"Bargaining Golkar Sudah Lemah." - Tifatul Sembiring, Harian Republika 9 Oktober 2009
Kemenangan Aburizal Bakrie (AB) dalam memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar adalah satu pertanda bahwa Gokar masih akan berada dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Golkar adalah bagian dari sejarah kekuasaan sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melihat Golkar yang berada diluar kekuasaan.
Golkar selalu berada dalam kekuasaan dan para elitenya pun menghendaki pula hal yang demikian. Terlepas dari perdebatan siapa yang jadi presidennya. Alasannya sederhana, partai ini dibuat dan dikembangbiakkan untuk meraih, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan.Situasi sekarang tidaklah mudah. Golkar bukan lagi partai pemenang pemilu yang menguasai kursi di DPR. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR pun ikut melemahkan power Golkar.
Maka, ketika muncul wacana untuk jadi oposisi beberapa kadernya mulai bereaksi dengan menggulirkan isu munas dengan tujuan untuk mengambil langkah nyata dan sikap Golkar dalam pemerintahan SBY 2.0. Opsi untuk jadi oposisi hanya akan semakin menjauhkan Golkar dari kekuasaan.
Pernyataan sikap Golkar yang menegaskan bahwa Golkar tidak koalisi dan tidak oposisi mengindikasikan keinginan Golkar untuk masih berada dibawah ketiak kekuasaan negeri ini. "Jika kebijakan pemerintah memperbaiki rakyat, kita dukung. Bila tidak, Golkar akan mengkritik.", begitu kata Aburizal Bakrie. Dan bila Presiden meminta kader Golkar masuk kabinet, Golkar tidak keberatan, tambahnya.
Sikap yang demikian adalah wajar untuk negara dengan sistem kabinet presidensial seperti Indonesia. Partai politik tidak perlu untuk menampakkan wajahnya secara terang-terangan. Punya dua muka pun bukan hal yang salah. Tentu akan berbeda bila sistem kabinet yang digunakan adalah kabinet parlementer. Disitu diperlukan adanya dua sisi yang berbeda. Hitam dan putih. Koalisi dan oposisi. Moderat dan konservatif.
Yang perlu diwaspadai oleh Golkar adalah pelaksanaan dari pernyataan sikapnya itu tadi. Jangan sampai apapun keputusan pemerintah baik yang mensejahterakan rakyat atau yang mengebiri hak-hak hidup rakyat diamini begitu saja tanpa ada perlawanan. Seolah Golkar lupa janjinya untuk jadi tukang kritik. Lantas, jangan juga Golkar hanya bisa cuci tangan bila keputusan pemerintah tersebut tidak berimplikasi apa-apa pada kualitas hidup rakyat.
Sebelum Golkar kembali ke puncak kekuasaan negeri ini alagkah baiknya bila Golkar terlebih dahulu mengambil langkah retrospektif dalam menganalisa dirinya sendiri. Golkar perlu menguatkan dirinya dahulu dari dalam sebelum comeback ke arena. Perseteruan antar faksi yang menyeruak dalam Munas kemarin mutlak perlu diselesaikan demi membangun Golkar yang dewasa dan solid.
Bila Golkar benar-benar menginginkan kembali pada puncak kekuasaan hendaknya Golkar melaksanakan sikapnya dengan penuh tanggung jawab. Golkar harus memperjuangkan sikapnya ini untuk menghargai konstituen yang mereka wakili sebagai satu instrumen politik di negeri ini. Golkar juga harus mengoptimalkan fungsi kontrol serta check and balance agar kekuasaan yang sedang dilangsungkan oleh pemerintahan saat ini berjalan dengan baik, lancar, dan semestinya. Golkar harus tetap kritis atau hanya akan jadi penggembira saja.
Kelapa Gading, 12 Oktober 2009
Kemenangan Aburizal Bakrie (AB) dalam memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar adalah satu pertanda bahwa Gokar masih akan berada dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Golkar adalah bagian dari sejarah kekuasaan sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melihat Golkar yang berada diluar kekuasaan.
Golkar selalu berada dalam kekuasaan dan para elitenya pun menghendaki pula hal yang demikian. Terlepas dari perdebatan siapa yang jadi presidennya. Alasannya sederhana, partai ini dibuat dan dikembangbiakkan untuk meraih, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan.Situasi sekarang tidaklah mudah. Golkar bukan lagi partai pemenang pemilu yang menguasai kursi di DPR. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR pun ikut melemahkan power Golkar.
Maka, ketika muncul wacana untuk jadi oposisi beberapa kadernya mulai bereaksi dengan menggulirkan isu munas dengan tujuan untuk mengambil langkah nyata dan sikap Golkar dalam pemerintahan SBY 2.0. Opsi untuk jadi oposisi hanya akan semakin menjauhkan Golkar dari kekuasaan.
Pernyataan sikap Golkar yang menegaskan bahwa Golkar tidak koalisi dan tidak oposisi mengindikasikan keinginan Golkar untuk masih berada dibawah ketiak kekuasaan negeri ini. "Jika kebijakan pemerintah memperbaiki rakyat, kita dukung. Bila tidak, Golkar akan mengkritik.", begitu kata Aburizal Bakrie. Dan bila Presiden meminta kader Golkar masuk kabinet, Golkar tidak keberatan, tambahnya.
Sikap yang demikian adalah wajar untuk negara dengan sistem kabinet presidensial seperti Indonesia. Partai politik tidak perlu untuk menampakkan wajahnya secara terang-terangan. Punya dua muka pun bukan hal yang salah. Tentu akan berbeda bila sistem kabinet yang digunakan adalah kabinet parlementer. Disitu diperlukan adanya dua sisi yang berbeda. Hitam dan putih. Koalisi dan oposisi. Moderat dan konservatif.
Yang perlu diwaspadai oleh Golkar adalah pelaksanaan dari pernyataan sikapnya itu tadi. Jangan sampai apapun keputusan pemerintah baik yang mensejahterakan rakyat atau yang mengebiri hak-hak hidup rakyat diamini begitu saja tanpa ada perlawanan. Seolah Golkar lupa janjinya untuk jadi tukang kritik. Lantas, jangan juga Golkar hanya bisa cuci tangan bila keputusan pemerintah tersebut tidak berimplikasi apa-apa pada kualitas hidup rakyat.
Sebelum Golkar kembali ke puncak kekuasaan negeri ini alagkah baiknya bila Golkar terlebih dahulu mengambil langkah retrospektif dalam menganalisa dirinya sendiri. Golkar perlu menguatkan dirinya dahulu dari dalam sebelum comeback ke arena. Perseteruan antar faksi yang menyeruak dalam Munas kemarin mutlak perlu diselesaikan demi membangun Golkar yang dewasa dan solid.
Bila Golkar benar-benar menginginkan kembali pada puncak kekuasaan hendaknya Golkar melaksanakan sikapnya dengan penuh tanggung jawab. Golkar harus memperjuangkan sikapnya ini untuk menghargai konstituen yang mereka wakili sebagai satu instrumen politik di negeri ini. Golkar juga harus mengoptimalkan fungsi kontrol serta check and balance agar kekuasaan yang sedang dilangsungkan oleh pemerintahan saat ini berjalan dengan baik, lancar, dan semestinya. Golkar harus tetap kritis atau hanya akan jadi penggembira saja.
Kelapa Gading, 12 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar