"Memang Cikeas, beberapa Menteri dan Panitia Harkitnas pusat tidak kenal wacana apapun kecuali 'merekrut' mereka: kaum muda yg bertekad meneguhkan kebangkitan generasi muda mandiri itu. Bisa dipahami kenapa tak pernah lahir manusia baru Indonesia, setiap yg tumbuh selalu diletakkan sebagai ekor dari generasi sebelumnya.
Sebenarnya eksekusi movement mereka bisa dengan mudah dilaksanakan andaikan mereka mau jadi 'boneka industri', karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Tapi jadi batal 'dzat'nya, pilihan watak kemandirian hidupnya.
Tapi saya percaya itu tak akan lantas kalah oleh tantangan dan halangan, mereka tak akan menjebak diri menjadi benih2 murni nasionalisme yang balik ke mainstream untuk hanya menjadi penempuh2 karier pribadi yg egosentris dan primordial.
Thanks dan salam"
Satu email dari seorang sahabat yang juga 'orang dalam' di lingkungan rumah tangga kepresidenan cukup mengejutkan. Ditengah situasi politik saat ini yang membuat siapapun mau merapat lebih dekat dengan kekuasaan tiba-tiba saja ia agak berontak. Mungkin ia sudah waras dan mulai paham serta sadar posisinya. Ia mungkin sudah sadar bahwa yang ada disekelilingnya hanyalah omong kosong belaka adanya. Budaya birokrasi yang terlanjur mengakar kuat tanpa terasa telah menjerat semua urusan yang ada disana.
Pesan itu lebih cocok tendensinya kalau lagi musimnya bahas wacana kebangkitan nasional yang selalu diperingati pada bulan Mei. Tapi, aku pikir ini masih ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda yang gegap gempitanya hilang begitu saja hari ini oleh gemuruh yang selalu datang di akhir bulan, apalagi kalau bukan gajian. Sumpah pemuda yang tak lagi muda. 81 tahun sudah setelah para pemuda dari seluruh negeri berikrar untuk Indonesia yang merdeka.
Sejak periode kebangkitan nasional, pemuda telah menjadi motor yang menggerakkan seluruh perangkat mesin kebangsaan untuk sama-sama bercita-cita merdeka. Maka tak heran bila kemudian mereka berkumpul untuk mendeklarasikan cita-cita yang selalu diidamkan. Merdeka dari penjajahan. Sumpah pemuda hanyalah sebuah peretas menuju jalan perjuangan memperebutkan kemerdekaan.
Sumpah Pemuda mengandung makna tekad, upaya, dan ikhtiar pemuda dalam meraih cita-cita kebangsaan melalui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bangsa ini memulai suatu pergerakan baru menuju Indonesia merdeka setelah diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Kondisi pasca kemerdekaan di zaman modern seperti saat ini, Sumpah Pemuda hanyalah tinggal jadi satu penanda setiap tahunnya tanpa benar-benar ada waktu khusus untuk menghayati kembali maknanya. Kita hanya tahu 28 Oktober itu adalah harinya Sumpah Pemuda. That’s all. Kita mungkin telah lupa juga kalau hari itu pertama kalinya Indonesia Raya diperdengarkan.
Kaum muda selayaknya jadi generasi mandiri yang lahir menjadi manusia baru Indonesia. Sayangnya, setiap mereka yang tumbuh selalu dijadikan ekor dari generasi sebelumnya. Mereka sengaja diposisikan seperti itu oleh bermacam-macam alasan dan kepentingan agar mindsetnya mentok Cuma sebatas ekor atau pengikut saja tanpa ada breakthrough. Mereka hanya akan mengikuti siapa yang lebih menguntungkan. Menguntungkan untuk karir pribadi-pribadi yang sangat egosentris dan primordial.
Karena itu mereka telah menjadi ‘makhluk industri’ yang movementnya bisa dieksekusi setiap saat. Tidak butuh waktu lama karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Imbas dari perebutan kepentingan itu akibatnya mengorbankan sikap-sikap dan pola pikir mandiri. Hasilnya, konsumerisme di level kaum muda meningkat dan itu adalah ekspektasi kaum kapitalis.
Kalau sudah begitu itu berarti tanda bahaya untuk nasionalisme. Nasionalisme yang terjalin utuh sejak Indonesia merdeka akan lebih kehilangan esensinya. Nasionalisme bangsa ini naik turun. Kalau dicubit Malaysia baru teriak “Ganyang Malaysia…”. Belum ada satu kejadian yang menyadarkan masyarakat secara massal untuk menggelorakan nasionalisme sejati. Bukan nasionalisme semu, bukan nasionalisme kesukuan. Nasionalisme Indonesia: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Kelapa Gading, 29 Oktober 2009
Sebenarnya eksekusi movement mereka bisa dengan mudah dilaksanakan andaikan mereka mau jadi 'boneka industri', karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Tapi jadi batal 'dzat'nya, pilihan watak kemandirian hidupnya.
Tapi saya percaya itu tak akan lantas kalah oleh tantangan dan halangan, mereka tak akan menjebak diri menjadi benih2 murni nasionalisme yang balik ke mainstream untuk hanya menjadi penempuh2 karier pribadi yg egosentris dan primordial.
Thanks dan salam"
*****
Satu email dari seorang sahabat yang juga 'orang dalam' di lingkungan rumah tangga kepresidenan cukup mengejutkan. Ditengah situasi politik saat ini yang membuat siapapun mau merapat lebih dekat dengan kekuasaan tiba-tiba saja ia agak berontak. Mungkin ia sudah waras dan mulai paham serta sadar posisinya. Ia mungkin sudah sadar bahwa yang ada disekelilingnya hanyalah omong kosong belaka adanya. Budaya birokrasi yang terlanjur mengakar kuat tanpa terasa telah menjerat semua urusan yang ada disana.
Pesan itu lebih cocok tendensinya kalau lagi musimnya bahas wacana kebangkitan nasional yang selalu diperingati pada bulan Mei. Tapi, aku pikir ini masih ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda yang gegap gempitanya hilang begitu saja hari ini oleh gemuruh yang selalu datang di akhir bulan, apalagi kalau bukan gajian. Sumpah pemuda yang tak lagi muda. 81 tahun sudah setelah para pemuda dari seluruh negeri berikrar untuk Indonesia yang merdeka.
Sejak periode kebangkitan nasional, pemuda telah menjadi motor yang menggerakkan seluruh perangkat mesin kebangsaan untuk sama-sama bercita-cita merdeka. Maka tak heran bila kemudian mereka berkumpul untuk mendeklarasikan cita-cita yang selalu diidamkan. Merdeka dari penjajahan. Sumpah pemuda hanyalah sebuah peretas menuju jalan perjuangan memperebutkan kemerdekaan.
Sumpah Pemuda mengandung makna tekad, upaya, dan ikhtiar pemuda dalam meraih cita-cita kebangsaan melalui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bangsa ini memulai suatu pergerakan baru menuju Indonesia merdeka setelah diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Kondisi pasca kemerdekaan di zaman modern seperti saat ini, Sumpah Pemuda hanyalah tinggal jadi satu penanda setiap tahunnya tanpa benar-benar ada waktu khusus untuk menghayati kembali maknanya. Kita hanya tahu 28 Oktober itu adalah harinya Sumpah Pemuda. That’s all. Kita mungkin telah lupa juga kalau hari itu pertama kalinya Indonesia Raya diperdengarkan.
Kaum muda selayaknya jadi generasi mandiri yang lahir menjadi manusia baru Indonesia. Sayangnya, setiap mereka yang tumbuh selalu dijadikan ekor dari generasi sebelumnya. Mereka sengaja diposisikan seperti itu oleh bermacam-macam alasan dan kepentingan agar mindsetnya mentok Cuma sebatas ekor atau pengikut saja tanpa ada breakthrough. Mereka hanya akan mengikuti siapa yang lebih menguntungkan. Menguntungkan untuk karir pribadi-pribadi yang sangat egosentris dan primordial.
Karena itu mereka telah menjadi ‘makhluk industri’ yang movementnya bisa dieksekusi setiap saat. Tidak butuh waktu lama karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Imbas dari perebutan kepentingan itu akibatnya mengorbankan sikap-sikap dan pola pikir mandiri. Hasilnya, konsumerisme di level kaum muda meningkat dan itu adalah ekspektasi kaum kapitalis.
Kalau sudah begitu itu berarti tanda bahaya untuk nasionalisme. Nasionalisme yang terjalin utuh sejak Indonesia merdeka akan lebih kehilangan esensinya. Nasionalisme bangsa ini naik turun. Kalau dicubit Malaysia baru teriak “Ganyang Malaysia…”. Belum ada satu kejadian yang menyadarkan masyarakat secara massal untuk menggelorakan nasionalisme sejati. Bukan nasionalisme semu, bukan nasionalisme kesukuan. Nasionalisme Indonesia: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Kelapa Gading, 29 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar