Cipayung, 31 Desember 2015.
Kamis, 31 Desember 2015
Have a Great 2016
2015 is a history. For each of us. Many stories left. Some with unanswered pray. But, hope still continue to run. May God bless us all in 2016. May the force be with us. Have a great 2016 ahead.
Rabu, 30 Desember 2015
A Reminder
It's always a gentle reminder for us. Though, we've been through a year. May the force be with us.
Dharmawangsa, 30 Desember 2015.
Senin, 28 Desember 2015
Practical Intuition
Intuisi adalah perangkat yang lebih "kuat" jika ia tidak hilang di antara komponen-komponen lainnya dalam proses pengambilan keputusan. (Hal. 98)
Awalnya, saya termasuk orang yang skeptis terhadap kemampuan intuitif. Namun, sejauh pengalaman ternyata ada banyak peristiwa yang merubah cara pandang saya terhadap intuisi. Saya pernah sangat menyesal atas keterlambatan saya dalam mengurus beasiswa dari salah satu BUMN padahal saya sudah mewanti-wanti diri sendiri agar melakukan beberapa hal antisipatif agar tidak kehilangan peluang beasiswa tersebut. Karena saya kemudian mengabaikan hal-hal tersebut maka saya pun kehilangan kesempatan. Sejak kejadian itu, saya mulai perlahan untuk melatih intuisi dengan bantuan buku ini.
Kemampuan intuitif adalah kemampuan kualitatif seseorang untuk mensintesakan segenap kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman. Utamanya, kemampuan intuitif ini seringkali digunakan sebagai satu cara pengambilan keputusan.
Menurut Laura Day, sang penulis sekaligus konsultan "Practical Intuition", intuisi dapat memberikan informasi yang tepat, terpercaya, dan berguna tentang apa saja bila dilatih dengan benar. Seringkali kita dihadapkan pada keadaan untuk mengambil sebuah tindakan atau keputusan dalam selubung ketidaktahuan. Laura Day, memberikan latihan-latihan untuk menajamkan intuisi demi menghadapi situasi yang demikian itu.
Pendekatan Laura Day dalam buku ini dilakukan secara sistematis dan logis. Hal ini turut membantu pembaca tahap demi tahap penguasaan intuisi pribadi. Laura Day menekankan bahwa intuisi bukanlah hal yang mistis. Intuisi adalah semacam latar kesadaran tentang bagaimana situasi bekerja dan merupakan fakta-fakta yang tersembunyi dalam otak.
Sebagai testamen, Demi Moore turut menyumbangkan pengalamannya bersama Laura Day. Ia menjelaskan situasi dari beberapa peristiwa penting dalam hidupnya yang ia lalui bersama dengan Laura Day, dimana ia dihadapkan pada berbagai kemungkinan dari keputusan-keputusan yang diambilnya. Demi menyadari bahwa dengan bantuan yang benar, intuisinya telah tumbuh dan membantunya untuk jitu mengambil keputusan dan tindakan.
Sekilas, saya merasakan atmosir yang sama antara buku ini dengan The Outliers karya Malcolm Gladwell. Hanya saja, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam menafsirkan sesuatu hal sebelum sampai pada keputusan. Agak heran rasanya bahwa di tengah persepsi skeptis masyarakat Barat mengenai 'sesuatu diluar sana' berkembang sebuah metode untuk menafsirkan bahkan menyimpulkan keadaan di masa datang.
Laura Day mengajarkan pada kita bahwa intuisi adalah bakat alami yang bisa dilatih. Melalui berbagai latihan, ia mengajak pembaca untuk menjelajahi alam bawah sadar. Buku ini kemudian membungkusnya dengan ringkas dan sangat jelas agar kita mampu membuka kemampuan alami yang kita semua miliki. Laura Day memberikan suatu cara yang mudah untuk menajamkan intuisi dan menggunakannya dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Judul : Practical Intuition
Penulis : Laura Day
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Tahun : 2006
Tebal : 333 hal.
Genre : Pengembangan Diri
Bumi Asri, 28 Desember 2015.
NB:
Diterjemahkan dari buku asli dengan judul "Practical Intuition: How to Harnes the Power of Your Instinct and Make It Work for You", Pocket Books, New York Times: 1997.
Minggu, 27 Desember 2015
Selamat Ulang Tahun, Cinta!
27/12/2014 - 27/12/2015
It's been a year since the day we fall in love (again).
It's been a year of love, tears, and joy.
So with all my love, thank you for your fervent heart, for all those dreams and laughs we share together. ❤️đđȘ
#Happy1stWeddingAnniversary #littlefamily
Pharmindo, 27 Desember 2015.
Jumat, 25 Desember 2015
Orang Maiyah
Hidup orang Maiyah tidak tergantung kekayaan dan atau kemiskinan, tetapi tergantung pada proses pembelajaran menggunakan akal dan nuraninya untuk menyutradarai hidup menuju yang pantas dituju.
Mengambil sub judul: Terang dalam kegelapan, Kaya dalam kemiskinan, buku 'Orang Maiyah' ini hadir sebagai penerang dan penjawab tanya, setidaknya tentang apa itu makhluk yang dinamakan Orang Maiyah. Sepengetahuan saya, baru buku ini yang khusus menerangkan apa yang terjadi dalam forum-forum Maiyah asuhan Cak Nun dan kawan-kawan. Adapun, mengenai asal usul dan pengenalan singkat tentang Jamaah Maiyah, telah lebih dulu ditulis oleh Prayogi R. Saputra dalam "Spiritual Journey: Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Nadjib".
Buku ini membahas rangkuman dialog Cak Nun bersama tujuh orang Jamaah Maiyah lainnya dalam menginternalisasikan peran forum Maiyah dalam keseharian hidup mereka. Dalam Forum Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota dengan codename Bangbang Wetan, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Jamparing Asih, dan lainnya itu tidak ada guru dan murid. Semua orang adalah murid, sang penghendak ilmu.
Maiyahan-sebutan lain untuk forum Maiyah-menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Jamaah Maiyah. Suatu momen dimana mereka rela tanpa lelah dan terpaksa duduk selama lima hingga tujuh jam untuk berkumpul dan berpikir tentang topik yang disajikan. Bergantian, Cak Nun hadir sebagai narasumber beserta tokoh-tokoh lain. Kadang diiringi lantunan musik suguhan Kiai Kanjeng.
'Orang Maiyah' membuktikan kapasitas Jamaah Maiyah sebagai penghasil karya buah pikiran yang bukan merupakan sebuah karangan. Penulis yang terlibat dalam buku ini menulis dengan tulus tanpa pretensi dan kebanggaan sebagai penulis. Cak Nun berperan sebagai editor yang mengurusi lalu-lintas naskah mereka.
Bagi saya pribadi, dalam buku ini saya menjumpai statement penegas dari Cak Nun yang sama ada dalam buku Spiritual Journey.
"Lebih baik saya nyolokin lombok rawit ke mulut orang Maiyah daripada duduk menerangkan dan mengurai panjang lebar tentang makna lombok kepada mereka"
Ini adalah satu bukti konsistensi Cak Nun dalam usahanya menggembleng mental orang Maiyah agar mau mentransferkan kembali ilmu yang telah mereka dapat ke jamaah lainnya. Dengan demikian, maka paripurna lah adanya orang Maiyah sebagai orang-orang yang ikhlas dan mau berpikir.
Lima belas esai buah karya orang Maiyah ini mengajak kita agar memaknai hidup dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun buku ini pernah diterbitkan dengan judul yang sama pada tahun 2007, tetapi relevansi kekinian dengan realita Maiyah tidak pernah berubah. Betapa Allah SWT dapat dicapai dengan ijtihad seperti yang dilakukan orang-orang Maiyah ini.
Judul : Orang Maiyah
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2015
Tebal : 100 hal.
Genre : Agama Islam-Sosial Budaya
Bumi Asri, 25 Desember 2015.
Rabu, 09 Desember 2015
Sebulan
Alhamdulillahirabbil'alamin. Nak, kini usiamu beranjak sebulan. Sebulan yang penuh dengan momen-momen penuh kenangan dan tidak boleh dilewatkan. Sayangnya, Bapak sudah hampir dua minggu tidak pulang.
Alde, Bapak tidak ingin jadi sentimentil setiap merayakan tanggal kelahiranmu. Hanya saja, Bapak terlalu bersemangat sehingga melakukan kesalahan penyebutan 'ulang tahun' yang seharusnya 'ulang bulan'. Begitulah kesalahan kecil Bapak. Barangkali, teman-teman Bapak di media sosial mafhum bahwa yang sempurna hanyalah Allah SWT.
Sebulan usiamu kini, Nak. Tangismu makin kencang saja. Bapak sangat bersyukur bahwa pada saat acara syukuran Aqiqahmu, engkau sangat tenang dan hanya menangis seperlunya. Engkau tertidur pulas ketika jamaah pengajian bergiliran memotong rambutmu. Bapakpun tidak menyangka kalau kamu sudah punya struktur tulang punggung dan leher yang kuat. Begitu kata Ibu Paraji yang mencukur habis rambutmu keesokan harinya. Lagi-lagi, engkau hanya bisa tertidur pulas sebelum akhirnya menangis kencang ketika dimandikan.
Tadinya, Bapak ingin mengaqiqahimu dengan memotong sendiri dua kambing itu lalu menyantap kambing guling bersama handai taulan dan segenap jamaah. Apa daya, Bapakmu ini belum lulus ujian potong ayam punya Kakek Haji. Ah, Bapak terlalu ingin begitu karena cerita Eyang Kakungmu.
Kemarin, Ibu sempat mengirim fotomu yang sedang belajar tengkurap. Bapak tentu saja kaget. Namun, keraguan Bapak sirna setelah memperhatikan raut mukamu yang penuh usaha itu. Engkau tentu berusaha untuk kuat tengkurap. Bapak bisa lihat itu dari posisi tidurmu selama disinar di RS. Lagipula, kata Ibu Paraji kemarin, kamu sudah punya tulang yang kuat. Jadi, biar agak waswas Bapak tetap senang melihat kemajuan pertumbuhanmu. Semoga engkau terus kuat, Nak.
Alde yang baik, tadi Ibu bilang bahwa kamu mulai sering menangis usai imunisasi kemarin. Bapak bisa bayangkan betapa kewalahannya Ibu. Sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengangkat telepon dari Bapak. Ah, Nak. Andai Bapak ada disana, Bapak akan menggendongmu sambil menyanyikan lagu-lagu daerah yang Bapak kenal sewaktu kecil. Hela Rotane, O Ina Ni Keke, atau kamu mau Bapak nyanyikan Ilir-Ilir?
Baiklah, Nak. Bapak sudahi dulu surat ini. Tolong jaga Ibu ya, Nak. Bapak sebentar lagi pulang.
Peluk hangat,
Bapak.
Dharmawangsa, 9 Desember 2015
Senin, 30 November 2015
Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara
Buku ini lebih terasa sebagai memoar seorang Seno Gumira Ajidarma tentang bagaimana seorang wartawan menghadapi periuk kekuasaan yang mendominasi kontrol terhadap pers. Rentang waktu sejarah republik kembali dibuka kembali pada tahun 1991. Peristiwa yang kemudian dinamai Insiden Dili 1991 tak pelak membawa nama Timor Timur mencuat dalam jagat konstelasi politik internasional. Konflik yang tak berkesudahan membuat situasi tak nyaman berlangsung hingga liberasi tahun 1999.
Banyak kejadian yang dialami SGA dalam usahanya untuk membeberkan fakta-fakta tentang peristiwa tersebut. Namun, seperti dapat ditemui pada sampul buku, pers Indonesia lebih dahulu "tiarap" dengan melakukan self-censorship. Sebagai "korban" kebijakan media tempatnya bernaung maka SGA menampilkan fakta-fakta itu melalui jalur sastra. Itulah mengapa kemudian kita mengenal karyanya "Jazz, Parfum, dan Insiden". Kemudian dimuat juga sebagai kumpulan cerpen berlatar belakang sama yaitu "Saksi Mata". Beberapa cerpen mengenai 'pembungkaman' ini juga masuk dalam kompilasi cerpen lainnya seperti "Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta".
Kemudian, SGA juga menggugat peran sastra di tengah masyarakat Indonesia yang diumpamakannya "masyarakat yang tidak membaca". Makna kata "membaca" disini bisa menjadi satu bahan diskusi, apakah bersifat kata kerja sifat, misalnya. Tulisannya itu dibuat sebagai pidato ketika menerima penghargaan South East Asia Literary Awards di Bangkok, Thailand.
Personally, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca dewasa ini. Keteguhan atas prinsip yang menjadi "nafas" utama yang menyemangati penulisnnya perlu untuk diapresiasi dalam menghadapi zaman sekarang yang penuh kepalsuan. Semangat integritas yang menjadi nilai utama adalah pelajaran yang bisa dipetik dalam menghadapai gelombang sejarah bangsa di masa depan nanti.
Kemudian, SGA juga menggugat peran sastra di tengah masyarakat Indonesia yang diumpamakannya "masyarakat yang tidak membaca". Makna kata "membaca" disini bisa menjadi satu bahan diskusi, apakah bersifat kata kerja sifat, misalnya. Tulisannya itu dibuat sebagai pidato ketika menerima penghargaan South East Asia Literary Awards di Bangkok, Thailand.
Personally, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca dewasa ini. Keteguhan atas prinsip yang menjadi "nafas" utama yang menyemangati penulisnnya perlu untuk diapresiasi dalam menghadapi zaman sekarang yang penuh kepalsuan. Semangat integritas yang menjadi nilai utama adalah pelajaran yang bisa dipetik dalam menghadapai gelombang sejarah bangsa di masa depan nanti.
Judul : Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2005
Tebal : 244 hal.
Genre : Kumpulan Esai
Halim Perdanakusuma, 30 November 2015
Negeri Senja
Awal bulan kemarin adalah sesuatu yang membahagiakan. Setidaknya untuk saya pribadi dan pembaca Seno Gumira Ajidarma. Novel ‘Negeri Senja’ akhirnya diterbitkan kembali tahun ini. Penerbitan kembali ini disertai dengan tampilan cover yang baru dan juga ilustrasi dari tokoh-tokoh pemeran cerita dalam novel itu sendiri. Dengan demikian, suasana pembacaan menjadi agak sedikit hidup karena pembaca tidak lagi perlu membuat imajinasi sendiri mengenai rupa para tokoh tersebut. ‘Negeri Senja’ sendiri selama masa terbitnya yang pertama meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2003.
Cerita mengenai bagaimana kehidupan dalam ‘Negeri Senja’ hanya saya baca samar-samar belaka, sebelum bisa membaca tuntas pada edisi penerbitan kembali ini. Pernah juga saya membaca satu cerpen yang terinspirasi dari Negeri Senja. Pada cerpen itu, dikisahkan mengenai kereta api terakhir bagi mereka yang ingin mengunjungi Negeri Senja. Syaratnya, para penumpang harus yakin untuk tidak kembali lagi, karena konon siapapun yang datang ke Negeri Senja tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Usai pembacaan ‘Negeri Senja’ yang sebenarnya, saya diingatkan kembali bahwa cerpen yang sebelumnya saya baca itu ternyata memang menggunakan Negeri Senja hanya sebagai hiasan. Negeri Senja adalah satu negeri dimana senja tidak pernah berakhir. Harusnya, keadaan seperti itu membuat bosan para penduduknya. Penduduk Negeri Senja hanya tahu senja seperti itu saja tanpa perlu merasa tahu bagaimana rasanya menikmati matahari pagi maupun redupnya cahaya bulan.
Matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja. Begitulah setidaknya si tokoh aku menggambarkan situasi disana. Dengan situasi yang demikian itu, rakyat Negeri Senja sudah terlanjur percaya oleh mitos kedatangan Sang Penunggang Kuda dari Selatan. Dialah yang akan membebaskan mereka dari jerat kekuasaan Ratu Tirana. Usaha untuk menuntaskan rezim Tirana sudah berulang kali dilakukan. Buntutnya, pada usaha terakhir untuk membunuh Tirana, menyebabkan terjadinya pembantaian besar-besaran di Negeri Senja. Usaha untuk membunuh Tirana telah gagal. Hingga aku si pengembara itu meninggalkan Negeri Senja, matahari belum juga terbenam di Negeri Senja.
Seperti novel dan roman lainnya, SGA tidak pernah meninggalkan signaturenya. SGA tidak pernah melupakan cinta sejatinya, Alina dan Maneka. Bahkan, kesan perjalanan yang dilakukan aku si pengembara tidak bisa lepas dari kesan terhadap Alina dan Maneka. Overall, ‘Negeri Senja’ adalah bacaan wajib bagi para pembaca SGA untuk mengetahui alasan-alasan kenapa senja selalu tampak begitu indah di mata seorang Seno Gumira Ajidarma.
Judul : Negeri Senja
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2015
Tebal : 243 hal.
Genre : Novel
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2015
Tebal : 243 hal.
Genre : Novel
Halim Perdanakusuma, 30 November 2015.
Minggu, 29 November 2015
Seputar Proklamasi Kemerdekaan
Courtesy: buku.kompas.com
Ada banyak kisah seputar pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini. Beberapa dari pelaku sejarah saat itu menghasilkan karya dari memoar mereka. Sejarawan pun terlibat dalam mengungkap kejadian-kejadian pra dan pasca proklamasi. Hingga, ada beberapa nama yang tidak begitu dikenal namun memberikan kontribusi nyata yang tidak sedikit.
Buku ini berhasil menghimpun berbagai sudut pandang pada lintas waktu sesuai dengan judulnya: seputar proklamasi kemerdekaan. Dimana Jepang telah menyerah kalah pada Sekutu, NICA yang berusaha kembali dengan datangnya Sekutu, hingga meletusnya Agresi/Clash ke 1 dan 2.
Kesaksian dalam buku ini dibuka dengan bab yang memperbincangkan tanggapan para ahli dan pelaku sejarah terhadap buku memoar tulisan Bung Hatta, "Sekitar Proklamasi". Memoar itu lantas menjadi pembahasan karena berhubungan dengan isu soal kedatangan Sekutu di bawah komando Admiral Patterson yang menjadi referensi Bung Hatta saat itu untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang. Melalui bab ini, Bung Hatta dengan sangat legowo menerima kritik terhadap memoarnya. Perbincangan dengan perantara media cetak memberi kita pelajaran bahwa saling mengkritik itu wajar demi tujuan sejarah yang lebih jelas serta dalam tatanan yang bersahabat.
Memasuki bab kedua, agaknya pembaca diajak untuk lebih mendalami kejadian-kejadian atau peristiwa yang berlangsung seputar saat penentuan teks proklamasi, peristiwa Remgasdengklok, hingga Proklamasi itu sendiri. Teks proklamasi yang otentik itu menjadi bahasan tersendiri oleh sejarawan Nugroho Notosusanto. Ada juga dua catatan panjang mengenai orang-orang Indonesia yang melakukan mogok masal pada perusahaan Belanda, KPM, di Australia sana usai mendapati kabar Indonesia merdeka.
Aksi-aksi heroik nan memukau yang tidak pernah tercatat dalam buku Pelajaran Sejarah Indonesia manapun diungkap pada bab ketiga. Tentang suka dan duka usaha penyiaran Proklamasi ditengah kedatangan pasukan Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang. Sila baca dan resapi catatan perjuangan mereka-mereka yang bekerja bahu membahu di pedalaman demi menjaga utuhnya Republik Indonesia.
Pada bab keempat, diungkap keterlibatan Jepang dalam hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan. Peran Laksamana Tadashi Maeda beserta koleganya yang bersama-sama hadir pada penyusunan naskah otentik Proklamasi. Jangan heran bila pembaca mendapati silang pendapat mengenai versi sejarah yang selama ini beredar. Bahwa memang kita sendiri kurang antisipatif terhadap berkembangnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam sudut pandang Jepang. Khusus mengenai hal ini, justru dapat menjadi awalan bagi para sejarawan untuk menilik lebih dekat dan meneliti kembali perihal wacana tersebut serta meluruskannya dengan fakta-fakta yang ada dan objektif.
Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah kliping koran (harian Kompas dan Intisari) yang mengalami proses klasifikasi dan identifikasi tertentu sebagai buah riset dokumentasi yang sistematis. Dengan begitu, hal ini membuktikan bahwa ketertarikan terhadap sebuah sumber sejarah tertentu tidak hanya berupa kesaksian tertulis dalam bentuk buku semata, tetapi juga dapat berawal dari sebuah kolom artikel di koran. Untuk ini, kita patutnya bersyukur pada usaha yang demikian itu demi terjaganya obyektivitas sejarah.
Judul : Seputar Proklamasi Kemerdekaan
Penulis : Hendri F. Isnaeni (ed.)
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2015
Tebal. : 258 hal.
Genre : Sejarah Indonesia
Bumi Asri, 29 November 2015.
Emergency Couple (lagi)
Minggu lalu, saya menonton kembali kisah Oh Jin Hee dan Oh Chang Min. Tentu saja, masih di serial drama Korea, Emergency Couple. Saya mulai dari episode 13. Tepatnya dari keping DVD nomor 3.
Tidak ada pilihan khusus mengapa harus memilih episode itu. Yang jelas, random saja karena saya juga tidak terlalu hafal alur cerita setiap episode. Saya pun tidak menonton dengan serius. Hanya sepintas lalu saja sembari menidurkan diri.
For your information, Emergency Couple bulan Oktober lalu baru saja mendapatkan tiga penghargaan pada ajang DramaFever di New York sana. DramaFever adalah situs penyedia streaming drama dari USA. Penghargaan diterima untuk Drama Terbaik, Aktris Terbaik, dan Drama paling banyak distreaming sejagad USA.
Dalam rentang episode 13 hingga 16 ini ada sesuatu yang menggelitik saya hingga harus menuliskan memori atas penontonan kembali serial itu. Oh Chang Min sudah membulatkan tekadnya untuk memulai kembali dari awal dengan Oh Jin Hee. Itulah masalahnya. Saat dimana Oh Jin Hee sudah melupakan semua yang telah terjadi diantara mereka. Satu waktu dimana Oh Jin Hee mulai merasa perlu membuka hatinya kembali pada orang baru. Bahkan, Oh Chang Min sempat merusak makan malam Jin Hee dengan Chief Chon Soo.
Oh Chang Min rupanya menyenangi idenya sendiri untuk memulai kembali dengan Oh Jin Hee. He just like the idea of falling in love, again. Hal ini mengingatkan saya pada satu tokoh dalam buku 'Traveler's Tale: Belok Kanan Barcelona'. Francis Lim yang cintanya pada Retno terhalang jurang perbedaan yang amat dalam, masih tidak bisa membiarkan dirinya dalam tanda tanya besar. Francis mengejar Retno kemanapun ia pergi demi sebuah jawaban. Francis just like the idea of falling in love, pada orang yang sama.
Anyway, tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang hubungan antara dua kisah fiksi diatas. Misalnya, tentang kenapa kisah Francis dan Retno tidak sedramatis drama-drama Korea. Lagipula, keduanya hanyalah hasil pembacaan dan penontonan kembali. Bukan atas hasil analisis yang tak terbantahkan.
Bumi Asri, 28 November 2015.
Kamis, 26 November 2015
Indonesia X-Files: Catatan Seorang Ahli Forensik
Kebenaran, sedalam apapun disembunyikan ia akan menampakkan dirinya. Kesan itulah yang saya dapat dari pembacaan buku ahli forensik yang sangat berpengalaman mengolah berbagai kasus besar di Indonesia. Saya kagum, bahwa dengan kesibukannya beliau masih mampu menuliskan pengalamannya menangani kasus-kasus besar. Sebut saja Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi. Lagi, mengenai kasus kematian aktivis HAM, Munir. Usaha beliau dalam menyibak fakta-fakta tersembunyi patut diacungi jempol dan diapresiasi setinggi-tingginya, ditengah usaha pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyembunyikannya.
Buku ini dibuka dengan pengantar dari pengacara kondang (yang kini tersandung kasus) O. C. Kaligis dan kriminolog Adrianus Meliala. Pendapat mereka sangat membantu dalam pembacaan kisah-kisah penulis karena dapat menjembatani pengalaman awam pembaca terhadap penulis. Penulis sendiri dengan pengalaman yang cukup panjang dalam berkiprah di bidang kedokteran forensik menyuguhkan tulisan-tulisan yang logis, ilmiah, dan faktual.
Menarik untuk menyimak penuturan penulis pada bab pertama. Penulis mengungkapkan berbagai temuannya seputar tragedi Semanggi, kematian aktivis buruh Marsinah, keanehan seputar peristiwa meninggalnya Bung Karno, hingga tragedi penembakan Nasruddin dan misteri dibalik meninggalnya aktivis HAM, Munir. Beliau menulis banyak soal kejanggalan-kejanggalan dan fakta tersembunyi dalam semua kasus tersebut. Ada banyak temuan-temuan yang faktual namun entah bagaimana mereka tidak pernah tersampaikan atau tampil menghiasi media massa. Dengan begitu, hilangnya nyawa dan selesainya kasus berhenti pada kesimpulan sementara semata. Tanpa mengindahkan fakta-fakta yang menyebabkan terjadinya kejadian-kejadian tersebut.
Memasuki bab selanjutnya, penulis menghadirkan sekelumit kisah tentang keterlibatan bidang kedokteran forensik dengan perkara kepolisian. Penulis agaknya sengaja membuat pendekatan yang lebih ilmiah agar peran kedokteran forensik dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar dan masuk akal dalam mengungkapkan satu kasus kejahatan/kriminal atau kecelakaan. Penulis mengambil contoh kasus dari beberapa kejadian penting yang melibatkan kasus kematian karena penembakan, ledakan, dan kecelakaan pesawat. Pada bab kedua ini, penulis lebih memberikan penekanan terhadap manfaat dan kegunaan kedokteran forensik.
Penulis juga tidak melepaskan perhatiannya kepada kasus kejahatan narkotika dan psikotropika serta pengaruh alkohol dalam kedokteran forensik. Penulis mengungkap juga satu kasus besar soal narkotika yang melibatkan Zarina, sang Ratu Ekstasi. Pada bab ketiga ini, penulis tidak terlalu banyak menulis pengalamannya.
Pengalaman penulis tidak terbatas hanya pada kasus kriminal yang melibatkan orang dewasa. Penulis juga mengungkap beberapa kasus yang pernah ditanganinya dalam hal kekerasan seksual dan kejahatan terhadap anak. Dalam bab ini, penulis banyak mengungkapkan pendapatnya mengenai kasus bayi tertukar, bayi hasil dari aborsi, pedofilia. Termasuk, kasus mutilasi anak dengan modus yang sama sekali baru dimana pelaku memotong korbannya dalam beberapa bagian dan disebar di berbagai tempat.
Pengalaman penulis tidak terbatas hanya pada kasus kriminal yang melibatkan orang dewasa. Penulis juga mengungkap beberapa kasus yang pernah ditanganinya dalam hal kekerasan seksual dan kejahatan terhadap anak. Dalam bab ini, penulis banyak mengungkapkan pendapatnya mengenai kasus bayi tertukar, bayi hasil dari aborsi, pedofilia. Termasuk, kasus mutilasi anak dengan modus yang sama sekali baru dimana pelaku memotong korbannya dalam beberapa bagian dan disebar di berbagai tempat.
Bab 5 ditandai dengan judul yang menyatakan kedokteran forensik sebagai “pisau” ilmiah. Namun, bab ini lebih membahas seputar hal-hal teknis dari kedokteran forensik itu sendiri. Untuk membedakannya dengan bab-bab sebelumnya. Pada bab terakhir, penulis memberikan keterangannya sekali lagi pada beberapa kasus pembunuhan, mutilasi, kematian Marsinah, hingga kematian Fathurahman Al Ghozi, tertuduh teroris yang meninggal di Filipina dan sempat membuat hubungan Jakarta-Manila menegang beberapa tahun silam.
Harus diakui bahwa tidak banyak ahli yang mampu menuliskan berbagai pengalamannya selama berkecimpung dalam satu bidang keahliannya. Adalah satu kekhususan dimana penulis mampu menuliskan beberapa kasus penting yang turut melibatkannya dalam pemeriksaan forensik. Perlu dicermati bahwa penulis menyertakan fakta-fakta yang jarang atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh publik. Saya mencermati pada kasus Munir, keterangan yang diberikan pada buku adalah sama dengan keterangan yang penulis berikan pada wawancara atau pun coverage media cetak lainnya. Dengan demikian, tidaklah terlalu salah bila buku dilabeli voice of voiceless.
Judul : Indonesia X-Files
Penulis : Abdul Mun'im Idries
Penerbit : Noura Books
Tahun : 2013
Tebal : 359 hal.
Genre : Memoar-Kedokteran Forensik
Halim Perdanakusuma, 26 November 2015.
Senin, 16 November 2015
Seminggu
Nak. Catatan ini ditulis ketika usiamu menginjak seminggu tanggalan kalender masehi. Pada hari dimana kamu diperbolehkan pulang usai menjalani terapi penyinaran akibat kadar bilirubinmu yang naik.
Nak, perlu kamu tahu bahwa kelahiranmu adalah hal paling terbaik yang pernah terjadi kepada Bapak dan Ibu. Kami bersyukur kepada Allah SWT karena engkau lahir dengan selamat dan sehat. Kami sudah sangat menantimu sejak hasil USG 4-dimensi menampakkan garis wajahmu.
Menurut Dokter Triani, kamu akan lahir pada tanggal 6 November 2015. Tanggal yang sama ketika Bapakmu bekerja pertama kali di Jakarta. Hari yang sama ketika Sir Alex Ferguson mulai melatih MU. Setelah Ibumu mengambil cuti di awal untuk mempersiapkan kelahiranmu, rupanya tanggal kelahiranmu ikut bergeser. Namun, itu bukanlah masalah. Kami tetap menantimu.
Proses kelahiranmu dimulai dengan induksi. Terhitung sejak hari Minggu, 8 November. Dimana konspirasi Spanyol mengalahkan Valentino Rossi yang gagal menjadi Juara Dunia MotoGP namun memenangi semua simpati penontonnya. Proses itu bukanlah hal yang mudah bagi Ibumu. Kontraksi yang dialaminya membuat Ibumu kerap mencengkeram erat jemari Bapak. Manusia berusaha dan Tuhan pula menentukan. Induksi hanya berhasil membuka jalan lahirmu hingga pembukaan 5.
Inilah saat yang paling berat untuk Bapak. Dimulai ketika para suster dan dokter mempersiapkan Ibumu untuk naik meja operasi demi menyelamatkanmu. Saat itu Ibu sudah puasa dua kali selama enam jam. Bapak tahu betapa lemahnya Ibumu. Namun, Bapak tetap berdoa karen dari hasil tes denyut jantungmu, hasilnya bagus, normal, dan stabil. Proses Sectio Caesaria pun dimulai. Bapak menandatangani persetujuan agar segera diambil tindakan.
Nak, satu lagi hal yang paling berat untuk Bapak selama Bapak menikah dengan Ibu. Adalah ketika mengantarkan Ibumu ke Ruang Operasi di lantai 3. Bapak bisa membayangkan betapa besarnya kekuatan dan pengorbanan Ibumu. Bapak hanya sanggup menahan air mata sembari menciumi kening dan pipi Ibu. Bapak tidak mau kelihatan cengeng dan melankolis seperti lagu-lagu Almarhum Rinto. *abaikan *lupakan
Bapak masih menangis di kamar mandi ketika dipanggil Suster untuk menandatangani beberapa hal. Kau tahu, Nak. Nenek Haji, Eyang Uti, Eyang Kakung, dan Aunty Feby tidak begitu menampakkan raut muka tegang. Mereka berhasil menenangkan Bapak hingga Bapak mau makan nasi jatah makan malam Ibu yang belum disentuh.
Bapak menunggu cemas sembari berdzikir dalam hati. Semoga engkau dan Ibumu selamat. Hanya ruangan tunggu sepi dan sesekali terdengar suara Haji Muhidin.
Bapak sedang merebahkan diri di kursi tunggu ketika suster memanggil masuk ke ruang operasi. Bapak khawatir terjadi sesuatu pada kamu atau Ibumu. Tak lama, Bapak mendengar kabar gembira: bahwa engkau telah lahir dengan selamat. Kamu tepat ada di hadapan Bapak, di dalam kotak perawatan, dengan rambut acak-acakan dan sedikit gumpalan darah tipis. Bapak segera menandatangani surat kelahiranmu.
Hari Senin, 26 Muharram 1437H, 9 November 2015, pukul 21.48 WIB. Engkau lahir dan resmi menjadi anggota terbaru keluarga kecil kami.
Bapak diminta menemanimu kembali ke IGD Kebidanan, tempat kamu akan dibersihkan sembari menunggu Ibumu sadar dari pengaruh bius. Bapak bilang sama Nenek Haji bahwa engkau sudah lahir. Kau perlu tahu, bahwa Eyang Kakungmu begitu bahagia dengan kabar itu. Itu adalah pelukan bahagia kedua dari Eyangmu, setelah di hari wisuda sarjana Bapak.
Menemanimu di ruang bebersih adalah momen yang sangat Bapak nikmati. Bapak mengumandangkan Adzan dan Iqamah di kedua telingamu. Alangkah bergetarnya hati Bapak ketika engkau tersenyum. Mungkin, ini adalah adzan pertama Bapak setelah lomba adzan di TPA. Dulu sekali.
Suster segera membersihkanmu. Bapak semakin bergetar mendengar tangisanmu. Tak lupa Bapak merekam momen itu lewat kamera ponsel. Bapak seakan merasakan sakitmu ketika suntikan pertamamu, Vitamin K, mendarat mulus di paha kirimu. Bapak berdoa semoga kelak engkau senantiasa sehat. Usai pengecekan fisik, mandi, lalu engkau dibalut bedong, tugas Bapak adalah menggendongmu. Bapak menggendongmu untuk pertama kalinya. Engkau pun hanya tertidur dan memejamkan mata sementara si suster mengambil foto untuk kenang-kenangan saat engkau pulang nanti.
Perjuangan selanjutnya adalah membangunkan Ibumu dan membawanya ke ruang perawatan. Bapak segera memeluk Ibu dalam tidurnya. Ibu tersadar dan langsung memintamu untuk ada di sampingnya. Tak lama engkau pun datang. Betapa bahagianya Ibumu saat itu. Ibu selanjutnya berusaha membuatmu mengenal ASI.
Sepanjang malam pertama itu Bapak tidak akan pernah lupa dengan tangisanmu. Kamu begitu unik. Biar punya tempat tidur sendiri di kotak bayi, kamu selalu menangis tak lama sesudah Bapak baringkan. Ibumu sudah tertidur lelah bersama Nenek Haji disampingnya. Tinggallah engkau dan Bapak. Bapak menggendongmu hingga pukul setengah lima pagi. Saat menggendongmu itu Bapak rasakan betapa damainya jiwa dan ragamu. I would spent my time just to seeing you like this, Son.
Tangisan pertama di pagi hari menandai keluarnya faeces pertamamu. Puluhan pesan daro handai taulan soal kelahiranmu di SMS, BBM, dan WhatsApp ikut membuka pagi pertamamu. Bapak sudah lelah ketika pagi menjelang. Ketika Bapak bangun, hanya ada kamu dan Ibu yang sedang tidur. Kamu pun menangis lagi. Seperti tahu Bapak sudah sedia menggendongmu lagi. Sepanjang siang hingga malam tak hentinya kamu menangis ketika akan Bapak baringkan ke tempat tidur. Ibu juga semakin berusaha memompa ASI untukmu. Walau masih sedikit tetapi kamu sudah mulai terbiasa.
Dua malam bersamamu rasanya tidak pernah cukup. Bapak harus kembali ke Jakarta, melanjutkan Initial FOO Course. Mau tidak mau, suka tidak suka, Bapak harus membesarkan hati Bapak untuk berani dan 'tega' meninggalkanmu. Sepanjang jalan, Bapak hanya bisa menatapi dan menciumi fotomu.
Senang hati Bapak ketika Ibumu sudah diizinkan pulang. Ibu semakin bersemangat menyusuimu. Dari foto-foto kiriman Eyang dan Auntymu, Bapak bisa lihat kebahagiaan dalam pancaran sinar matamu.
Sampai tiba pada hari Sabtu lalu, dimana kamu dinyatakan kuning dengan kadar bilirubin 17 dan harus menjalani rawat inap selama dua hari. Saat itu, Bapak tidak bisa pulang karena masih ada kelas. Bapak bisa bayangkan Ibu dan Eyang Putrimu yang menangis. Bapak pun sudah siap dengan kabar itu sejak Eyang Kakung mengirim foto dengan mata yang agak kuning.
Malam minggu Bapak pulang. Eyang Putri sudah tenang. Ibu juga tampak tenang. Besok, Bapak dan Ibu akan datang kepadamu.
Adalah sangat tidak menyenangkan untuk datang ke rumah sakit demi melihat yang tercinta hanya bisa terbaring lemah. Melihatmu bertelanjang dada dalam pose tidur yang merdeka dibalut sinar biru adalah hal yang menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Demi kesehatanmu kelak, Bapak dan Ibu harus menanti kesembuhanmu. Rupanya, karena golongan darahmu sama dengan Bapak sehingga kemungkinan kuningmu lebih besar.
Untung saja, segera tiba waktunya kamu disusui. Kami khawatir karena susu formula yang diberikan padamu selama masa perawatan akan mempengaruhi kemampuanmu mencerna ASI. Yang terpenting, Bapak dan Ibu bisa menggendong sekaligus menyusuimu. Kami hanya sebentar, barang setengah jam saja melepas kerinduan. Bapak harus kembali ke Jakarta dan Ibu menanti serta mendoakanmu di rumah.
Hari ini, ketika Bapak menulis catatan ini, Bapak merasa senang dengan kepulanganmu. Bapak juga senang dengan kabar bahwa kamu sudah mulai bisa menyusui pada Ibu. Tidak melalui feeder cup dan sendok lagi. Bapak terus berdoa semoga engkau terus tumbuh sehat dan menikmati ASI dari Ibu. Percayalah, Nak. Bapak pun rindu sangat kepadamu. Menggendongmu hingga terlelap adalah selalu Bapak nantikan.
Selamat, Nak. Selamat atas kepulanganmu. Selamat ulang tahun seminggu pertamamu.
Dharmawangsa, 16 November 2015.
Sabtu, 31 Oktober 2015
Kamis, 29 Oktober 2015
Tingkah Laku Juha
Orang yang menjual asap makanan, ia akan mendengarkan bunyi uang receh
Barangkali, pembaca sudah mafhum dengan Nasruddin. Dalam beberapa riwayat dinamai juga dengan Nashiruddin Juha atau Nasyruddin Hoya. Kisah-kisah tentangnya telah mengalami pembauran antara Juha yang berkebangsaan Arab dan Juha yang berkebangsaan Romawi sehingga ada sebagian kitab yang berpendapat bahwa Juha ini adalah kisah-kisah fiktif.
Barangkali, pembaca sudah mafhum dengan Nasruddin. Dalam beberapa riwayat dinamai juga dengan Nashiruddin Juha atau Nasyruddin Hoya. Kisah-kisah tentangnya telah mengalami pembauran antara Juha yang berkebangsaan Arab dan Juha yang berkebangsaan Romawi sehingga ada sebagian kitab yang berpendapat bahwa Juha ini adalah kisah-kisah fiktif.
Nashiruddin Juha adalah seorang tokoh yang entah bagaimana dalam beberapa kisahnya selalu digelari sebagai seorang sufi. Syekh Nashiruddin sangat piawai dalam memerankan gurauan dan canda yang berguna. Didalamnya, seringkali terselip falsafah hidup yang kalau dapat kita renungkan, kita akan mampu berproses menjadi manusia yang baik dan sempurna.
Buku ini merupakan terjemahan dari "Nawaridu Juha Al-Kubra" karya Dr. Darwisy Juwaidy dan diterbitkan oleh Ad-Daarun Namudzajiyah Lit-Thiba'ah Wan-Nasyr pada 1432H/2011. Ada 388 kisah jenakan yang menyentil keseharian hidup kita. Humor yang disampaikan Syekh Nashiruddin adalah humor yang menyindir, menyadarkan, sekaligus mengibur. Ia seakan membuktikan bahwa nilai-nilai mulia dalam kehidupan dapat dibuat dengan sedemikian rupa sebagai sarana dakwah. Tanpa harus mengajari.
Buku ini merupakan terjemahan dari "Nawaridu Juha Al-Kubra" karya Dr. Darwisy Juwaidy dan diterbitkan oleh Ad-Daarun Namudzajiyah Lit-Thiba'ah Wan-Nasyr pada 1432H/2011. Ada 388 kisah jenakan yang menyentil keseharian hidup kita. Humor yang disampaikan Syekh Nashiruddin adalah humor yang menyindir, menyadarkan, sekaligus mengibur. Ia seakan membuktikan bahwa nilai-nilai mulia dalam kehidupan dapat dibuat dengan sedemikian rupa sebagai sarana dakwah. Tanpa harus mengajari.
Catatan Singkat
Personally, saya sangat menyenangi tokoh yang di buku yang saya punya dinamai Nasyruddin ini. Saya sudah terbiasa dengan lawakan dan guyonan beliau dalam buku kecil itu-saya lupa judulnya. Kisah-kisah singkatnya selalu penuh makna dan falsafah hidup yang dalam. Bahwa dalam kesederhanaannya, Nasyruddin memiliki tingkat kesufian yang sudah sangat tinggi.
Saya menyadari betul bahwa buku ini merupakan buku terjemahan. Sehingga, saya tidak kesulitan menemukan alasan mengapa saya kesulitan memahami kisah-kisah jenaka Syekh Nashiruddin Juha. Apakah ada kaitannya dengan Nasyruddin yang ada di field of experience saya sebelumnya? Barangkali, benar adanya.
Anyway, "Tingkah Laku Juha" dapat menjadi alternatif bacaan hikmah. Sesekali pembaca mungkin saja dibuat maklum atau nyengir dengan kelakuan Syekh Nashiruddin. Agar lebih mengena, sediakan waktu sejenak usai membaca tiap kisah pendek beliau. Hal ini diperlukan agar pembaca dapat meresapi lebih mendalam pesan yang ingin disampaikannya. Sejalan dengan firman Tuhan: terdapat pelajaran (hikmah) untuk mereka yang berpikir.
Judul : Tingkah Laku Juha
Saya menyadari betul bahwa buku ini merupakan buku terjemahan. Sehingga, saya tidak kesulitan menemukan alasan mengapa saya kesulitan memahami kisah-kisah jenaka Syekh Nashiruddin Juha. Apakah ada kaitannya dengan Nasyruddin yang ada di field of experience saya sebelumnya? Barangkali, benar adanya.
Anyway, "Tingkah Laku Juha" dapat menjadi alternatif bacaan hikmah. Sesekali pembaca mungkin saja dibuat maklum atau nyengir dengan kelakuan Syekh Nashiruddin. Agar lebih mengena, sediakan waktu sejenak usai membaca tiap kisah pendek beliau. Hal ini diperlukan agar pembaca dapat meresapi lebih mendalam pesan yang ingin disampaikannya. Sejalan dengan firman Tuhan: terdapat pelajaran (hikmah) untuk mereka yang berpikir.
Judul : Tingkah Laku Juha
Penulis : Dr. Darwisy Juwaidy
Penerbit : Penerbit Salsabila
Tahun : 2012
Tebal : 376 hal.
Genre : Agama Islam-Hikmah
Penerbit : Penerbit Salsabila
Tahun : 2012
Tebal : 376 hal.
Genre : Agama Islam-Hikmah
Dharmawangsa, 29 Oktober 2015.
Pulang dari rumah Pak RT
Senin, 26 Oktober 2015
Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan, Sejarah Kecil Indonesia Jilid 7
orang bicara memuji jasa
"dengan darah dituliskan kemerdekaan bangsa"
kawan seperjuangan heningkan cipta
(Di Kubur Pahlawan - Rosihan Anwar)
Penerbitan kembali buku ini tidak lepas dari amanat beliau, yang menginginkan ketiga buku itu diterbitkan kembali secara lebih baik setelah tahun 2000. Sayang sekali, hasrat mendiang Rosihan Anwar untuk menerbitkan kembali ketiga buku itu tidak sampai. Namun, gagasan untuk penerbitan kembali itu pun kemudian dijadikan serial terbaru untuk melengkapi rangkaian 'Petite Histoire'. Bertepatan dengan peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, tahun 2015 ini, buku ini hadir ke tengah pembaca.
Isi dari ketiga buku itu amat monumental. Rosihan Anwar menceritakan secara gamblang, aktual, dan historis semua peristiwa yang terjadi, dilihat, dan dialami sendiri oleh beliau pada periode Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pada setiap pertemuan ilmiah kesejarahan, kisah-kisah ini seringkali diceritakan. Sebagai usaha untuk memproyeksikan kembali sejarah nasional secar akurat, terukur, serta filosofis.
Melalui bagian terakhir, terlihat secara jelas bagaimana usaha Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia sangat besar. Belanda masih ingin menjadikan Republik Indonesia sebagai suatu negara merdeka dibawah Kerajaan Belanda. Untuk itu, Belanda memanfaatkan mandat yang diberikan kepada Inggris hingga akhirnya Inggris percaya bahwa Belanda mampu menjaga keadaan Republik tetap kondusif.
Kisah-kisah dalam trilogi diatas merangkum semua peristiwa dalam satu lintas masa sejarah Republik, terutama menjelang Agresi Militer Belanda yang pertama. Rosihan Anwar, tidak hanya menampilkan kemampuan kewartawanannya belaka. Beliau juga adalah seorang seniman panggung teater. Maka jangan heran, bila pembaca menemukan sisipan puisi dan sajak milik beliau. Pembeda inilah yang membuat buku ini menjadi terkesan lebih personal. Sejarah versi Rosihan Anwar adalah sejarah yang objektif, personal, dan tentu saja: reflektif.
Dharmawangsa, 26 Oktober 2015.
"dengan darah dituliskan kemerdekaan bangsa"
kawan seperjuangan heningkan cipta
(Di Kubur Pahlawan - Rosihan Anwar)
Rosihan Anwar kembali lagi dengan jilid terbaru dari Sejarah Kecil 'Petite Histoire'. Buku jilid ke-7 ini merupakan kumpulan dari tiga buku lama yang terbit pada tahun 1970-an. 'Kisah-kisah Zaman Revolusi', "Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi', dan 'Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-1'. Ketiganya diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya.
Penerbitan kembali buku ini tidak lepas dari amanat beliau, yang menginginkan ketiga buku itu diterbitkan kembali secara lebih baik setelah tahun 2000. Sayang sekali, hasrat mendiang Rosihan Anwar untuk menerbitkan kembali ketiga buku itu tidak sampai. Namun, gagasan untuk penerbitan kembali itu pun kemudian dijadikan serial terbaru untuk melengkapi rangkaian 'Petite Histoire'. Bertepatan dengan peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, tahun 2015 ini, buku ini hadir ke tengah pembaca.
Isi dari ketiga buku itu amat monumental. Rosihan Anwar menceritakan secara gamblang, aktual, dan historis semua peristiwa yang terjadi, dilihat, dan dialami sendiri oleh beliau pada periode Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pada setiap pertemuan ilmiah kesejarahan, kisah-kisah ini seringkali diceritakan. Sebagai usaha untuk memproyeksikan kembali sejarah nasional secar akurat, terukur, serta filosofis.
Buku serial terakhir 'Petite Histoire' ini dibagi ke dalam tiga judul besar. Bagian pertama diawali oleh Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi. Rosihan Anwar menuliskan kesaksiannya terhadap keadaan Jakarta pasca diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 dan beberapa kejadian yang mengelilinginya. Diantaranya adalah Rapat Besar di Lapangan Ikada (Lapangan Banteng), 19 September 1945; dan juga peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Adapun, pada bagian kedua, Kisah-kisah Zaman Revolusi, Rosihan Anwar menceritakan beberapa peristiwa bersejarah dalam lingkup yang lebih luas. Almarhum dengan lugas bercerita tentang kejatuhan Semarang; Front Jakarta-Bekasi; Sandiwara Malino, yang adalah usaha Belanda untuk memecah belah Republik Indonesia melalui pembentukan Negara Indonesia Timur; Pembantaian Raymond Westerling; hingga misi pemjemputan Jenderal Besar Soedirman dari gerilya. Pada bagian ini, peran Inggris sebagai penerima mandat sekutu untuk masa peralihan dari Jepang dituturkan lebih gamblang. Hal yang tidak begitu nampak pada keenam serial 'Petite Histoire' sebelumnya.
Bagian terakhir diberi judul Kisah-kisah Jakarta Menjelang Clash Ke-1. Keadaan Jakarta diceritakan amat jelas menjelang aksi polisionil Belanda yang selalu dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Pada bagian ini, Rosihan Anwar tidak hanya bercerita mengenai pengalaman pribadinya saja, termasuk ketika menjadi asisten Sir Archibald Clark Kerr. Rosihan Anwar juga menulis tentang sepak terjang Tan Malaka (secara terbatas) dan membalas Surat Terbuka dari seorang wartawan Belanda, yang mencibir usaha-usaha Rosihan Anwar sebagai wartawan pejuang Republik.
Adapun, pada bagian kedua, Kisah-kisah Zaman Revolusi, Rosihan Anwar menceritakan beberapa peristiwa bersejarah dalam lingkup yang lebih luas. Almarhum dengan lugas bercerita tentang kejatuhan Semarang; Front Jakarta-Bekasi; Sandiwara Malino, yang adalah usaha Belanda untuk memecah belah Republik Indonesia melalui pembentukan Negara Indonesia Timur; Pembantaian Raymond Westerling; hingga misi pemjemputan Jenderal Besar Soedirman dari gerilya. Pada bagian ini, peran Inggris sebagai penerima mandat sekutu untuk masa peralihan dari Jepang dituturkan lebih gamblang. Hal yang tidak begitu nampak pada keenam serial 'Petite Histoire' sebelumnya.
Bagian terakhir diberi judul Kisah-kisah Jakarta Menjelang Clash Ke-1. Keadaan Jakarta diceritakan amat jelas menjelang aksi polisionil Belanda yang selalu dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Pada bagian ini, Rosihan Anwar tidak hanya bercerita mengenai pengalaman pribadinya saja, termasuk ketika menjadi asisten Sir Archibald Clark Kerr. Rosihan Anwar juga menulis tentang sepak terjang Tan Malaka (secara terbatas) dan membalas Surat Terbuka dari seorang wartawan Belanda, yang mencibir usaha-usaha Rosihan Anwar sebagai wartawan pejuang Republik.
Melalui bagian terakhir, terlihat secara jelas bagaimana usaha Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia sangat besar. Belanda masih ingin menjadikan Republik Indonesia sebagai suatu negara merdeka dibawah Kerajaan Belanda. Untuk itu, Belanda memanfaatkan mandat yang diberikan kepada Inggris hingga akhirnya Inggris percaya bahwa Belanda mampu menjaga keadaan Republik tetap kondusif.
Kisah-kisah dalam trilogi diatas merangkum semua peristiwa dalam satu lintas masa sejarah Republik, terutama menjelang Agresi Militer Belanda yang pertama. Rosihan Anwar, tidak hanya menampilkan kemampuan kewartawanannya belaka. Beliau juga adalah seorang seniman panggung teater. Maka jangan heran, bila pembaca menemukan sisipan puisi dan sajak milik beliau. Pembeda inilah yang membuat buku ini menjadi terkesan lebih personal. Sejarah versi Rosihan Anwar adalah sejarah yang objektif, personal, dan tentu saja: reflektif.
Judul : Sejarah Kecil 'Petite Histiore' Indonesia: Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan
Penulis : Rosihan Anwar
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2015
Tebal : 354 hal.
Genre : Sejarah Indonesia
Penulis : Rosihan Anwar
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2015
Tebal : 354 hal.
Genre : Sejarah Indonesia
Dharmawangsa, 26 Oktober 2015.
Rabu, 21 Oktober 2015
Atheis
"Tuhan tidak ada. Tuhan kabur, samar-samar, tidak jelas, gaib. (Hal. 123)
Atas pencapaian yang demikian itu, 'Atheis' dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah pada tahun 1969. 'Atheis' diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Maguire. 'Atheis' juga sempat diangkat ke layar lebar oleh Syuman Djaya pada tahun 1974. 'Atheis' kini menjadi satu dari sekian karya sastra monumentgal yang masih terus dibaca dan dibicarakan.
Judul : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2014
Tebal : 252 hal.
Genre : Sastra Indonesia-Roman
'Atheis' pertama kali terbit pada tahun 1949, hanya berselang jarak empat tahun dari proklamasi kemerdekaan Republik. 'Atheis' memotret suatu kondisi zaman dimana penganut paham filsafat eksistensialisme dan marxisme beradu usai perang dunia ke-2. Achdiat K. Mihardja dengan cermat memperhatikan tanda-tanda zaman dan menuliskannya ke dalam roman ini. Pemuda-pemudi Indonesia yang sempat mengecap pendidikan di Barat membawa paham-paham tersebut masuk ke dalam negeri, apalagi situasi perang kemerdekaan saat itu membuat kondisi Republik masih terlunta-lunta dalam melaksanakan ideologinya.
'Atheis' sendiri adalah satu-satunya karya Achdiat K. Mihardja yang terbit di Indonesia. Karya novel beliau, 'Debu Cinta Bertebaran' terbit untuk pertama kalinya di Singapura. 'Atheis' menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia klasik yang memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia. 'Atheis' telah mengalami cetak ulang sebanyak 26 kali hingga tahun 2014. 'Atheis', dengan sendirinya, menahbiskan dirinya sebagai monumen sastra Indonesia.
'Atheis' mewakili gejolak yang muncul di kaum muda Indonesia pasca kemerdekaan. Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia maka menarik banyak pelajar Indonesia yang selesai bersekolah di negeri Barat untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kebebasan pemikiran ala barat di kalangan 'vrijdenker' (free thinker) pada awal abad XX mulai memasuki babak baru dalam sejarah Republik yang begitu muda.
Pertentangan yang disuguhkan dalam 'Atheis' sesungguhnya adalah tipikal klasik. Kaum Atheis, yang menyanjung paham materialisme harus menghadapi kaum tradisional yang masih memegang teguh kaidah agama mereka. Munculnya paham Marxisme dan komunisme pada dekade-dekade selanjutnya membuat 'konflik' yang tak kunjung reda.
Empat belas bab dalam 'Atheis' menjelaskan bagaimana seorang Hasan harus berkonflik dengan batinnya sendiri. Hasan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Hasan pun menjadi seorang hama Tuhan yang sangat taat beribadah. Pertemuannya dengan sahabat lamanya, Rusli, adalah awal dimana iman Hasan mulai tergerus. Rusli adalah seorang yang rasional dan menganut paham materialisme ala Nietzsche. Rusli selalu mampu membantah argumen-argumen Hasan tentang ketuhanan.
Jalan hidup Hasan semakin berliku tatkala ia mulai jatuh hati pada Kartini yang dikenalkan padanya oleh Rusli. Kartini punya kesamaan yang sama dengan Rusli. Ia menganut paham ala barat itu. Kedekatan Hasan dengan Rusli semakin memuluskan cintanya pada Kartini.Percintaan mereka berujung hingga pernikahan walau tanpa restu orang tua Hasan.
Kehidupan pernikahan yang selalu dibayangkan Hasan pudar perlahan ketika ia mengetahui Kartini sering keluar dengan Anwar. Hasan pun bercerai dengan Kartini. Usai melewati puncak kemarahan dirinya. Hasan pun menyesal terhadap jalan hidup yang telah ia pilih. Ia telah menjadi Atheis dan telah mencabut nyawa Anwar.
Dalam novel ini, atheis yang disebutkan dalam judul tidak mengacu kepada tokoh tertentu yang dipertentangkan terhadap tokoh utama Hasan. Tetapi, lebih ditujukan kepada persoalan kehidupan yang dialami dan dijalani oleh tokoh Hasan. Hasan sendiri tidak pernah benar-benar menjadi seorang Atheis. Roman 'Atheis' menggambarkan jiwa Hasan sebagai kapal yang terombang-ambing antara theisme dan atheisme. Maka, ketika akhir hayatnya, Hasan masih mengucapkan 'Allahu Akbar!!!' sebagai tanda keimanannya.
Keberhasilan 'Atheis' terletak hampir pada semua unsurnya. Penggunaan teknik cerita berbingkai memungkinkan setiap peristiwa yang terjadi di dalam 'Atheis' seolah-olah terjadi diluar diri pengarangnya. 'Atheis' mampu melepaskan tokoh aku dari tokoh utama cerita. Unsur-unsur lainnya seperti perwatakan, latar cerita yang lekat dengan keseharian keagamaannya masing-masing secara padu mendukung tema yang menyuguhkan ketegangan antara keyakinan theisme dan atheisme.
Atas pencapaian yang demikian itu, 'Atheis' dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah pada tahun 1969. 'Atheis' diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Maguire. 'Atheis' juga sempat diangkat ke layar lebar oleh Syuman Djaya pada tahun 1974. 'Atheis' kini menjadi satu dari sekian karya sastra monumentgal yang masih terus dibaca dan dibicarakan.
Catatan Singkat
Perkenalan dengan 'Atheis' dimulai dengan sebuah pertanyaan soal di LKS (Lembar Kerja Siswa) pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Saya tidak tahu harus memilih pilihan jawaban yang mana ketika disodorkan hal tentang 'Atheis'. Hal itu membuat saya mendatangi Perpustakaan Sekolah dan meminjam 'Atheis'. Waktu itu, rupanya 'Atheis' terlalu berat untuk saya. Jadi, saya hanya membaca-baca sekilas mengenai pertentangan yang dialami tokoh Hasan.
Selanjutnya, pembacaan 'Atheis' hanya berlangsung parsial di Majalah Horison yang membahas karya monumental milik Achdiat K. Mihardja ini. Baru di Indonesian Book Fair tahun ini saya sengaja mengunjungi stand Balai Pustaka dan membawa 'Atheis' pulang untuk kedua kalinya. Alasannya cukup jelas, selain untuk menambah koleksi buku karya "Aki" Achdiat K. Mihardja, saya juga ingin memiliki satu karya sastra yang bisa dikatakan 'maju' pada zamannya.
Saya tidak berlebihan memberikan predikat 'maju pada zamannya' untuk 'Atheis'. Pada tahun terbitnya, tidak banyak karya sastra Indonesia yang mempertentangkan soal pemikiran Barat dan keyakinan tradisional masyarakat di tengah situasi Republik yang saat itu masih prematur. Kemudian, tidak banyak punya karya sastra yang seumuran dengan 'Atheis', yang mampu bertahan lama, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali dan selalu menjadi referensi bagi generasi terkini.
Akhirul kalam, 'Atheis' mampu memberikan aspek-aspek yang menantang mengenai tema yang diangkatnya. 'Atheis' mampu memainkan tema yang cukup peka dan sensitif hampir sepanjang sejarah kesadaran manusia. Untuk itu, 'Atheis' telah melampaui zamannya dan terus hidup di setiap zaman yang akan datang.
Judul : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2014
Tebal : 252 hal.
Genre : Sastra Indonesia-Roman
Dharmawangsa, 20 Oktober 2015.
Selasa, 20 Oktober 2015
Magenta Run Bandung 2015
Set aside a time solely for running. Running is more fun if you don't have to rush through it
- Jim Fixx
- Jim Fixx
Pertengahan Oktober tahun ini saya akhirnya memutuskan untuk kembali turun berlomba. Lomba lari pertama setelah Nike Run Bajak Jakarta 2014. Sekaligus lomba lari pertama tahun ini. Saya sengaja membatasi diri dari gemerlap godaan berbagai lomba tahun ini. Saya cukup menyadari bahwa saya mengalami degradasi. Pace lari saya turun pasca demam bulan Mei lalu. Akibatnya, saya kini dilanda kelebihan berat badan, yang jadi problem utama dalam berlari. Selain itu, saya sendiri sudah tidak mendapatkan lagi gairah dalam mengukuti lomba lari. Yang jelas, saya masih tetap berlari.
Atas ajakan kawan-kawan di Bandung, saya akhirnya turun aspal juga. Magenta Run Bandung 2015 resmi menjadi lomba pertama saya tahun ini. Namun, jadi yang pertama bagi Edy, Adit, dan Retno. Magenta Run ini merupakan event launching Magenta Brasserie, kepunyaan Aston Primera Hotel and Conference Bandung. Lomba ini juga menggaet komunitas Indorunners Bandung, yang menjadi marshall sepanjang rute lari.
Saya melewati garis start dengan memakai
perlengkapan debutan seperti sepatu Adidas Climacool Aerate III yang
dibeli di Korea tahun lalu dan belum pernah ikut lomba. Dipadu dengan
kaos Indorunners Bandung yang baru dikirim sehari sebelumnya. Peserta
lari yang tidak terlalu banyak (mungkin dibawah 200 orang) membuat event
lari ini serasa lari bareng Indorunners Bandung.
Pada saat balapan, saya tidak bisa berlari dengan performa terbaik. Badan saya rasanya terlalu berat. Padahal udara di sekitaran Jalan Pasteur cukup sejuk dan cerah. Memasuki Jalan Cipaganti, benar-benar menguji ketahanan dan mental. Jalanan yang teduh dan menanjak menguras tenaga. Saya pun tetap berlari dengan pace santai, mungkin sekitar 6/7 menit/km. Memasuki Jalan Sukagalih, saya sudah kelelahan. Keadaan ini sedikit 'merusak' program latihan saya bulan ini untuk mempertahankan pace di kisaran 6 menit 30 detik - 6 menit 40 detik per kilometer. Alhasil, saya finish menembus 5K di kisaran 35 menit.
Hasil lomba Magenta Run memang jauh dari target finish di 33 menit. Tetapi, sudah cukup untuk melatih kembali mental lomba saya. Minimnya pengetahuan tentang rute lomba serta training plan yang masih fokus di track landai sedikit banyak ikut mempengaruhi performance lari hari ini. Anyway, diluar itu semua, Bandung is always a great place to run. Happy running.
Pharmindo, 18 Oktober 2015.
Senin, 19 Oktober 2015
Koes Plus, Sebuah Kisah Dari Hati
Betapa tinggi elang akan terbang...
Lebih jauh lagi tinggi lamunan...
(Koes Plus - Perasaan)
Lebih jauh lagi tinggi lamunan...
(Koes Plus - Perasaan)
Memang sulit rasanya bila harus membaca kisah tentang Koes Plus tanpa menggumamkan sedikit banyak lirik lagu mereka. Terlalu banyak cerita yang terangkum dalam jalinan melodi yang kadang terlalu singkat. Pun, sulit pula ketika harus membuat ulasan buku ini yang saya tamatkan pembacaannya hanya dalam tempo setengah hari saja.
Kisah dari Hati, begitulah buku ini menamai dirinya. Ditulis oleh Ais Suhana-nama beken dari Muhammad Fiscana, yang sedari muda sudah mengenal Koes Plus. Ais sendiri adalah seorang promotor yang memiliki sebuah event organizer. Keakrabannya itu lantas mengantar Koes Plus pada kebangkitannya, pasca wafatnya Tonny Koeswoyo.
Untuk penggemar Koes Plus, tentu sudah mafhum dengan perjalanan Koes Plus. Sejak masih bernama Koes Bersaudara, hingga Kasmuri a.k.a Murry bergabung dan mereka sepakat menjadi Koes Plus. Tentu, didalamnya terselip kisah bagaimana sedih dan marahnya Tonny Koeswoyo ketika mereka dijebloskan ke Penjara Glodok. Walaupun, ada satu 'misi' dibalik penahanan itu. Ada banyak dialog-dialog personal yang terlibat dalam buku ini. Penekanan pada usaha untuk membangkitkan kembali masa kejayaan Koes Plus pada tahun 1993 adalah catatan tersendiri. Kisah-kisah ini semuanya belum pernah dipublikasikan.
Saya yakin pembaca tidak akan dibuat kecewa dengan buku yang belum masuk dalam daftar Goodreads ini. Tidak kurang sejumlah tokoh ikut menyumbangkan testimonial mereka untuk Koes Plus, termasuk budayawan Emha Ainun Nadjib. Yang terpenting, lampiran diskografi dari karya-karya Koes Plus turut juga dihadirkan.
Buku ini terasa lebih sebagai catatan harian Ais Suhana. Ais tahu betul linimasa yang dilaluinya saat bersama Koes Plus, maupun saat Koes Plus sudah tidak lagi bersamanya. Ais juga menambahkan banyak foto yang menggugah memori dan kenangan atas masa-masa kejayaan Koes Plus. Ada banyak sentuhan personal dalam kisah Koes Plus ini. Satu diantara yang paling berkesan untuk saya adalah catatan tangan Murry yang menyetujui ide untuk bersatunya kembali Koes Plus (halaman 57).
Bagaimanapun, Koes Plus telah mempelopori banyak hal dalam industri musik Indonesia. Sejak era pasca pembebasan Irian Barat hingga dewasa ini. Sebutan sebagai 'Tonggak Industri Musik Indonesia' agaknya memang layak disematkan pada jagoan musik Tanah Air ini. Buku ini adalah usaha untuk mengabadikan Koes Plus.
Judul : Kisah dari Hati: Koes Plus, Tonggak Industri Musik Indonesia
Penulis : Ais Suhana
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2014
Tebal : 230 hal.
Genre : Musik Indonesia
Dharmawangsa, 19 Oktober 2015
Sabtu, 19 September 2015
99 Untuk Tuhanku: Menggapai Kemesraan Lewat Puisi
Tuhanku,
berdekatankah kita
sedang rasa teramat jauh
tapi berjauhankah kita
sedang rasa begini dekat.
berdekatankah kita
sedang rasa teramat jauh
tapi berjauhankah kita
sedang rasa begini dekat.
Ada banyak cara yang ditempuh sejumlah seniman untuk menggapai kemesraan dengan Tuhannya masing-masing. Emha Ainun Nadjib telah menempuh jalannya sendiri menuju Tuhan. Dengan puisi, Emha menyatakan kemesraan, cinta, dan kasih sayangnya kepada Tuhan. Emha lantas mengumpulkan semua puisinya itu dalam '99 Untuk Tuhanku' yang lahir kembali setelah 30 tahun lebih setelah penerbitannya yang pertama.
Tulisan ini mencatat beberapa hal yang saya tangkap dari beberapa puisi pilihan. Tentunya, dasar pemilihan puisi-puisi ini adalah puisi yang mengingatkan saya pada statement/pernyataan-pernyataan Emha dalam esai, ceramah, diskusi, yang lahir kemudian, jauh setelah lahirnya 99 puisi Emha untuk Tuhannya ini. Dengan harapan, bagi saya pribadi saya mampu menemukan hubungan dan kesesuaian sikap antar apa yang pernah ditulis dulu dengan apa yang dikatakan/dilakukan sekarang.
Dalam puisi ke-8, Emha menyatakan pelepasannya atas segala harapan, kenikmatan, dan kemungkinan sejarah untuk membawa dirinya pada suatu keadaan yang ideal. Namun, sejarah sendiri hanyalah paket-paket kegagahan dan kecengengan berisi pedang serta sampah dan perut para pemenang.
tapi apa gerangan sejarah, Kekasih?
ialah paket-paket kegagahan
dan kecengengan
berisi pedang serta sampah
dan perut para pemenang
ialah paket-paket kegagahan
dan kecengengan
berisi pedang serta sampah
dan perut para pemenang
Puisi ke-23 adalah pernyataan Emha atas jalan yang ia pilih dan sedang ia tempuh. Emha telah memilih jalan yang sunyi ditengah hiruk pikuk zaman.
Tuhanku,
inilah sepiku
di tengah pekik zaman
yang membuatku bisu.
Puisi ke-30 memuat pernyataan Emha yang eksistensial. Tentu dengan makna konotatif khas puisi. Emha berseru pada Tuhannya agar tidak lantas menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggalnya. Sebagai tempat tinggalnya dalam keabadian. Tidak. Emha tidak menginginkan dunia dengan berdiam didalamnya.
Tuhanku,
jangan katakan dunia ini
ialah tempat kediamanku.
jangan katakan dunia ini
ialah tempat kediamanku.
Puisi ke-37 membuat saya teringat pada forum-forum Maiyahan maupun forum lainnya yang menghadirkan Emha sebagai pembicara. Emha membuka dirinya, menjadi orang tua, menjadi pendengar yang baik, menjadi lawan diskusi, bagi siapapun yang menginginkan interaksi dengan dirinya.
Tuhanku,
bagai Engkau, kusediakan cinta kasih bagi segala
hal yang tak beres, bagi racun-racun, para
musuh dan pengkhianatan, bagi yang enak
dicintai maupun yang tak sedap
Puisi nomor 42 tidak terlalu panjang. Menurut saya, puisi ini berkaitan dengan semangat Emha dalam memberikan pencerahan dalam masyarakat. Puisi ini berisi semangat Emha dalam menuju Tuhannya dengan tidak melarikan diri dari dunia yang semakin mengajarkan manusia untuk menjauhi Tuhannya. Dalam perjuangannya itu, Emha tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri.
bagai Engkau, kusediakan cinta kasih bagi segala
hal yang tak beres, bagi racun-racun, para
musuh dan pengkhianatan, bagi yang enak
dicintai maupun yang tak sedap
Puisi nomor 42 tidak terlalu panjang. Menurut saya, puisi ini berkaitan dengan semangat Emha dalam memberikan pencerahan dalam masyarakat. Puisi ini berisi semangat Emha dalam menuju Tuhannya dengan tidak melarikan diri dari dunia yang semakin mengajarkan manusia untuk menjauhi Tuhannya. Dalam perjuangannya itu, Emha tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri.
bukanlah karena aku ingin melarikan diri
dari dunia yang menjauhi-Mu ini
sebab dalam bertualang kepada-Mu
tak pernah aku beranjak
dari diriku sendiri.
Puisi nomor 59 menyatakan pertanyaan atau gugatan kecil Emha kepada Tuhannya. Dengan segenap kemajuan zaman yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhannya, mengapa Tuhan tidak lantas menurunkan kembali pada Nabi. Emha menyatakan bahwa zaman-zaman ini adalah zaman yang membutuhkan lebih banyak Nabi. Puisi ini walaupun sederhana namun cenderung filosofis. Ada pertentangan pemikiran yang mendasari gagasan untuk menurunkan kembali Nabi setelah Khatammul Anbiya Rasulullah SAW.
Tuhanku
apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu
dengan tak menurunkan lagi
seorang Nabi pun
untuk zaman yang membutuhkan
lebih banyak Nabi-Nabi?
Dalam puisinya yang ke-65, Emha menyisipkan doa. Agar kita selalu berendah hati dalam memohon kepada Tuhan dan hanya bertanya apa yang dibutuhkan dan sejati didambakan. Puisi ini memiliki makna yang panjang. Emha tidak menggiring pembaca untuk berdoa apa saja kepada Tuhan walaupun Tuhan telah bersabda: memintalah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Emha seakan mengingatkan bahwa memintalah hanya yang diperlukan dan dibutuhkan.
Tuhanku
anugerahilah kami kerendahan hati
untuk senantiasa memohon dan bertanya kepada-Mu
apa yang sesungguhnya kami butuhkan
apa yang murni kami perlukan
apa yang sejati, sejati-sejatinya
kami dambakan
apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu
dengan tak menurunkan lagi
seorang Nabi pun
untuk zaman yang membutuhkan
lebih banyak Nabi-Nabi?
Dalam puisinya yang ke-65, Emha menyisipkan doa. Agar kita selalu berendah hati dalam memohon kepada Tuhan dan hanya bertanya apa yang dibutuhkan dan sejati didambakan. Puisi ini memiliki makna yang panjang. Emha tidak menggiring pembaca untuk berdoa apa saja kepada Tuhan walaupun Tuhan telah bersabda: memintalah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Emha seakan mengingatkan bahwa memintalah hanya yang diperlukan dan dibutuhkan.
Tuhanku
anugerahilah kami kerendahan hati
untuk senantiasa memohon dan bertanya kepada-Mu
apa yang sesungguhnya kami butuhkan
apa yang murni kami perlukan
apa yang sejati, sejati-sejatinya
kami dambakan
Puisi nomor 76 memuat lagi pilihan Emha. Emha sengaja memilih sepi. Sepi yang sunyi. Barangkali dalam sepi sunyi itu, Emha menafsir rahasia-rahasia Tuhan dalam semesta ruang dan waktu. Emha memilih untuk menepi dalam sepi sunyi. Tak terpengaruh riuh rendah deru kehidupan yang tak henti selalu mendorongnya untuk tampil kembali.
Tuhanku Yang Mahahening!
kupilih sepi
sepi yang sunyi
maupun sepi dalam ramai.
sepi rahasia-Mu
yang menampung semesta ruang dan waktu
tak penuh oleh keributan jagat seribu
Emha kembali menyatakan pembebasan jiwanya pada puisi ke-87. Emha telah melepaskan segala ikatannya terhadap kekuasaan. Ia lepaskan juga ikatannya terhadap perkumpulan apapun. Ia ingin jadi individu dengan jiwa yang bebas jua. Tidak diperintah dan tidak memiliki. Emha hanya milik Tuhannya belaka. Maka, ia berikan segala hak apapun kepada yang berhak menerima darinya.
Tuhanku,
tak ingin aku memerintah
memerintah ialah diperintah.
tak ingin aku memiliki
memiliki adalah dimiliki.
Tuhanku,
berserah diri kepada-Mu
menumbuhkan segala kekuatan
yang tak bisa diganggu
tak ingin aku memerintah
memerintah ialah diperintah.
tak ingin aku memiliki
memiliki adalah dimiliki.
Tuhanku,
berserah diri kepada-Mu
menumbuhkan segala kekuatan
yang tak bisa diganggu
Bagi Emha, cara ini adalah sebuah sembahyang. Sembahyang sederhana sebagai usaha untuk merebut dirinya sendiri dari tengah cengkeraman kehidupan, kebudayaan, peradaban, politik, ekonomi, persaingan kalah-menang serta berbagai macam kecenderungan yang makin menjauhkannya kepada Allah SWT.
Sebutlah Emha sedang membaca puisi, berdoa, melakukan suatu pertobatan, suatu katarsis pikiran dan roh, atau bahkan sedang melaporkan kekhilafan-kekhilafannya, maka semuanya itu adalah benar. Puisi-puisi Emha mengikuti modifikasi budaya yang merangkum maknanya sebagai ungkapan rasa keagamaan, keindahan, kesenian, sekaligus pernyataan terus menerus akan kebenaran Allah SWT.
Dengan makna-makna yang tak terpilahkan itu maka Emha telah memilih sikap hidup yang sekaligus melandasi pola ungkapnya. Kesemua puisi Emha telah dibawanya ke dalam suatu sikap sembahyang, yakni buku ini sendiri '99 Untuk Tuhanku'.
Semua puisinya dimulai dengan nama Tuhanku. Seolah 99 puisi Emha ini mentafakkuri keberadaannya yang sama dengan jumlah nama-nama Allah SWT-Asmaul Husna.
Catatan Personal
Walaupun puisi-puisi lahir sebelum masa reformasi tahun 1998, tahun dimana Emha tampil terakhir kalinya di layar televisi, namun saya mencatat ada beberapa puisi (yang sudah saya tuliskan diatas) yang menjadi sikap Emha atas kejadian-kejadian seputar Reformasi 1998. Emha telah melepaskan segala ikatannya dengan pemerintahan, penguasa, partai, atau kelompok keagamaan manapun, setelah lengsernya Presiden Soeharto. Suatu tindakan yang didasari atas dasar keprihatinan batinnya ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya ternyata ikut menikmati kue Reformasi 1998.
Dengan demikian, paripurna lah kiranya segenap puisi Emha yang terkumpul dalam buku ini. Puisi bagi Emha rupanya bukan hanya sebuah karya, sebuah jalan pemikiran. Tetapi, lebih jauh puisi juga adalah pola ungkap konsistensi sikap seorang Emha Ainun Nadjib.
Judul : 99 Untuk Tuhanku
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 112 hal.
Genre : Puisi - Sastra Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 112 hal.
Genre : Puisi - Sastra Indonesia
Dharmawangsa, 19 September 2015.
clue:
Agama islam,
Cinta,
Emha Ainun Nadjib,
Indonesia,
kebudayaan,
memoar,
Perjalanan,
perjuangan,
puisi,
Resensi,
sastra,
seni,
story of a book,
Tulisan Bebas
Jumat, 18 September 2015
Tiga Menguak Takdir
Kalau kami bitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudajaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudajaan baru jang sehat.
- Surat Kepercayaan Gelanggang (hal. xi)
Tiga Menguak Takdir adalah cita-cita dari ketiga penggagasnya: Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Ide dasar atas terbitnya buku ini sudah ada di kepala mereka sejak satu setengah tahun sebelum mereka mendirikan 'Gelanggang'. Gelanggang sendiri adalah sebuah rubrik kebudayaan yang mengisi warta mingguan 'Siasat'. Tabloid Siasat mulanya diasuh oleh Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kemudian, dilanjutkan oleh Rivai Apin, Asrul Sani, Siti Nuraini, dan terakhir oleh Ramadhan K.H.
Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu, Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir.
Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.
"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.
Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka sebut sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka perjuangkan?
Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan. Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.
Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang. Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".
Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan sendirinya.
Catatan Personal
Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.
Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu, apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman perang kemerdekaan.
Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya, barangkali.
Judul : Tiga Menguak Takdir
Penulis : Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2013
Tebal : 82 hal.
Genre : Sastra Indonesia
Dharmawangsa, 18 September 2015.
Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu, Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir.
Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.
"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.
Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka sebut sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka perjuangkan?
Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan. Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.
Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang. Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".
Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan sendirinya.
Catatan Personal
Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.
Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu, apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman perang kemerdekaan.
Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya, barangkali.
Judul : Tiga Menguak Takdir
Penulis : Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2013
Tebal : 82 hal.
Genre : Sastra Indonesia
Dharmawangsa, 18 September 2015.
Selasa, 15 September 2015
Istriku Seribu: Sebuah Dialektika Poligami
Rahman dulu, baru Rahim. Beres cinta sosial dulu, barulah ketenteraman cinta pribadi.
Emha Ainun Nadjib (hal. 64)
Alhamdulillahirabbil'alamin. Lagi-lagi saya harus mengucapkan syukur ke hadirat Illahi Rabbi atas terbitnya kembali buku ini yang saya beli berbarengan dengan buku Emha lainnya, yaitu "99 Untuk Tuhanku". "Istriku Seribu" rupanya menempuh perjalanan yang lumayan panjang untuk hadir kembali ditengah-tengah masyarakat.
"Istriku Seribu" merupakan kumpulan esai Emha Ainun Nadjib yang mengangkat isu poligami dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur poligami, kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga konsep cinta dalam berbagai bentuk. Emha kali ini tidak tampil sendirian. Ia ditemani oleh Yai (Kiai) Sudrun, barangkali pembaca Emha sudah kenal sebelumnya.
Sebagian pembaca pasti kaget bila menyadari bahwa buku ini tidaklah cukup tebal untuk membahas isu semacam poligami. Pembaca mungkin tidak akan percaya bahwa Emha mampu menguraikan hal-hal yang demikian itu dalam buku yang tebalnya tak sampai 100 halaman. Pun, dimensi buku ini pun cenderung lebih kecil dari buku komik Jepang terjemahan.
Perlu dipahami juga bahwa walaupun esai-esai didalamnya berdiri dengan judul masing-masing, sesungguhnya semuanya itu adalah satu jua adanya. Emha dengan cerdik menempatkan esai-esainya sedemikian rupa agar pembaca mampu mencerna pelajaran dari setiap kisah, cerita, dan segenap dialektikanya bersama Yai Sudrun. Memang telah disinggung di bagian awal bahwa sedianya judul asli tulisan dalam "Istriku Seribu" ini adalah "Poligami Monopoligami Nopomimogali", yang lantas membuat Yai Sudrun langsung naik pitam.
Dalam memahami "Istriku Seribu", pembaca harus membaca esai dengan urut mulai dari awal. Harus ada kesepahaman nilai terlebih dahulu dengan penulisnya sebelum menafsirkan isi buku ini. Mungkin hal itu diperlukan pengulangan beberapa kali demi tercapainya satu konsensus bersama dan juga sebagai ijtihad agar tidak salah mengartikan.
Untuk mulai proses memahami tersebut, bisa dimulai pada esai 'Sudrun dan Tuhan Tak Mau Diduakan', Emha mengajak kita untuk memahami Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang baginya Aisyah itu adalah istri utama namun menjelang dicabutnya nyawa Beliau, yang disebut-sebut justru bukanlah Aisyah R.A, melainkan "Ummatiii... Ummatiii..". Kemudian, pada konteks sifat Allah SWT Ar-Rahim (cinta ke dalam, cinta vertikal, cinta personal) istri kita adalah ibunya anak-anak kita. Persuami-istrian lelaki-perempuan adalah suami-istri dengan skala ar-Rahim, meskipun berposisi dialektis dengan ar-Rahman: suami-istri sosial (cinta meluas, horizontal, keluar). Pada Kanjeng Nabi, istri ar-Rahim-nya adalah Khadijah, yang bersamanya justru beliau berdua memberi kontribusi-kontribusi sangat besar secara ar-Rahman.
Setelah Khadijah R.A wafat, istri ar-Rahim Beliau adalah Aisyah. Istri beliau yang lain pada masa sepuhnya adalah istri-istri dalam konteks ar-Rahman: istri sosial, istri yang diambil karena dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial: banyaknya janda-janda peperangan, sejumlah wanita teraniaya, jumlah tak seimbang antara lelaki dan perempuan.
Kaum Muslim bersemayam di kandungan kalbu Kanjeng Nabi, terkadang bagai salju yang sejuk, terkadang bagai api yang membakar dada beliau. Kanjeng Nabi tidak punya masalah pribadi dengan manusia, dunia, atau Tuhan. Beliau sudah dijamin masuk surga. Namun, setiap malam, Kanjeng Nabi bersujud, tahajud, menangis, menangis, menangis. Dan yang Beliau tangisi bukan diri Beliau sendiri, bukan istrinya yang ar-Rahim, Khadijah almarhumah atau Aisyah, melainkan istri ar-Rahman: yakni Umat Islam.
Mungkin salah satu hal yang Kanjeng Nabi tangisi adalah karena Kaum Muslim yang istri utamanya tidak pernah benar-benar meletakkan Beliau sebagai istri atau suami Beliau yang utama. Dalam hampir semua bagian dari sejarahnya, Kaum Muslim memperistrikan-atau lebih akurat: mempermaisurikan-harta benda, kekuasaan, kepentingan pribadi, dan keserakahan dunia. Allah dan Muhammad seringkali disebut-sebut dalam konteks kepentingan untuk mendapatkan kekayaan atau kekuasaan. Allah dan Kanjeng Nabi hanya instrumen bagi Kaum Muslim yang dipakai untuk memperbanyak perolehan modal, deposit materi, kekuasaan, atau popularitas.(Hal. 47-49)
Emha mulai bicara lugas soal poligami sejak asal-usul hingga pedoman pelaksanaannya sejak esai berjudul 'Satu Suami Ratusan Istri'. Pada zaman sebelum Kanjeng Nabi mengantarkan ajaran Allah, lelaki di masyarakat meletakkan kaum wanita sebagai barang atau aksesori berlian atau budak. Lelaki waktu itu, kalau kaya, bisa mengawini ratusan wanita. Kaum wanita dianiaya, direndahkan derajatnya, dianggap barang, diambil dan dibuang semaunya oleh lelaki.
Dalam keadaan itu, Allah SWT melakukan revolusi: dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi hanya paling banyak empat istri, dengan peringatan keras jangan mengeksploitasi mereka dalam hal apapun. Dari ratusan istri diradikalkan menjadi empat istri merupakan sebuah tahap, Dan, tahap inilah yang dipergunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya disetop disini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah-olah tidak ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan. Maka, seluruh dunia pada abad 21 ini beranggapan seperti itu, stagnan dalam justifikasi bahwa Islam memperbolehkan lelaki kawin empat. (hal. 84-86)
Esai selanjutnya, 'Tuhan Mengajak Berdiskusi' berisi diskusi antara ayat Tuhan dengan akal pikiran manusia. Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi juga mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya.
Pada kalimat yang sama, dengan radikalisasi ratusan istri menjadi empat istri, Tuhan memancing kedewasaan akal manusia: Kalau engkau takut tidak akan bisa berbuat adil, maka satu istri saja. Itu pun kalimat sebelumnya, yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat dimulai dengan kata 'maka'. Artinya, pasti ada anak kalimat sebelumnya. Ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya, tidak bisa dipotong disitu.
Maka, kawin empat itu juga berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun disamping dari yang dipaparkan oleh Tuhan dan sejarah, juga kita cari melalui aktivitas akal kita sendiri. Kawin empat, menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia memiliki konteks sosial. Ia bukan merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang 'terpaksa' atau wajib kita lakukan, senang atau tidak senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama.
Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan, 'kalau engkau takut tak bisa berbuat adil...' lantas engkau bersombong menjawab kepada Tuhan, 'Aku bisa kok berbuat adil', kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau nyatakan 'Aku ingin memberi contoh poligami yang baik'-seolah-olah Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. (hal. 88-90)
Melalui "Istriku Seribu", Emha mengajak kita untuk senantiasa berijtihad dengan memproses pemikiran dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. Emha tidak menafsirkan poligami menjadi sebuah polemik yang kaku dan tetap. Emha ingin berpesan bahwa banyak hal-hal yang harus dipahami terlebih dahulu dalam memaknai satu dan sekian banyak ayat-ayat Tuhan. Termasuk implikasi sosio-historisnya dalam konteks kehidupan berkeluarga. Emha tidak berkata tidak kepada poligami, tetapi ia menegaskan kembali satu persyaratan utama dari Allah SWT. Satu hal yang sering kita anggap remeh; bahwa kita bisa dan mampu berlaku adil. Sedang, Tuhan-yang menciptakan manusia-sangatlah paham, bahwa ciptaannya itu takkan mampu berbuat demikian.
Catatan Singkat
Usai pembacaan buku ini selesai, saya tidak hanya mendapatkan penjelasan Emha mengenai poligami yang telah diuraikan diatas, buku ini juga mengantarkan saya kembali pada definisi Manajemen, dimana sebelumnya pada bulan Ramadhan tahun 2011 lalu pernah saya muat juga dalam blog ini. Bila pembaca penasaran, sila loncat ke halaman 39 atau klik link berikut.
Selain definisi manajemen versi Emha Ainun Nadjib, saya juga menemukan keteguhan sikap Emha atas dunia. Seperti yang pernah saya saksikan pada satu sesi pengajian Maiyahan.
"Silakan menertawakanku, melecehkanku, membuangku. Namun, engkau wahai dunia, tidak akan sedikit pun pernah mampu mengubah sejengkal saja kakiku dari pijakan cinta yang kupilih."
"Kalian tidak akan pernah bisa memusnahkanku, karena aku sudah merdeka dari kemusnahan, sudah merdeka dari yang kalian pahami sebagai kehidupan dan kematian." (hal. 58)
Sungguh tegas pernyataan Emha diatas. Pernyataan yang lahir dari keteguhan hati dan kebesaran jiwa, yang hanya mendamba pada Allah SWT semata. Agaknya, mengenai sikap Ehma yang demikian itu tidaklah perlu diadakan penelitian tersendiri. Lintasan waktu sejarah telah menggembleng Emha untuk menempuh jalan sunyinya sendiri.
Judul : Istriku Seribu
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 98 hal.
Genre : Agama Islam-Sosial dan Budaya
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 98 hal.
Genre : Agama Islam-Sosial dan Budaya
Dharmawangsa, 15 September 2015.
Langganan:
Postingan (Atom)