Menyenangkan sekali rasanya untuk bisa memborong buku lagi tanpa harus bertanya-tanya, "Kapan mau selesai lha wong yang kemarin saja belum tamat?". Memang seharusnya begitu. Selesaikan dulu buku-buku yang masuk daftar wishlist kemarin. Tuliskan resensi dan catatan pribadi di blog, lalu buat wishlist baru. Ah, lupakan dulu kebiasaan itu. Kebetulan, lagi ada sale di Gramedia Matraman. Ingat, sale tidak pernah datang dua kali.
Untuk beberapa alasan, inilah jawaban saya.
1. Konser, Meiliana K. Tansri.
Sudah lama sekali saya ingin tahu apa saja dibalik sebuah konser. Terutama konser resital piano. Selama ini, yang ada di kepala saya hanyalah resital piano dari Francis Lim. Resital fiktif dalam buku "Travelers Tale: Belok Kanan Barcelona". Saya harap buku ini dapat memberikan gambaran yang lebih detil. Terlebih, ketika sebuah konflik atas nama cinta terselip disitu.
2. Hening (Silence), Shusaku Endo
Mendengar nama penulisnya, sudah jelas buku ini adalah buku terjemahan. Buku yang aslinya terbit dalam bahasa saudara tua kita, bahasa Jepang. Kemudian, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris baru ke bahasa Indonesia. Mudah-mudahan proses pengalihbahasaan tidak membuat cerita kehilangan maknanya.
Berlatar kondisi sosio-kultural Jepang di abad ke-17, periode Edo. Pada zaman dimana berlangsung pelarangan terhadap iman Kristiani. Menarik sekali untuk membaca lebih jauh mengenai 'gugatan' buku ini terhadap Tuhan. Apakah Tuhan tetap dalam diam dan hening melihat penderitaan dari para penyebar kasihNya?
3. Pertempuran 10 November 1945, Sutomo (Bung Tomo)
Ini adalah buku yang direproduksi dari buku aslinya. Dihadirkan kembali atas dasar kebutuhan untuk mengingatkan kita pada suatu peristiwa sejarah dalam periode awal kemerdekaan Republik ini. Buku yang ditulis langsung oleh Bung Tomo, tokoh yang selalu dikenal dalam buku pelajaran Sejarah sebagai pemimpin Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Membaca sekilas, buku ini akan membawa kita pada suasana Republik tercinta pasca kemerdekaan. Betapa sulitnya untuk mempertahankan kemerdekaan dibandingkan dengan usaha-usaha untuk mencapainya. Ada banyak hikmah untuk dipelajari agar kita tidak kehilangan identitas bangsa. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan.
4. Pelangi di Akhir Badai, Adriana S. Ginanjar.
Isu tentang perselingkuhan selalu menarik untuk dibahas. Selingkuh menjadi bagian dari realitas manusia modern. Selingkuh sudah terjadi sejak pernikahan melembaga. Selingkuh adalah satu kenyataan ketika pernikahan tidak menemukan lagi hakikatnya. Cinta saja tidak pernah cukup.
Ditulis oleh seorang praktisi konseling pernikahan, buku ini memberikan visualisasi nyata tentang perselingkuhan dibalik pernikahan. Satu hal yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah sebab-musabab dibalik selingkuh. Menarik juga untuk mengetahui sejauh apa batasan selingkuh itu sendiri.
Buku ini diangkat dari kisah nyata yang benar-benar terjadi dan dialami sendiri oleh para narasumber. Lebih jauh, buku ini akan mengajarkan siapapun (baik yang sudah menikah atau pun belum) untuk menerima kenyataan dan berdamai atas peristiwa selingkuh yang dilakukan oleh pasangan.
5. Riwayat Kerja si Dudi (Komik Manajemen), Rico Sierma & Eva H. Saragih.
Setelah komik Indonesia mengalami masa kebangkitannya medio 2000-an ini maka mulai banyak komikus yang melakukan berbagai ekplorasi bentuk grafis dan penjelajahan tema. Dan komik manajemen ini adalah salah satunya. Penyampaian pesan-pesan yang berkaitan seputar manajemen kini tidak lagi membosankan. Paduan unsur grafis dan teks pada komik mampu menjadi jembatan komunikasi yang baik. Ini semakin membuktikan efektivitas komik sebagai media pembelajaran, walau masih banyak perdebatan atas pernyataan tersebut.
6. Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib, Prayogi R. Saputra. (Ini nggak diskon!)
Tidak banyak buku yang bercerita tentang Emha Ainun Nadjib bila bukan Emha sendiri yang menulisnya. Dari pembacaan sepintas, buku ini berisi tentang kisah-kisah dibalik Jamaah Maiyah; asal-usul, perjalanan, dan imbasnya pada individu-individu yang terlibat didalamnya.
Tidak hanya itu saja, barangkali lewat buku ini penulisnya ingin sekali memberikan alasan dan jawaban Emha atas eksistensinya yang hampir tidak pernah lagi diangkat media mainstream di negeri ini. Buku ini, agaknya menjadi bahan perenungan bagi kita semua untuk lebih melihat ke dalam diri sendiri. Untuk tetap bermanfaat walau hanya dalam diam dan sendirian di jalan yang sunyi.
Paninggilan, 15 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar