Postingan sebelumnya:
Day 2: Destination Jombang
Senin – 11 Februari 2013
Makam Eyang Ti, Tulungrejo, Pare.
Pagi tiba begitu lambat. Saya tahu itu dari derap langkah anak-anak sekolah yang berderap pelan. Sepintas, pemandangan pelajar bersepeda menghiasi pagi di Tulungrejo. Alangkah indahnya hidup pagi ini. Belum genap pukul tujuh pagi. Masih ada waktu untuk segelas kopi sebatang rokok.
Lambat pagi mengalun, pun mentari yang nampak masih enggan muncul di ufuk timur. Jelang siang nanti, kami, saya dan Pak De, akan mengawali rangkaian ziarah makam leluhur ini. pagi diisi dengan sarapan nasi pecel khas kota Pare. Mirip nasi pecel Madiun. Penampakannya masih sama dengan ingatan terakhir saya ketika Eyang Ti masih ada dan selalu menyuguhkan nasi pecel untuk sarapan kami. Ada suatu nostalgia merambat dalam rasa.
Pukul 10.00, langit mulai cerah dan berawan. Saat yang tepat untuk memulai perjalanan. Setelah packing untuk bersiap melawat ke makam dan kembali ke Surabaya, kami berangkat menuju perhentian pertama hari ini: Makam Eyang Ti. Letaknya tidak jauh dari rumah Pak De, hanya 10 menit berjalan kaki ke arah timur, melewati gang kecil yang hanya muat selebar satu mobil saja. Ini hari senin dan kehidupan berjalan sangat lambat disini. Itulah kesan yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Makam Eyang Ti.
Kami pun tiba di makam. Saya mendapat kesan bahwa pekuburan disini tidak menimbulkan kesan horor atau menakutkan. Entah karena pemakaman ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau memang penduduk yang sudah biasa dengan kenyataan demikian. Pemakaman itu hanya sebuah tanah bidang persegi empat dengan sebuah gapura di bagian pintu masuk. Saya tercengang. Banyak makam disini menyatu begitu saja dengan tanah. Hanya ditandai dengan sebuah atau dua buah nisan penanda yang terbuat dari kayu. Banyak diantaranya sudah luntur. Saya pun khawatir itu terjadi pada makam Eyang Ti.
Untung saja, Pak De hafal lokasi makam Eyang. Usai melewati gapura, Pak De berhenti sebentar, mengelilingkan pandangannya, lalu menuntun saya menuju makam Eyang.
Makam itu hanyalah sebuah tanah biasa yang menyatu dengan sebidang tanah lainnya. Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, Makam Eyang tidak terlihat seperti kuburan pada umumnya. Bentuknya bukan gunungan atau gundukan, melainkan datar saja. Dengan nisan terbuat dari tembok yang mulai lusuh dan luntur. Hanya sebuah papan nama terbuat dari seng yang menjadi penanda. Sebuah papan kecil bertulis: Hj. Muslichah.
Saya menghentikan diri sejenak. Mencoba melepaskan semuanya. Saya telah mencapai tujuan pertama saya. Makam Eyang Ti yang pertama kalinya saya kunjungi sejak beliau wafat tahun 2000 lalu. Saya tertegun dan hampir saja menangis. Perasaan melankolis yang entah darimana datangnya telah mengguncang segenap jiwa dan perasaan. Lama saya jongkok memperhatikan makam yang mulai kusam ini, sementara Pak De mulai bersiap untuk bertakziah.
Hari belum begitu siang tapi masih berawan. Cicit burung masih terdengar santai. Dibawah langit Pare kami membaca doa. Pak De memimpin doa. Berbagai doa dan pujian kami baca. Tak lupa, surat Yasin pun ikut dibacakan. Kami tentu berdoa semoga doa kami didengar dan diterima Allah SWT, semoga beliau diberikan ketenangan di alam kuburnya. Kelak, bila waktu telah tiba kami akan dipertemukan kembali. Sambil membaca Yasin, air mata saya mengucur lagi sedikit demi sedikit. Perasaan melankolis itu menguasai kembali. Saya jadi teringat saat-saat liburan di Pare, waktu Eyang masih ada.
Usai berdoa dan membaca surat Yasin, Pak De menunjukkan makam lainnya. Makam Mbah Abdul Manan, ayahanda dari Eyang Ti, yang juga dimakamkan disitu. Kami hanya mengunjunginya sebentar sambil membacakan Al Fatihah, lalu bersiap melanjutkan perjalanan. Sebelum itu, Pak De menyempatkan diri untuk mampir ke makam istrinya yang pertama dan kedua. Kedua istri Pak De itu dimakamkan bersebelahan. Bentuknya serupa dengan makam Eyang. Tidak ada komentar apa-apa dari Pak De, beliau hanya memberi isyarat untuk terus melanjutkan perjalanan. Barangkali Pak De tidak mau ada romantisme nan melankolik disitu.
Makam Eyang Kung, Peterongan, Jombang
Letak makam Eyang Ti tidak jauh dari jalan raya tempat kami menunggu angkutan antar kota yang menuju Jombang. Tak lama menunggu, mobil angkutan datang dan kami segera naik menyusuri jalan raya Pare-Jombang. Melewati Mojowarno dan Mojoagung.
Sepanjang perjalanan, saya menemui kehidupan masyarakat pedesaan yang tetap menggeliat walau terus didera berbagai ketidakpastian. Kehidupan terlihat berjalan normal. Sudah lama saya tidak mengamati hal yang demikian. Sebelum masuk kota Jombang, kami harus melewati daerah Tebuireng, dimana terdapat pesantren legendaris, Pondok Pesantren Tebuireng dan sebuah pabrik gula. Mungkin itu sebabnya daerah ini dinamakan Tebuireng.
Pondok Pesantre Tebuireng itu sendiri bukannya tanpa cerita. Seorang Gus Dur pernah belajar di tempat ini. Begitu pun Kakeknya, Hasyim Ashari, dan ayahnya, Wahid Hasyim, turut dimakamkan disini. Lihat saja penanda makam kedua tokoh perjuangan kemerdekaan itu yang dipasang di halaman Pondok Pesantren. Sayang, saya hanya sempat melintasi saja. Seakan sudah mengerti, supir pun ikut memperlambat laju kendaraan. Membiarkan saya menikmati Tebuireng.
Masuk ke Kota Jombang, kami melewati Stasiun Jombang. Stasiun ini juga bukan tanpa cerita. Stasiun ini selalu jadi perhentian kami sekeluarga bila mengunjungi Pare. Kereta Api Mutiara Selatan selalu tiba pagi hari disini sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Mobil yang kami tumpangi sempat berhenti sebentar di depan stasiun. Banyak penumpang yang turun disini dan juga ada yang naik menuju Terminal Jombang. Lama tak jumpa, sudah banyak yang berubah. Tak ada lagi yang benar-benar sama. Stasiun Jombang tetap punya cerita. Tempat ribuan butir air mata tidak lagi menemukan persembunyiannya.
Stasiun Jombang |
Kami tiba di Jombang pukul 11.15, ketika itu hari mulai terik. Mobil yang berhenti di Terminal Jombang ini kami sewa untuk mengantarkan kami sampai ke Makam Eyang Kung di Peterongan. Sang supir pun setuju. Saya yang duduk di depan mengamati semua jalan yang dilalui. Saya ingin menangkap sebanyak-banyaknya memori tentang jalur menuju makam Eyang. Rasanya tidak jauh dari Terminal. Masuk sebuah jalan kecil dimana terdapat sebuah masjid. Kami pun segera turun usai membayar sewa.
Sebuah dusun yang sunyi. Itu kesan pertama saya. Walaupun terdapat sebuah sekolah SD namun kehidupan disini rasanya terlalu sunyi. Tidak banyak warga yang beraktivitas. Mungkin karena sebagian besar penduduk disini sudah berusia lanjut. Rumah-rumah dengan halaman yang besar menjadi pemandangan lazim sampai ke makam.
Kami tiba di sebuah masjid. Masjid Baitur Rohim namanya. Masjid yang selalu jadi penanda bagi siapapun yang akan berkunjung ke makam Eyang. Sewaktu Eyang Kung wafat terdapat beberapa pertentangan kecil. Antara keluarga yang menginginkan Eyang dimakamkan berdekatan dengan tempat tinggalnya di Pare, dan keinginan jamaah pengajian di Jombang yang ingin menguburkan Eyang di makam para pemimpin jamaah di Peterongan ini. Entah bagaimana sampai jadinya Eyang dimakamkan disini, saya rasa inilah hal selanjutnya yang perlu saya tahu. Namun, bukan untuk saat ini.
Tepat di sebelah Masjid, terdapat sebuah bangunan berwarna kuning cerah dengan jendela yang terbuat dari kawat. Seorang penduduk disana menyambut kami. Kami pun mengucapkan salam dan mengutarakan niat kedatangan kami. Setelah itu, kami masuk ke dalam bangunan makam.
Seingat saya, makam Eyang Kung dulu tidak seperti ini. Sudah dibuat bangunan semacam rumah seperti sekarang. Saya hanya ingat makam Eyang Kung ada dibawah sebuah bangunan yang lebih mirip saung namun sudah diberi genteng. Saya bersyukur bahwa makam Eyang sudah tidak seperti dulu lagi. Artinya, dengan perlakuan semacam ini, semoga menjadi jalan kebaikan bagi siapapun yang turut andil dalam membuatkan makam yang layak bagi Eyang Kung dan penghuni makam lainnya.
Saya mengamati daerah pemakaman ini sejenak. Hanya suara angin mendesir pelan dalam siang yang panas dan suara kambing yang mengembik di kandang yang letaknya tidak jauh dari makam. Saya perhatikan juga makam lainnya yang berada satu komplek dengan makam Eyang. Ada 10 makam lainnya disini. Tampak juga ada bunga-bunga tabur yang masih terlihat berwarna. Barangkali, ada peziarah lain yang berdoa disini sebelum saya datang.
Sejenak saya melamun. Saya telah sampai pada tujuan akhir pencarian saya. Pada sebuah ujung pencarian. Saya tidak kuasa menahan air mata ini lagi. Saya terus meyakinkan diri saya bahwa saya telah berada di makam Eyang Kung. Berada di sebuah tempat menuntun saya kembali kesini. Saya bersiap untuk berdoa. Pak De kembali membuka buku doanya dan memimpin doa. Kami pun membaca surat Yasin lagi. Tidak kurang, tiga kali kami membaca surat Yasin. Saya tidak pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Rasanya, doa yang dibacakan Pak De pun lebih panjang disini. Mata saya kembali dibasahi butiran air mata seraya terus membaca surat Yasin. Usai Pak De mengisyaratkan selesai, saya berkeliling lagi. Pak De meninggalkan saya sendirian di dalam bangunan ini. saya mencoba untuk lebih merasakan makam ini.
Saya tidak bisa berhenti memandangi makam Eyang Kung. Pengalaman mimpi di bulan Maret 2012 itu terus berlarian. Mimpi yang membawa saya untuk duduk bersimpuh disini. Saya masih merasakan hangatnya air mata di pipi ini. Saya harus menguasai diri saya kembali. Saya akan kembali lagi kesini, menjenguk Eyang, membacakan doa untuknya, sebagai bakti seorang cucu. Suatu hari nanti.
Adzan dzuhur berkumandang. Saya segera mengambil wudhu. Siang ini saya harus kembali ke Surabaya. Saya masih harus kembali ke Surabaya untuk menemui Pak De dan Bu De yang sudah menunggu disana. Kalaupun sempat, saya akan mampir juga ke rumah Eyang di Tanjung Perak.
Pak De Wid, tidak banyak bicara usai ziarah ini. Pak De mengucapkan banyak terima kasih kepada saya yang masih mau “kembali” menjenguk dan menengok orang tua disini. Saya pun berterima kasih karena Pak De mau meluangkan waktu untuk mengantar saya ke makam Eyang Kung. Ibarat lirik lagu Padi, “pencarianku pun usai sudah...”
Naar Surabaya
Hari masih panas ketika saya meninggalkan makam Eyang. Kami menyusuri Jalan Raya Jombang-Mojokerto sampai dekat pasar untuk mencari tempat makan. Kebetulan, di seberang pasar ada warung makan. Menu favorit disitu pecel lele. Menu khas Jawa Timuran. Pecel lele yang disajikan cukup unik. Ada empat lele berukuran kecil sebesar jari telunjuk saya. Ditambah dengan sambal terasi yang melimpah. Karena memang sudah lapar, kami makan sangat lahap. Walau saya masih menyimpan tanya mengapa ukuran ikan lele disini tidak mainstream.
Usai makam, saya tidak kuasa untuk menahan jalan takdir. Saya harus berpisah dengan Pak De. Saya akan terus ke Surabaya, sementara Pak De kembali ke Pare. Bis antar kota yang menuju Surabaya alu lalang di jalan raya ini. jadi, saya tidak perlu khawatir tidak kebagian angkutan.
Saya memeluk Pak De dan mencium tangannya. Sebuah perpisahan mesti terjadi untuk sebuah pertemuan kembali. Saya menyeberangi jalan lalu menyetop bis. Pak De terlihat semakin menjauh.
Perjalanan ke Surabaya ditempuh sekitar satu setengah jam dengan bis. Saya menaiki bis antar kota jurusan Yogyakarta-Surabaya yang sudah terkenal di jalur ini, Sumber Kencono. Akhirnya, satu cita-cita berhasil saya raih lagi. Saya berhasil naik bis Sumber Kencono. Tapi, berhubung tahun kemarin Sumber Kencono sering mengalami kecelakaan maka label nama bis diganti dengan ‘Sumber Selamat’. Livery bis sudah menggunakan label baru ini. Namun, pada lembaran tiket masih ditemukan nama Sumber Kencono. Ongkos dari Jombang ke Surabaya hanya Rp. 8.000,-.
Menjelang waktu Ashar, bis masuk Terminal Bungurasih. Saya masih harus naik bis kota untuk masuk ke kota Surabaya. Saya naik bis kota nomor 9 tujuan Jembatan Merah. Sebenarnya, tujuan saya adalah Terminal Joyoboyo karena harus naik angkot dari situ menuju rumah Bu De di Jalan Manyar Sambongan. Saya kembali merasakan kota Surabaya setelah pengalaman 20 hari di awal tahun 2007 lalu. Naik bis DAMRI di Surabaya, rasanya sama dengan naik bis DAMRI di Bandung. Bedanya, Surabaya tetap berkembang sebagai tiga besar metropolitan bersama Jakarta dan Medan.
Setelah tiba di Terminal Joyoboyo saya segera mencari ‘len’ (diambil dari bahasa Inggris, line) bahasa Surabaya untuk angkot. Sedangkan, tujuan dilambangkan dengan angka. Misal, Len 01 tujuan Jembatan Merah dan Len 07 tujuan Kertajaya. Saya tidak kunjung menemukan Len 07. Alih-alih menemukan taksi burung biru yang kosong. Segera saya stop dan minta diantar ke Jalan Manyar Sambongan. Ah, saya jumpai pemandangan yang seperti ini lagi. Surabaya selalu berarti buat saya.
Tiba di Manyar, saya segera beristirahat. Ngaso sebentar berteman secangkir teh hangat dan sebatang rokok. Saya pun lantas packing untuk kepulangan besok. Titipan Bu De sudah menanti untuk segera dibawa ke Bandung. Saya belum ada rencana apa-apa untuk malam ini. Masih ada waktu luang setidaknya malam ini saja. Kalau sempat, saya ingin menemui kakak sepupu, Mas Hilmy, putra Pak De Wid. Sampai SMS dari Bapak tiba, menanyakan apakah saya akan mengunjungi Eyang di Tanjung Perak.
Saya pikir saya tidak akan mampir ke Tanjung Perak karena saya masih harus menunggu putri Bu De yang sengaja ke Manyar untuk bertemu saya. Kangen, katanya. Sementara itu, saya merasa bersalah sekali apabila dalam waktu yang singkat ini saya tidak mampir ke Tanjung Perak. Saya pun memutuskan pergi ke Perak nanti setelah bertemu kakak sepupu, Mbak Ela.
Usai menuntaskan rindu dan saling bertukar cerita dengan si Mbak, saya segera berangkat ke Tanjung Perak. It feels like way back home. Dalam kunjungan tahun 2007 lalu, saya menghabiskan 20 hari itu di rumah Tante, adik dari Ibu, yang kebetulan tinggal di jalan yang sama dengan rumah Eyang. Saya hafal betul jalan dari Manyar menuju Tanjung Perak. Melewati Museum Kapal Selam, Jalan Gubernur Suryo, dan Tugu Pahlawan. Sayang sekali, saya tidak bisa bernostalgia karena tidak menemukan tempat jajan nasi bebek di seberang Tugu Pahlawan.
Perasaan melankolis kembali menyeruak. Satu yang selalu saya ingat, Di komplek perumahan TNI AL itu, untuk pertama kalinya milis (mailing list) kelas K1D-A 2004 dibuat. Jadi, ini adalah tempat yang bersejarah. Sayangnya, warnet tempat saya membua milis sudah tidak ada disitu lagi. Sudah tutup, berganti dengan gerai waralaba swalayan.
Eyang yang tinggal di Perak ini adalah Kakak Ipar dari Eyang Kung. Jadi, sama saja rasanya dengan mengunjungi Eyang. Saya tidak pernah berkunjung kesini lagi sejak tahun 2007. Kini, giliran melepas rindu dengan keadaan yang sudah jauh berbeda. Eyang cukup kaget karen tidak ada kabar kedatangan saya dari Bapak. Untuk kesekian kalinya dan entah untuk keberapa kalinya, saya menceritakan hal ihwal kedatangan saya. Eyang sangat senang sekali dengan kedatangan saya. Walau cukup kaget, tapi Eyang sangat menghargai niat baik saya. Saya pun demikian. Eyang tidak banyak berubah sejak pertemuan terakhir dengannya. Tak lama, saya pun pamit usai berfoto sebagai barang bukti nanti.
Dalam perjalanan pulang, saya sempat dibuat penasaran dengan Masjid Muhammad Cheng-ho. Apakah memang ada kaitannya dengan Laksamana Cheng-ho? Bukankah Vihara Sam Poo Ko di Semarang merupakan peninggalan Laksamana Cheng-ho juga? Kalau memang Cheng-ho sudah memeluk Islam dalam ekspedisinya di Nusantara, apakah Masjid Muhammad Cheng-ho adalah satu buktinya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ada dibenak saya.
Sedianya, saya diantar kesana. Namun, pilihan akhirnya jatuh ke Makam Sunan Ampel. Sebagai catatan, dalam kunjungan 2007 lalu, saya tidak sempat mampir ke Ampel. Jadi, daripada dilanda penasaran, saya lebih baik datang ke Ampel saja daripada ke Masjid Muhammad Cheng-ho. Konon, Ampel lebih ramai.
Gerbang Masuk Makam Sunan Ampel |
Benar saja, saya menjumpai rombongan jamaah peziarah yang tak henti-hentinya mengalir berdatangan dari segala penjuru tanah air. Ketika saya masuk ke dalam kompleks makam Sunan Ampel, saya menemui sekelompok rombongan pengajian yang sedang membaca doa. Persis dengan apa yang saya baca sebelumnya ketika berziarah ke makam Eyang Ti dan Eyang Kung.
Suasana peziarah yang berdoa di makam Sunan Ampel |
Usai membaca setengah surat Yasin, saya berkeliling sekitar pemakaman ini. ada Masjid Ampel, yang sengaja ditutup. Kemudian, di sisi lain makam Sunan Ampel terdapat makam Pahlawan Nasional, K.H Mas Mansyur. Disekitar makam ini malah dijadikan tempat istirahat beberapa peziarah yang berkoloni. Banyak diantara mereka menginap dengan tidur di daerah sekitar makam.
Makam K.H Mas Mansyur, Ampeldenta, Surabaya |
Nilai religiusitas masyarakat Jawa Timur pada umumnya masih dipengaruhi nilai-nilai ini. Bahwa, menziarahi Sunan yang jumlahnya sembilan itu menjadi semacam ‘kewajiban’ sebagai pelengkap ibadah. Tidak ada yang salah selama tetap bertawasul kepada Allah SWT dan tidak menjadikan makam para wali itu sebagai entitas yang menggirin pada nilai-nilai syirik. Inilah keragaman budaya yang hidup pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagai bukti, walau sudah lewat tengah malam, peziarah masih terus berdatangan dalam jumlah yang besar. Pemandangan ini menjadi pengalaman tersendiri bagi saya yang selama ini hanya mampu merencanakan ziarah wali ke Kudus tanpa pernah serius mengeksekusi rencana itu. Mungkin nanti.
Masjid Agung Ampel, Ampeldenta, Surabaya |
Saya tiba kembali di Manyar tepat pukul satu dini hari. Saya tidak punya banyak waktu istirahat karena usai Shubuh, saya harus segera ke Bandara Juanda untuk mengejar first flight in the morning.
“Bandung, we have a problem”
QZ 7631 SUB-BDO - Selasa, 12 Februari 2013
Good Morning from Juanda |
Usai shalat shubuh, saya berangkat ke Bandara Juanda dengan menumpang mobil Pak De dan Bu De. Mereka turut mengantarkan saya kembali. Dari Manyar ke Juanda ditempuh selama setengah jam, dengan kecepatan normal dan lalu lintas yang masih sepi. Di sisi kota, pasar-pasar mulai menggeliat, pedagang mulai menggelar dagangannya. Matahari sebentar lagi naik.
Saya tiba di Juanda tepat waktu dan langsung menuju boarding room. Pukul 06.15, semua penumpang dipersilahkan naik ke pesawat terbang. Rupanya, saya akan terbang dengan pesawat yang sama dengan yang saya terbangi hari Minggu lalu. Airbus A320 PK-AXC QZ 7631 SUB-BDO.
06.30, sesuai jadwal pesawat akan diterbangkan menuju Bandung. Namun, saya merasa ada yang aneh, pesawat tidak kunjung pushback. Mungkin karena sedang traffic, jadi saya melanjutkan tidur dan terbangun kembali pukul 07.00 dengan posisi pesawat yang masih standing. Tak lama kemudian, PIC (Pilot In Command) mengumumkan bahwa bandara tujuan yaitu Bandara Husein Sastranegara Bandung ditutup karena alasan cuaca yang mengakibatkan terbatasnya jarak pandang. Keadaan seperti itu tentu sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Penumpang kembali diturunkan dan dikembalikan ke boarding room. Bandung, we have a problem. Menirukan pesan kru Apollo 11 ketika menghadapi trouble dalam misi penerbangan antariksa ke bulan.
Karakteristik Bandara Husein Sastranegara sebagai special airport mengharuskan clearance jarak pandang 2000 meter. Bila tidak terpenuhi, sangat berbahaya bagi pesawat sekelas Airbus A320 dan Boeing 737 yang banyak beroperasi ke Bandung. Ditutupnya Bandara mengundang pertanyaan di benak saya. Apakah Bandung sedang dilanda heavy fog/cloud/kabut sisa hujan semalam? Mungkin saja. Yang jelas, setelah satu jam menunggu, kami dipersilakan kembali naik.
Pesawat segera lepas landas usai mendapat clearance dan warning bahwa Bandara Husein Sastranegara sudah dibuka kembali. Still a log way back home through the blue sky. Termasuk ketika pesawat kena holding, berputar-putar tiga kali sebelum clear to landing.
Konklusi
Apakah perjalanan ini selesai? Secara definitif, jawabannya tentu saja YA. Perjalanan menapaki jejak leluhur sudah selesai dengan selamat. Saya mengenang kembali jejak yang telah saya lalui sedari kemarin.
Bagaimanapun, perjalanan ini adalah bukan perjalanan biasa—dan sedikit absurd. Perjalanan dalam menemukan hakikat di balik makna. Perjalanan yang diawali sebuah mimpi untuk sebuah jawaban.
Saya kembali diuji untuk mencapai tujuan perjalanan itu sendiri. Baik secara definitif maupun konotatif. Saya berhasil mencapai tujuan saya menuju makam Eyang sekaligus bersilaturahmi dengan segenap keluarga besar yang ada disana.
Perjalanan kali ini sangat bermakna karena berhasil mengungkap hal-hal yang selama ini selalu jadi pertanyaan. Kadang menganggu namun kadang menghilang begitu saja, mengendap dalam keraguan. Terselip juga pesan, bahwa mengingat kematian itu perlu, karena saya tidak pernah tahu apa nasib waktu. Apapun itu, perjalanan ini merupakan awal dari sebuah perjalanan lain. Perjalanan panjang menuju diri sendiri.
Pare-Surabaya-Pharmindo-Paninggilan, Februari 2013