengan empat lini masa yang berbeda. Empat perempuan yang berjuang demi hidupnya masing-masing.
Siska, perempuan tangguh yang dibesarkan dengan mental metropolitan Singapura. Indah, penulis best-seller yang semakin gamang dengan julukan barunya itu. Rosi, petani bunga yang tomboi dan memiliki sifat kelaki-lakian yang bersemayam bersama dirinya. Novera, seorang guru yang menyimpan hasrat menjadi seorang biarawati demi menutupi kegalauannya. Mereka berempat memiliki hidupnya masing-masing.
Ketika mengetahui ayah mereka, Nung Atasana, harus dirawat karena sakitnya dan diprediksi tidak akan bertahan lama, keempat perempuan itu terpaksa harus pulang dan berkumpul lagi. Indah, sebagai anak Nung satu-satunya yang tinggal di Jakarta merasa bertanggungjawab untuk mengumpulkan saudara kembarnya. Segenap pertumpahan ego terjadi. Turut menaikkan tensi cerita. Siska, yang lebih peduli pada bisnisnya. Rosi, yang mencintai bunga-bunga dikebunnya bagai seorang bayi. Novera, yang masih bimbang dengan segala keputusannya.
Segala usaha akhirnya menyatukan mereka kembali untuk berkumpul bersama menemani Nung di penghujung usianya. Nung hanya berpesan pada keempat anak kembarnya agar segera menikah. Papa ingin kalian segera menikah, katanya. Satu pesan yang singkat, padat, dan jelas. Satu pesan yang ditanggapi dengan berbagai alasan penolakan. Satu pesan yang bermakna bagi penelusuran identitas dan eksistensi empat perempuan kembar itu.
Siska, kariris yang tidak percaya lagi pada ikatan pernikahan. Indah, menyimpan rahasia hubungannya dengan Antonius, seorang pastur. Novera dengan segala keraguannya atas pernikahan karena harapannya telah usai karena tidak punya rahim. Sementara itu, Rosi tidak akan pernah bisa menerima ide Nung karena gejolak dalam dirinya. Pertempuran batinnya dengan identitas yang melekat padanya telah membawanya pada penyangkalan dan pencarian identitas diri yang baru.
Sejak itu, berbagai pertanyaan penting tentang kehidupan bermunculan. Berbagai peristiwa yang terjadi saat mereka bergantian menemani Nung mengantarkan jawaban-jawaban yang muncul perlahan. Justru pada saat mereka kembali ke ‘akar’ kehidupan di rumah lama mereka.
Perlahan tapi pasti, tabir itu terkuak satu persatu. Segala ketakutan, kecemasan, harapan, penerimaan, dan penolakan mewujud dalam alur cerita yang memikat. Pergulatan jiwa penuh tanya dalam menerima setiap kemungkinan yang masih ditawarkan hidup. Demi satu tujuan. Demi satu nilai yang selalu dijunjung tinggi setiap keluarga keturuan Tionghoa. Demi keutuhan keluarga.
Setahun telah berlalu sejak stroke Nung yang pertama. Takdir telah menemukan jalan bagi Siska, Indah, Rosi, dan Novera. Nung, sudah mengetahui semuanya. Pertemuan dengan Dharma, kekasih Rosi; Antonius, pastur yang mencintai Indah namun terhalang oleh statusnya sebagai seorang evangelis; dan Rafy, duda beranak satu yang mencintai Novera sepenuh hati; telah membuatnya semakin mengerti. Menjelang ajalnya, Nung telah belajar untuk menjadi lebih arif. Kearifan yang bersumber dari akumulasi perjalanan hidupnya untuk menerima keputusan keempat putri kembarnya.
Konflik intern keluarga dan budaya yang melekat dalam novel ini semakin menyadarkan kita bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling kompleks. Kompleksitas itu menyublim dalam konteks kehidupan. Suatu proses untuk menjalani dan mengambil segala pelajaran yang disajikan oleh hidup itu sendiri. Melalui penuturan yang lugas, cermat, dan alur cerita yang memikat, Clara Ng berhasil membangun kedekatan antara fiksi dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Secara kontekstual budaya, Dimsum Terakhir memberikan gambaran yang jelas bagaimana kehidupan keluarga keturunan Tionghoa ikut membaur dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang heterogen.Tradisi yang melebur dalam corak beragam akulturasi budaya yang sempat mengalami represi bawaan Orde Baru diungkap dengan jelas. Ragam-ragam tradisi budaya Tionghoa disajikan dengan cermat dan teliti sehingga pembaca seakan mengalami sendiri hal tersebut. Sebagai konklusi, keindahan dalam keragaman yang mencari ciri khas bangsa ini memang harus ditelusuri kembali untuk kemudiaan diperbaiki dan diterima sebagai suatu kebanggaan atas nama Bhinneka Tunggal Ika.
Catatan Singkat Seorang Kolumnis Dadakan
Membaca Dimsum Terakhir sama juga dengan bercermin pada diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang hidup seakan menyeruak. Masalah identitas, keberanian-ketakutan, penerimaan-penolakan, hingga menemukan damai dalam sirkuit kemelut. Perjalanan hidup mungkin saja mengantarkan kita untuk menjadi lebih bijak dalam menentukan langkah. Hanya saja, kearifan dalam menyikapi segenap pertanyaan yang muncul belum tentu mampu didapat begitu saja.
Seiring berjalannya waktu, kita akan dihadapkan untuk lebih arif dalam menyikapi berbagai keadaan. Tentang hidup dan kematian, yang batasnya sangat tipis. Takut atau berani. Berdamai dengan segala konflik dalam menemukan cinta dan kebahagiaan demi keutuhan keluarga. Dimsum Terakhir memberikan kita harapan, bahwa ada kalanya hidup memberikan hadiah yang paling kita idamkan.
Judul : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun :Januari 2012 (cetakan ke-3)
Tebal : 364 hal.
Genre : Novel Dewasa
Penulis : Clara Ng
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun :Januari 2012 (cetakan ke-3)
Tebal : 364 hal.
Genre : Novel Dewasa
Paninggilan, 15 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar