I deserve nothing more than i get, 'cause nothing i have is truly mine...
(Life for Rent)
Agak sedikit emosional menulis tentang album terbaru Dido ini. Bukan karena cerita atau momen yang terlewati bersama lagu-lagu didalamnya. Album ini menandai album terakhir yang saya beli di Aquarius, tepatnya Aquarius Mahakam yang belum lama ini resmi ditutup. Sebuah toko musik legendaris yang sudah terlanjur menjadi satu brand tersendiri untuk penikmat musik.
Anyway, saya menemukan hal-hal emosional lainnya dalam album ini. Dido sepertinya sengaja membuat album ini sebagai sebuah jalinan cerita dari lagu ke lagu. Menyimak tracklist album ini, rasanya seperti membuka sebuah diary yang sarat emosi. Dido tidak segan membagi kisah pribadinya seperti dapat disimak pada booklet. Layaknya sebuah diary, Dido membiarkan dirinya tidak berjarak.
Dido ingin merasa intim dengan penggemar dan penikmat musiknya. Dido menulis album kumpulan hits terbaiknya ini sebagai "A crazy diary of my life. Pretty emotional to listen to.". Ia leluasa bercerita mengenai berbagai kisah dibalik penciptaan lagu-lagunya. Dido membuka tabir yang melingkupi proses kreatifnya.
The Stories Behind
"Here With Me", dibuat ketika ia baru pulang dari rumah sakit karena ayahnya sakit dan membutuhkan perawatan. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, hingga membiarkan dirinya larut dalam suatu proses penciptaan. Dido menulis, "....staring at the keyboard all night somewhere between panic attack and exhausted and writing the song made me at peace.
"Thank You", hits yang langsung melejitkan namanya ini ditulis di dalam kamar mandi. Terinspirasi dari kisah cinta pertamanya. Lagu ini juga menyimpan banyak kenangan, mulai dari perform bersama Eminem hingga menyanyikannya di pernikahan seorang sahabat.
Sejak pertama, "Hunter" adalah lagu favorit saya. Lagu ini adalah penggalan puisi yang ditulis oleh Rollo (Dido's partner in crime). Tentang sahabatnya ini, Dido menulis "It feels like he's other half of my brain."
"White Flag", adalah lagu yang menyiksa Dido cukup lama, dalam penciptaannya. She had the chorus and the music written for a year with no verses. One day, at the piano in the rented old pub that she was living, the whole song was done in half an hour.
"Life for Rent" punya kesan lirik yang amat kuat. Lagu ini ditulis Dido seraya duduk menatap pantai California dan menebak hal-hal yang dulu pernah ia impikan. "I still dont living by the sea but i wish i did.", katanya.
"Dont Leave Home" adalah lagu yang beberapa kali diminta dinyanyikan dalam sebuah pesta pernikahan, ini gila karena liriknya yang ditulis Rollo bercerita soal addiction (drugs and other addictives). Lagu ini juga sering dibawakan live dalam 'No Angel' Tour.
"Sand in My Shoes" ditulis dalam pesawat. Suatu hari, Dido mendapat kabar bahwa ayahnya dalam keadaan koma sedangkan ia masih dalam perjalanan keliling Amerika. Ia berlari dari beach house (tempat menulis Life For Rent) dan langsung terbang selama 11 jam untuk menjumpai ayahnya. 11 jam ia lalui tanpa kepastian apapun, menulis lagu ini membuatnya gila selama 11 jam itu. Ayah baru sadar kembali saat aku mendarat dan menemuinya.
"Dont Believe in Love" ditulis Dido bersama tiga orang lainnya dalam keadaan sedikit mabuk saat di LA. Dido terjaga sepanjang malam dan mengirim semua lagu pada mereka sebelum tidur dan bangun dengan sebuah 'massive hangover' seraya membayangkan apa yang telah ia lakukan.
"Quiet Times" adalah lagu yang Stanley paling sukai sehingga Dido selalu menyanyikannya sebelum ia tidur. Lagu ini juga adalah salah satu lagu favorit Dido, "The most honest and personal songs". Pada lagu ini pula Dido pertama kalinya memainkan drum secara live pada sesi rekaman.
Menurut Dido, "Grafton Street" bukan sebuah single tapi harus ada dalam album ini. Lagu ini masih jadi satu lagu favoritnya, salah satu yang paling emosional. Ditulis tak lama setelah ayahnya meninggal dan ia begitu merindukan saat-saat bersamanya.
"Everything To Lose" ditulis sebelum Dido melahirkan Stanley, "...but it sums up now how i feel since having a family. Lagu ini membuatnya berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu yang diluar kebiasaannya, terjun bebas misalnya. Dulu, ia sering ingin melakukannya. Sekarang, tidak lagi. Not anymore.
"Let Us Move On" adalah lagu yang ditulis dalam hitungan menit ketika Dido pertama kali bertemu Jeff Bhasker, seorang partner menulis (lagu) yang sangat menginspirasi.
Tentang "No Freedom", Dido menulis "No Freedom sums up a lot about love and death and God and the world, a small song about a lot of big things. Lewat lagu ini Dido mencoba lebih serius memaknai hidup ini.
"End of Night" adalah satu lagu yang bercerita soal seseorang yang Dido percaya dan sukses mengkhianatinya. It could happened to all of us. Even if you are a rockstar.
Tentang "One Step Too Far" Dido menulis "...faithless is what gave me my start and my push out into this world of music so i couldnt have a greatest hits without a faithless track on there." Dido membuka proses kreatifnya dalam penciptaan sebuah karya.
"Stan" adalah hits Dido lainnya yang mendunia. Lagu ini cukup unik karena diawali potongan lirik dari "Thank You" dan Eminem memulai bagiannya. Lagu ini Dido dengarkan pertama kali mendengarkan di sebuah hotel di New York. Dido cukup terkejut karena Eminem berhasil membuat kombinasi lirik yang mengagumkan. Dido turut bangga jadi bagian kerjasama itu, membuat video klip bersama Dr. Dre sementara Phil Atwell menyutradarainya semua sangat berkesan dalam ruang kenangan memorinya.
"If I Rise" adalah lagu kolaborasi lainnya bersama A.R. Rahman dan Danny Boyle. Dido hampir saja terjatuh dari kursi ketika lagu ini dinominasikan untuk Oscar. Saya sedang makan eskrim ketika hamil. "I was very butted no to go as that had always been a childhood dream."
"NYC" adalah lagu baru yang ditulis bersama dengan "End Of Night" ketika Dido sedang berada di studio bersama Greg Kurstin, bicara soal pengalaman berkeliling Amerika Serikat untuk pertama kalinya demi membuktikan arah menuju pulang (to the world back home).
Catatan Kolumnis Dadakan
Sebuah album bertajuk Greatest Hits adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi seorang musisi. Merilis album semacam ini bukan perkara yang mudah. Ia harus berjibaku dan berperang dengan dirinya sendiri untuk menentukan lagu-lagu yang layak menyandang status "Greatest Hits". Karena dibalik setiap lagu, terselip sebentuk cerita dalam lirik. Dengan begitu, ia menandai sendiri jejaknya di jagad musik.
Album ini adalah semacam refleksi bagi Dido untuk mengukuhkan eksistensinya. Pun, sebagai batu pijakan menuju karya terbarunya. Hidup telah menjadi bagian perjalanannya sendiri ketika ia mampu menceritakan semuanya. Agaknya, pesan dan makna dari album yang sarat muatan emosional ini tersampaikan. Apapun itu.
Paninggilan, 26 Januari 2014