Selamat malam, Lelly
Apa
kabar? Rasanya baru kemarin kita saling menyapa di kandang burung
virtual itu dan entah tiba-tiba semuanya berlalu begitu saja hingga
tanpa terasa akhir pekan segera menjelang. Menyambut suka
cita bagi para pekerja macam kita ini. Bukankah itu hanya satu hal
terbaik yang selalu datang menghampiri kita dibandingkan dengan segala
ketidakpastian yang telah kita jalani selama 5 hari terkutuk itu? Ah,
lupakan saja. Beberapa menit lagi semua itu hanya tinggal sisa waktu
belaka. Biar hanya waktu saja yang memiliki masa lalu.
Apa
rencanamu untuk akhir pekan ini? Menghabiskan waktu bersama keluarga
tercinta sambil menamatkan Indonesia Mengajar dan Antologi Rasa
sekaligus menumpuk segepok penasaran karena Manusia Setengah Salmon itu?
Atau mungkin menghadiri undangan dari sahabat-sahabat lama untuk
sekedar bertukar cerita bahagia. Entah nanti, aku mungkin juga akan
mengajakmu ke toko buku itu suatu hari di akhir pekan yang entah kapan.
Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan tentang biografi atas namamu
itu.
Aku dengar kemarin Lelly sempat kembali ke
kampus dan merasakan suatu gairah luar biasa yang tiba-tiba
hinggap. Barangkali, ritme kehidupan kampus memang merindukan tuannya
yang telah lama hilang. Mungkin juga ia berharap suatu saat tuannya kan
kembali. Meretas jarak, menempuh batas horison terasing hingga ujung
waktu.
Lelly, tiba-tiba saja aku merasa
harus menanyakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting
namun terasa mengganggu. Terus terang saja, sekali lagi aku tegaskan
bahwa itu pernah sangat mengganggu. Maaf, jangan dulu tersinggung.
Tolong jangan salah menafsir makna. Sungguh pun betul bahwa sesuatu itu
sangat mengganggu isi kepala ini yang mendadak dipenuhi satu pertanyaan:
apakah perlu sepagi itu hanya untuk meyakinkanku untuk jadi seorang
penulis hanya karena punya sebuah blog?
Lelly,
mungkin itu buatmu hanya sekedar pertanyaan belaka yang segera
tergantikan dengan ribuan tanya lainnya tentang dunia yang semakin tua
dan penuh kata-kata hingga Twitter pun tak mau
menampung lebih dari 140 karakter alfabet. Tetapi, lain halnya bagiku.
Perlu beberapa waktu untuk mencerna tanya yang terucap. Tentu itu tak
seruwet menjawab pertanyaan kaum oposan di negeri autopilot ini. Namun
tetap saja aku masih perlu memikirkannya barang sehari dua hari.
Aku
masih tidak percaya bahwa pertanyaan itu terlontar di pagi buta. Kamu
sudah bangun sepagi itu sedangkan aku tentu masih tenggelam dan terbuai
alunan indah mimpi semalam. Sementara, Bella mungkin saja baru bersiap
untuk pulang usai berpentas di lantai dansa. Aku hanya membayangkan apa
yang telah terjadi didalam kepalamu pagi itu. Apakah ada gejolak
diantara jutaan sambungan neuron yang mengharuskanmu menanyakan hal itu
kepadaku? Atau mungkin saja, tanya itu terucap begitu saja saat kamu
sedang asyiknya membaca tulisan-tulisan di blog selendang warna.
Andainya
pun begitu, sungguh aku sangat bangga. Punya pengunjung tetap
yang minimal mau baca tulisan yang selalu terbit menjelang deadline.
Kadang penulisnya sendiri bingung karena tidak merasa maksimal dan belum
sanggup menempatkan gairah rasa diantara rentetan kata-kata dalam
tulisan itu. Pun, ketika kata-kata tak sanggup lagi menerjemahkan makna
yang terselip diantara bahasa yang membentuk semacam kesunyian di ujung
cerita.
Sungguhpun demikian, aku sangat
merasa belum layak untuk jadi penulis kondang. Toh, setiap aku
menuliskan sesuatu untuk @sajak_cinta dan @fiksimini, belum sekalipun
twit punyaku itu di approve oleh si Admin. Padahal, seperti Hasan
Aspahani (@haspahani) bilang, twitter itu cuma media dan kata-kata
adalah esensinya. Dan aku semakin sadar bahwa aku belum punya kekuatan
untuk merangkai barang satu dua kata untuk jadi kalimat pendek dengan
makna yang dalam. Maka, jangan heran bila suatu saat nanti karya sastra
yang terbit adalah hasil twit dari penulisnya. Suatu realita yang
benar-benar terjadi dalam jagad sastra kita. Semoga membawa hasil yang
positif bagi penikmatnya, macam aku dan kamu.
Perlu
Lelly, tahu juga bahwa surat ini ditulis sambil memutar lagu Seasons in
The Sun dari Westlife. Suatu lagu yang selalu mengingatkanku pada
kenangan-kenangan masa SMP. Tentu Lelly masih ingat ruang OSIS tempat
kita biasa berbagi cerita sambil sesekali menertawakan kebodohan kita
sendiri karena tidak pernah berani mengungkapkan sesuatu yang kata orang
itu namanya “Cinta”.
Apapun itu, izinkanlah aku mengucap
terima kasih atas perhatian Lelly selama ini. Seorang penulis, amatiran
sekalipun, sungguh akan merasakan suatu kenikmatan tersendiri bila
ternyata tulisan-tulisan yang dibuatnya mampu menemukan pembacanya.
Lelly, semoga harapan dalam tanya itu selalu mengingatkanku bahwa
seseorang entah dimana akan selalu menunggu tulisan-tulisan buah
pikiran kepalaku ini. Sebelum imajinasi
benar-benar mati. Sebelum dilarang bernyanyi di kamar mandi.
Peluk hangat,
Pharmindo-Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 2-18 Januari 2011.
1 komentar:
hmm.. saya mencium aroma masa lalu yang menguar begitu kuatnya.. menerobos pori-pori dimensi waktu..
surat cinta ini halus sekali, seakan khawatir memutus tali yang terjalin pelan dan hati-hati..
tapi nyatanya ada yang masih terselip di dalam sana ya? sesuatu yang tidak dimengerti sebagian orang yang dengan mudahnya mengatakan, 'waktu akan mengubah segalanya'..
Posting Komentar