Golkar adalah sebuah sejarah yang sedang berlangsung. Satu partai yang masa kejayaannya dimulai sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 dengan pendapatan jumlah suara sebesar 74,5 persen. Kemerosotan Golkar dimulai sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004 hingga anti-klimaksnya di Pemilu 2009 kemarin. Berturut-turut Golkar hanya mendapatkan 22,4 %, 21,6 %, dan 14 %.
Semakin menurunnya perolehan suara Golkar telah menjadi isu yang semakin meruncing dalam perdebatan untuk menentukan siapa yang layak, mampu, dan bisa menegakkan beringin yang telah rapuh setelah lama berkuasa. Membangun kembali Golkar adalah membangun kembali susunan akar rumput penyangga kehidupan partai. Tanpa hal itu, takkan ada Golkar yang kuat. Yang selalu jadi pemenang Pemilu hingga disegani.
Tidak adanya figur pemimpin dinilai sebagai penyebab kekalahan Golkar. Oleh lawannya Golkar pun kini bukan lagi suatu entitas besar yang patut diwaspadai manuvernya atau dicurigai gerak-geriknya. Beringin telah rubuh tanpa meninggalkan suara. Pemilu 2009 meninggalkan luka yang sangat dalam dalam tubuh partai beringin. Partai yang dikenal lewat jargonnya "Luber" alias "Lubangi Beringin" zaman orde baru ini seakan tak kuasa menampik takdir.
Kenyataannya sekarang ini Munas Golkar di Pekanbaru yang bertujuan mencari pemimpin ideal yang bisa membangun dan menegakkan kembali beringin yang telah rubuh hanya jadi ajang pamer belaka. Semua kandidat saling berlomba mengumpulkan dukungan. Ada yang berkelas dengan menyelenggarakan turnamen Golf. Satu budaya peninggalan kaum pebisnis, yang memiliki motto "di atas padang golf segala urusan dibicarakan, dari politik hingga bisnis". Ada lagi yang datang dengan 5 pesawat carteran untuk mengangkut para pendukungnya. Ada lagi yang datang hanya bermodal kekuatan intelektualnya. Sedang, yang terakhir datang membawa keyakinan semu yang dibalut kekuatan modal dengan gaya main seorang Mafia.
Adalah baik bila sebuah organisasi memiliki banyak calon pemimpin potensial yang mampu membawa angin perubahan pada organisasinya kelak. Kapabilitas kepemimpinan, integritas dan loyalitas mutlak dibutuhkan untuk melawan rintangan yang tidak semakin mudah. Namun, semua itu menjadi tidak berarti ketika modal dalam bentuk uang mulai turun tangan. Melalui kekuatan uang setiap calon pemimpin Golkar beradu. Bukankah JK yang akan digantikan itu juga seorang pengusaha penghasil uang dan kebetulan sedang naik daun hingga terpilih jadi wakilnya SBY di Pemilu 2004 kemarin?
Pengaruh uang pada kekuasaan masih jadi perdebatan terutama mengenai efeknya terhadap integritas organisasi. Tesis seorang doktor politik harus membuktikannya bahwa uang adalah cara yang mudah untuk mencapai pucuk kekuasaan. Sederhana saja, uang bisa membeli apapun termasuk kekuasaan.
AC Milan. Siapa yang tidak kenal klub sepakbola dari pusat mode di Italia ini yang juga klub sekota rival Internazionale Milan. Sejarah telah menuliskan Ruud Gullit, Van Basten, Frank Rijkaard, Franco Baresi, hingga Paolo Maldini meraih puncak karirnya sebagai pemain di klub yang bermarkas di San Siro. AC Milan telah menjadi suatu kekuatan yang pernah merajalela di Italia maupun di Eropa. Pada saat itu, semua klub berusaha sebisa mungkin mengalahkannya. Tak apa tak jadi juara. Asalkan bisa mengalahkan AC Milan itu sama rasanya dengan jadi juara.
AC Milan telah mengalami suatu masa kejayaan di medio 90-an ketika masih dilatih Don Fabio Capello. Di negerinya sendiri, waktu itu AC Milan adalah raja kompetisi. Siapapun sangat bernafsu untuk mengalahkannya. Tidak perlu sampai harus menjuarai seluruh kompetisi. Mengalahkan Milan dalam satu matchday pun sudah merupakan kemenangan besar.
AC Milan juga adalah satu dari 10 klub paling kaya di dunia. Klub yang dimiliki oleh politisi partai Forza Italia merangkap Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi tak hentinya membuat sensasi. Siapa yang kenal Ricardo Icezson Santos Leite de Kaka medio 2003? Tidak banyak orang yang tahu siapa dan bagaimana sepak terjangnya. Namun, final Liga Champions 2003 jadi bukti bahwa membeli Kaka bukanlah keputusan yang terlalu salah. Milan juara Champions 2003. Setelah kalah tragis di Final Liga Champions 2005 oleh Liverpool, 2 tahun kemudian mereka membalasnya. Nama Kaka pun masuk daftar buruan Real Madrid. Semuanya terjadi di masa kepelatihan Carlo Ancelotti.
Setelah kepergian Kaka dan Ancelotti sebenarnya Milan punya modal yang kuat untuk membangun dan membentuk skuad yang benar-benar kuat untuk kembali berjaya di Eropa. dengan tidak hanya mengandalkan skuad mesin tua mereka. Skuad saat ini sudah tergolong uzur secara usia menurut beberapa pengamat. Uang hasil penjualan Kaka rasanya cukup untuk mendatangkan playmaker idaman mereka sejak 2002 silam, Rafael van Der Vaart. Nasib van der Vaart yang tidak menentu di Madrid harusnya jadi pertimbangan bagi Berlusconi supaya Milan kembali pada kejayaannya. Namun, rupanya Sang Perdana Menteri lebih percaya bahwa skuad yang ada sudah cukup mengingat rencana comebacknya Beckham ke San Siro dan juga datangnya Milos Krasic, winger CSKA Moskow di musim Dingin nanti.
*****
Nah, apa hubungannya Golkar dengan AC Milan. Keduanya sama-sama punya modal (uang) yang banyak. Namun, keduanya juga masih terlihat sangat hati-hati sekali dan terlalu pelit dalam menghamburkan uangnya. Bukankah uang yang habis untuk kekuasaan akan mudah diperoleh kembali ketika nanti berkuasa? Bila memang kekuasaan sudah mantap kejayaan itu akan datang dengan sendirinya bukan?
Keduanya kini berada dalam persimpangan jalannya masing-masing. Golkar sedang beradu dengan takdirnya. Akankah Munas di Riau nanti membawa hasil yang tidak sekedar menjadikan Golkar sebagai entitas politik biasa yang selalu meramaikan pemilu seperti biasanya. Golkar diharapkan mampu keluar dari krisisnya dengan menguatkan basis pendukung (akar rumput). Soliditas mutlak diperlukan agar Golkar mampu meraih suara maksimal di Pemilu 2014 nanti.
Sedangkan, AC Milan juga harus segera melakukan perubahan besar (kalau perlu dengan cara yang radikal) untuk mengembalikan Milan pada peta persaingan juara di Italia dan Eropa. Leonardo, Ronaldinho dkk, harus berjuang keras untuk meyakinkan publik San Siro bahwa mereka masih layak diperhitungkan. Entah dengan penyempurnaan skuad yang ada, perubahan gaya dan taktik permainan, bahkan kalau perlu hingga mengganti pelatih yang sekarang. Jangan jadikan modal yang sudah ada jadi sia-sia. Kecuali bila memang si Perdana Menteri lagi butuh uang buat kegiatan politiknya. Ingat, politik juga butuh uang dan itu tidak sedikit.
Sepeninggal masa kejayaannya, baik Golkar ataupun AC Milan keduanya tidak punya lagi figur yang bisa memimpin dan mendikte mereka jalan menuju kejayaan. Selepas Orde Baru, Golkar tidak punya pemimpin kharismatik yang benar-benar mencerminkan figur dari rakyat. Golkar selalu terjebak dalam paradigma bahwa yang memimpin Golkar adalah harus dari kalangan birokrat dan politisi.
Akibatnya, ketika birokrasi mengalami reformasi dan politisi digoyang dari kabinet Golkar tidak mampu jadi beringin yang kuat yang mampu menahan segala desakan itu. Maka, Golkar mengalami kemunduran. Ditambah lagi dengan tidak lagi solidnya Golkar dari pucuk pimpinan hingga akar rumputnya. Ini terlihat dari pecahnya dukungan untuk pasangan JK-Win di Pemilu 2009. Basis suara Golkar yang diperkirakan dapat menembus kisaran 20% secara nasional ternyata gagal. Suara Golkar pecah, tidak utuh. Mesin politik Golkar mogok.
AC Milan pun demikian. Sepeninggal Ancelotti, Milan belum punya pengganti yang (minimal) bisa menggantikan sosok Ancelotti. Adapun keberadaan Leonardo di jajaran bangku cadangan Milan hanya dianggap sebagai pelengkap formalitas semata mengingat berbagai hasil buruk yang menimpa mereka. Dihajar habis oleh rekan sekota dan baru-baru ini dipermalukan oleh tamu dari Zurich. AC Milan butuh sosok pemimpin yang bisa membuat ide-ide dan terobosan baru dalam cara bermain. Tidak hanya sebagai pelatih tapi juga sebagai pemain. Pelatih yang membuat kodenya, lalu pemain yang menerjemahkannya.
*****
Yang terjadi pada Golkar dan AC Milan adalah juga cerminan bangsa ini. Bangsa yang sejatinya bangsa yang besar namun masih dianggap bangsa yang kerdil oleh tetangganya sendiri. Indonesia belum punya sosok yang mampu menyatukan kehendak rakyat yang diwakilinya dalam suatu bentuk pemerintahan yang benar-benar menjunjung tinggi UUD 1945. Indonesia masih terjebak dalam permainan politis-birokratif karangan para politisi busuk yang menghuni gedung MPR-DPR di Senayan sana.
Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan kekuasaan seperti yang dicontohkan Golkar. Jangan pula Indonesia kehilangan kejayaannya karena rakyatnya cuma bisa main bola seperti yang diperagakan AC Milan. Karena bagaimana pun politik dan sepakbola juga persamaan. Dua-duanya butuh pendukung. Tidak ada pendukung, tidak ada persaingan menuju kejayaan. Kalau kata iklan rokok, "Gak ada loe, gak rame..."
Kelapa Gading, 5 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar