“Tuhan, berikanlah zaman kala bendhu setiap hari, supaya besok pagi saya bisa tetap berkarya.”
Kira-kira begitulah bunyi doa seorang karikaturis setiap hari. Pengharapan setiap harinya adalah sebuah inspirasi baru dari suatu zaman atau masa yang ditinggali dan dijalaninya. Karya yang dibuatnya setiap hari adalah bukan hanya sebuah pesan belaka. Gambar yang dibuatnya menjadi sebuah saluran untuk menyuarakan pendapat dan menyebarluaskannya pada khalayak ramai.
Ketika saluran untuk menyampaikan pendapat atau kritik tersumbat, maka karikatur merupakan salah satu jawabannya. Satir yang dituangkan ke dalam gambar membuat daya kritik menjadi tidak langsung, sehingga tidak terlalu terasa menyakitkan. Sejak kemunculannya yang pertama, Panji Koming menjadi saluran untuk mengemukakan ketidakberdayaan. Saat zaman membuat sulit untuk menyampaikan pendapat atau kritik, karikatur menjadi penting dan bermakna.
Kira-kira begitulah bunyi doa seorang karikaturis setiap hari. Pengharapan setiap harinya adalah sebuah inspirasi baru dari suatu zaman atau masa yang ditinggali dan dijalaninya. Karya yang dibuatnya setiap hari adalah bukan hanya sebuah pesan belaka. Gambar yang dibuatnya menjadi sebuah saluran untuk menyuarakan pendapat dan menyebarluaskannya pada khalayak ramai.
Ketika saluran untuk menyampaikan pendapat atau kritik tersumbat, maka karikatur merupakan salah satu jawabannya. Satir yang dituangkan ke dalam gambar membuat daya kritik menjadi tidak langsung, sehingga tidak terlalu terasa menyakitkan. Sejak kemunculannya yang pertama, Panji Koming menjadi saluran untuk mengemukakan ketidakberdayaan. Saat zaman membuat sulit untuk menyampaikan pendapat atau kritik, karikatur menjadi penting dan bermakna.
Kritikan melalui karikatur tetap mempunyai tempatnya sendiri. Hanya, pengukuran kualitas menjadi lebih berat karena yang dituntut bukan hanya alur cerita yang mengalir ataupun komposisi gambar yang lebih mengena tetapi kualitas kritikan yang lebih cerdas.
Panji Koming membuat kita jadi semakin melek informasi. Panji Koming selalu cerdik dalam menemukan sudut pandang yang unik dalam menatap sebuah peristiwa sosial dan politik. Walaupun, mengambil rentetan peristiwa Zaman Majapahit, tetap saja dengan mudah kita mengaitkannya dengan fakta-fakta kontemporer.
Sejak Orde Baru masih bertahta, Panji Koming cenderung tampil serba tersamar dan cenderung tiarap. Ada kesengajaan adegan untuk dikaitkan kepada penguasa negara. Hingga masa orde reformasi dengan segala keterbukaan saat ini, Panji Koming tidak serta merta mengubah tutur ucapnya. Panji Koming tetap hadir dalam kemasan yang bijaksana, santun, nylekit, dan mengusung atmosfir budaya Jawa, guyon parikeno.
Kala Bendhu merupakan keberadaan dalam pemikiran masyarakat Jawa tentang zaman yang terkutuk dan sangat tidak menyenangkan. Kurang lebih, masyarakat secara umum dikuasai kebendaan. Dalam pandangan kartunal, zaman Kala Bendhu disebutkan sebagai zaman culun dan menyebalkan. Bagi kartunis, hal ini jadi lahan berkembangnya kreativitas yang sangat luas, aneh dan beragam.
Pada edisi ini, Panji Koming mengambil plot Indonesia tahun 2003 hingga 2007. Zaman yang lebih memekik daripada Orde Baru, dimana peninggalan sisa-sisa Orde Baru belum sepenuhnya surut. Tahun-tahun yang penuh dengan tebaran peraturan dan tuaian pelanggaran. Penuh dengan lagu tanpa nada, penuh dengan nada tanpa suara. Penuh dengan penyanyi tanpa manusia. Ibarat telur diujung tanduk. Panji Koming menggiring kita untuk melihat keatas, bagiamana para pengatur negeri ini...membiarkan telur nangkring di ujung tanduk.
Judul : Panji Koming: Kocaknya Zaman Kala Bendhu
Penulis : Dwi Koendoro Br
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 144 Hal.
Tahun : 2008
Tebal : 144 Hal.
Tahun : 2008
Genre : Karikatur-Komedi
Dharmawangsa, 26 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar