Tiap hari saya bertemu
dengan ribuan rakyat di berbagai daerah dan pulau. Hampir semua
bertanya, “Kok, partai politik kita sekarang begitu banyak? Ini
demokrasi ataukah perpecahan ataukah ketidakdewasaan? Kami harus memilih
yang mana?”
Courtesy: www.goodreads.com |
Catatan pembukaan untuk buku ini telah ditulis pada 30 Juli 2016 yang lalu. Disini, masih dalam blog ini. Bahwa kemudian baru tiga bulan kemudian buku ini ditamatkan, penulis mohon maaf. Sesungguhnya, dalam usaha menamatkan buku ini hanya diperlukan waktu. Cukup hanya waktu saja. Mengapa? Karena kita butuh waktu untuk memahami apa yang terjadi pada Indonesia, seperti yang Emha tulis. Pun, ketika kita akhirnya harus menyediakan waktu untuk berpikir, apakah jalan yang ditempuh bangsa ini pasca kejatuhan Pak Harto dan mulainya reformasi sudah berada pada jalan yang lurus, shirottol mustaqiim?
Buku ini cukup ringan walaupun muatannya terkesan "berat". Apalagi menyangkut segala hal tentang periode reformasi yang sungguh cukup "menyiksa" kenangan lahir dan batin kita sebagai bangsa Indonesia. Emha agaknya sengaja ingin berpesan bahwa apapun kondisinya kita tetap harus bisa melihat jernih. Misalnya, tentang apa di balik siapa, atau malah siapa di balik apa. Celakanya, segala pemberitaan media massa justru malah memperkeruh situasi lahir dan batin bangsa Indonesia sehingga tidak lagi bisa berpikir jernih. Lha wong arsitek jaman Orde Baru itu sama dengan arsitek Orde Reformasi. Tetapi adakah yang menggugat? Itu baru penggalan satu contoh kecil saja.
Saya tidak menyangka bahwa buku ini memuat satu frame dari sekian timeline kisah hidup Emha. Satu bagian yang paling humanis, ketika putri Emha meninggal dalam kandungan karena terlilit tali pusar. Saya membaca sebuah kisah penuh ketegaran dan keikhlasan karena bahwasanya si anak putri ini sudah menanti ibu dan bapakna di Surga kelak, InsyaAllah.
Selanjutnya, saya menemukan kembali satu titik konsistensi seorang Muhammad Ainun Nadjib. Pada bagian-bagian akhir, Emha menjawab berbagai pertanyaan yang dituduhkan kepadanya. Emha dengan tegas dan lugas memberikan gugatannya. Kenapa kalau Emha shalawatan kok banyak yang bilang menggalang massa, sedangkan MTV (Music Television) dibiarkan merajalela merusak mental anak bangsa? Bila memang anda rajin membaca buku-buku Cak Nun belakangan ini, saya yakin anda akan menemukan hal yang serupa. Konsistensi yang istiqomah.
After all, bila anda adalah generasi kekinian yang hanya mengerti sepenggal-sepenggal mengenai sejumlah hal, patut rasanya mendekonstruksi kembali alam pikiran anda. Buku ini bisa jadi pengantar yang baik ke arah sana. Minimal, mereformasi diri sendiri dengan pelajaran dari sebuah negeri yang kerepotan cari nasi. Ah, refotnasi.
Judul : Mati Ketawa ala Refotnasi
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2016
Tebal : 200 hal.
Genre : Sosial-Budaya
Medan Merdeka Barat, 28 Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar