Karena tanda orang kaya adalah ‘merasa cukup’ dan tanda miskin adalah ‘merasa belum cukup’? Maka puasa hadir ke dalam kepalamu tatkala pikiranmu bertanya:
“Benarkah aku perlu makan di restoran semahal itu?”
“Benarkah ada sesuatu yang prinsipil yang mengharuskanku membeli barang ini?”
“Benarkah ada padaku kewajaran nilai yang mewajibkanku merebut pemilikan saham-saham itu?”
Sumber gambar: caknun.com |
Maka puasa merasuk ke dalam dadamu ketika mulutmu berbisik ke telinga nuranimu sendiri.
“Apakah memang aku harus mengambil political decision yang sedahsyat ini, yang dampaknya adalah kesensaraan sekian banyak rakyatku sendiri?”
“Apakah aku memang wajib mempertahankan kekuasaan ini demi sesuatu yang mendasar dan berorientasi kepada kepentingan mayoritas rakyatku?”
“Sampai kapan aku akan mendalangi semua itu dengan keyakinan bahwa ini semua adalah yang terbaik bagi masa depanku sendiri serta masa depan keluargaku sendiri?”
Jakarta, 2 Juni 2017.
Potongan dari artikel ‘Puasa dan “Tarikat Wajib” dalam Kebudayaan’ dalam buku ‘Tuhan Pun “Berpuasa”’, Emha Ainun Nadjib, Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar