Sumber gambar: www.goodreads.com |
Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya,
bahwa tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya
sudah bebas buta huruf, namun bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar
belum membaca secara benar – Hal. 133
Ini adalah tulisan kedua tentang buku ini. Tulisan pertama di blog ini terbit pada bulan November 2015. Saya merasa perlu menulis tentang buku ini sekali lagi. Untuk keperluan penjelasan antara fakta dan fiksi yang menurut saya belum diulas pada tulisan pertama.
‘Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara’ adalah
Trilogi Insiden bersama ‘Saksi Mata’ (kumpulan cerpen) dan ‘Jazz, Parfum, dan
Insiden’ (roman). Ketiganya memuat fakta seputar Insiden Dili yang ditabukan
media massa semasa Orde Baru. Selanjutnya, pertarungan antara fiksi dan fakta atau
fakta dalam fiksi akan menjadi pertarungan yang dibahas penulisnya. Ketiga buku
terbit dimasa kekuasaan Orde Baru sehingga ketiganya tidak dapat menghindar
untuk tidak terlibat dalam persoalan politik kekuasaan, secara praktis dan
konkret.
Buku ini banyak bercerita tentang pergulatan SGA dengan
perjalanan jurnalismenya. Terutama ketika meliput tentang Insiden Dili. Sebagai
penulis fiksi, SGA tidak bermaksud menulis fakta-fakta tentang fiksinya sendiri
untuk memperkuat fiksi tersebut. Bahkan juka kemudian ada pembacaan
intertekstual antara fakta dan fiksi yang ditulisnya, maka itu semua adalah
diluar kekuasaan SGA.
SGA menulis tentang bagaimana ia memposisikan cerpen dalam
sastra Indonesia. Pun, dihubungkan dengan konteks realitas di Indonesia. SGA
menjelaskan banyak hal dalam ikhtiar proses memadukan unsur fiksi, jurnalisme,
dan sejarah menjadi satu produk yang utuh. SGA mengolah fakta menjadi fiksi
dengan menulis apa yang dilihatnya, kemudian mengolahnya menjadi bahasa yang
dapat diterima sebagai sebuah karya fiksi. Dengan begitu, kiranya sah
pernyataan judul buku ini: Ketika Jurnalisme Dibungkam (maka) Sastra Harus
Bicara.
Saya pribadi terkesan dengan sebuah bab berjudul “Penulis
Dalam Masyarakat Tidak Membaca”. Kutipan diatas saya ambil dari tulisan yang
disampaikan SGA dalam Pidato Penerimaan Penghargaan South East Asia Writing
Award tahun 1997. Tanpa mengesampingkan tulisan-tulisan lainnya, saya
menganggap buku ini adalah satu catatan tersendiri untuk satu Bab dalam
perjalanan sejarah Republik tercinta.
Edisi pertama buku ini terbit pada tahun 1997, tidak lama
sebelum Rezim Orde Baru turun tahta. Edisi Kedua lahir kembali pada tahun 2005.
Pada masa reformasi ini, buku ini kembali diterbitkan kembali untuk memenuhi
kebutuhan untuk saling mengingatkan. Dengan judul Trilogi Insiden yang membuat
tiga judul buku secara utuh. Pembaca dipersilahkan untuk menilai sendiri
relevansi antara keduanya, dilihat dari tahun penerbitan dimana pers sudah
dianggap bebas sejak Reformasi 1998.
Judul : Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra
Harus Bicara
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit :
Bentang Pustaka
Tahun :
2005
Tebal :
243 hal.
Genre :
Sastra Indonesia
Cipayung, 21 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar