Courtesy: us.fotolia.com |
Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi
Bersiul-siul
sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu
Begitulah Nita
mengiringi Niki menyanyi sepanjang jalan menuju ke sekolah. Hari ini, Niki akan
memulai hari sekolah pertamanya. Niki sangat senang sekali. Itu bisa terlihat
dari semangatnya untuk terus menyanyi bersama Nita. Niki boleh berbangga karena
kedua orang tuanya, Aku dan Nita, ikut turut menemani hari pertamanya
bersekolah. Aku dan Nita sengaja mengosongkan jadwal dan mengambil cuti untuk
seminggu ini. Kami ingin melihat Niki melewati hari-hari pertamanya di sekolah.
Kemarin, Niki menghabiskan waktu seharian untuk membeli
peralatan sekolah. Niki kelihatan tidak berselera
untuk membeli mainan apapun. Niki memaksa
aku dan Nita untuk menuruti keinginannya. Betapapun
Nita telah mengingatkan Niki bahwa semua itu belum akan digunakan pada minggu
pertama sekolah. Niki tetap pada pendiriannya. Ada
pancaran semangat dari matanya. Kami
pun mengalah.
Tidak berhenti sampai
disitu, malamnya Niki
bersemangat sekali untuk mempersiapkan peralatan sekolahnya. Buku tulis,
pensil, kotak pensil, kotak makan, semuanya berwarna merah muda dan bercorak
kartun kesayangan Niki, Hello Kitty. Niki seakan tidak sabar menunggu besok. Aku
masih memperhatikan Niki menata semua alat sekolahnya itu dari ruang tengah.
Begitu juga dengan Nita yang duduk menemani Niki dikamarnya.
Aku
tahu Niki sebenarnya lebih menginginkan keakraban seperti biasanya. Aku, Niki,
dan Nita jalan-jalan bersama. Sudah jadi kebiasaan kami seminggu sekali untuk
mengajak Niki rekreasi ke luar rumah. Niki lebih membutuhkan waktu untuk
bersama selalu dengan kedua orang tuanya. Aku dan Nita terus berusaha
memenuhinya. Walau kenyataannya, aku sudah tidak
bersama Niki dan Nita lagi. Aku
dan Nita tidak ingin Niki kehilangan figur Papa dan Mama yang
mampu jadi sosok teladan baginya.
Di dalam kamar, Niki meminta
Nita untuk menyanyi bersama. Rupanya, hadiah ulang tahun dariku tidak sia-sia.
Niki menyenangi semua lagu yang ada di album kumpulan lagu anak itu. Aku juga
senang melihatnya. Nita kelak tidak akan kerepotan mengajari Niki untuk
menyanyikan lagu untuk anak-anak TK seusianya. Suatu hal yang sulit dilakukan
karena saat ini anak-anak dengan mudahnya menyerap lagu-lagu yang tidak pantas
dan sepatutnya mereka dengarkan. Aku dan Nita tidak akan
pernah memaafkan diri kami sendiri bila hal ini sampai terjadi.
Niki
masih menyanyi.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan.
Berkelap-kelip
seumpama bintang berlian.
Aku
pergi keluar sebentar. Di meja teras, aku menemukan kertas-kertas berserakan
penuh coretan tangan Niki. Aku perhatikan satu-satu. Lembar demi lembar. Aku
tersenyum sendiri melihat coretan tangan Niki. Aku melihat Niki berusaha
sangat keras untuk menuliskan kalimat yang dicontohkan Nita.
Niki naik sepeda.
Papa dan Mama naik mobil.
Niki sayang Mama dan Papa.
Ah,
aku jadi merinding membayangkan bagaimana Nita mengajari Niki tulis menulis.
Tidak hanya itu, aku pun hampir menangis mengingat Nita yang lebih dari sekedar
sabar untuk mengajari Niki membaca alfabet dan angka.
Aku
masuk lagi ke dalam rumah. Aku hendak menyalakan TV ketika aku mendengar Niki
bertanya.
"Ma,
Papa kapan
nggak akan terbang lagi?"
"Lho
kok Niki tanya gitu?"
"Habis
Papa nggak pernah ada di rumah, Ma.
Niki kan pengen sering jalan-jalan
lagi sama Papa."
"Kan bisa sama Mama?"
"Iya,
tapi Niki pengen sama Papa
juga."
"Niki
sayang, nanti kalo Papa lagi nggak terbang Papa pasti pulang."
Aku
tahu saat seperti ini pasti amatlah sulit untuk Nita hindari.
Niki sudah sering bertanya seperti itu. Aku salut pada ketabahan Nita untuk
menghadapi Niki dengan sejuta pertanyaan yang mungkin masih disimpannya. Aku
tidak jadi menonton TV. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku.
*
Kami bertiga sudah
sampai di sekolah. Niki sudah tidak sabar ingin segera turun dan masuk kelas.
Nita dengan senang hati menuntun tangan Niki sambil terus mengembangkan
senyumnya seperti saat mengajar di depan kelas. Menyapa dan mengobrol sebentar
dengan orang tua murid lainnya yang juga datang untuk menyambut hari pertama
anak-anak mereka bersekolah. Sementara, aku membawakan tas sekolah Hello Kitty
warna merah muda kesayangan Niki. Aku segera menyusul dan berjalan di samping
Niki.
Sekolah Niki tidak
begitu jauh dari rumah Nita. Nita sengaja memilih sekolah TK yang dekat dengan
rumahnya supaya tidak kerepotan mengurus Niki. Apalagi, sekolah tempat Nita
mengajar juga tidak jauh dari sana. Pagi-pagi Nita akan mengantar Niki sebelum
masuk kerja dan saat makan siang Nita juga yang akan menjemput Niki. Pengalaman
Nita sebagai guru di sekolah internasional juga ikut menentukan pemilihan
sekolah untuk Niki. Aku tidak bisa memberikan pendapat apa-apa selama itu
merupakan keputusan yang terbaik untuk Niki. Aku hanya bisa mengiyakan saja
keputusan Nita itu.
Aku sudah berdiri di
depan kelas Niki. Aku dapat merasakan nuansa ceria dan keriangan dalam ruang
kelas ini. Suasana kelas juga memberikan kesan yang nyaman untuk murid-murid
didalamnya. Gambar-gambar dengan warna-warna ceria yang menempel di dinding,
deretan rak buku di sudut ruangan, belum lagi karpet warna-warni dan segala
macam boneka ikut memeriahkan suasana kelas. Aku yakin Niki pasti betah dan
kerasan untuk belajar disini.
Aku bisa membayangkan
apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya. Setiap pagi, Nita akan selalu
menyempatkan diri untuk mengantar Niki sampai depan pintu kelasnya. Nita akan
menggiring tas koper Hello Kitty warna merah muda kesayangan Niki sambil tetap
menggenggam tangan Niki. Nita pun akan selalu memasang raut muka penuh senyum
seperti ia selalu tampil di depan kelas. Di muka kelas, Ibu Guru Tati akan
segera menyambut mereka. Persis seperti apa yang terjadi saat ini.
“Selamat pagi, Niki.”
Sapa Ibu Guru Tati.
“Selamat pagi, Ibu
Guru.” Tukas Niki.
“Ayo, pamit dulu sama
Papa Mama.” Ajak Ibu Guru Tati.
“Papa, Mama, Niki mau
sekolah dulu ya.” Ucap Niki seraya mengulurkan tangan.
Aku melihat Nita
tersenyum, mengulurkan tangannya yang kemudian diciumi oleh Niki, lalu Nita
mengecup kening Niki. Niki pun menghampiriku dan melakukan hal yang sama. Aku
balas memeluk Niki. Sebuah perasaan yang telah lama hilang menyeruak kembali.
“Papa, Mama, nanti
jemput Niki, kan?” tanya Niki sebelum
masuk kelas.
“Ya, sayang. Mama sama
Papa nanti jemput Niki. Sekarang, Niki belajar dulu sama Ibu Guru ya.” Ucap
Nita sambil mengusap rambut Niki.
Hari pertama menjemput
Niki, aku bisa melihat rona bahagia pada senyum Niki. Niki tak henti-hentinya
bercerita pada Ibunya tentang pelajaran yang baru saja didapatnya. Niki juga
bercerita tentang teman-teman barunya. Seperti tadi pagi, Niki mengajak Nita
untuk menyanyi lagi, kali ini dengan manja. Aku tertawa dalam hati melihat
kelakuan Niki. Niki seperti tidak kehabisan energi. Aku mencuri pandang ke jok belakang,
Nita terlihat sangat senang sekali. Bisa jadi saat seperti itu adalah satu dari
sekian banyak momen terindah bagi Nita.
Niki tidak tahu apa-apa
tentang perpisahan orang tuanya. Niki hanya tahu kalau Papanya seorang
penerbang dengan jadwal yang tidak tentu dan hanya menemuinya saat sedang libur
terbang. Niki tidak pernah protes, hanya saja aku yang memang tidak tega untuk
melihatnya seperti itu. Tentunya, Niki ingin seperti anak-anak lainnya. Punya kehidupan normal
dengan orang tua mereka. Bersenda gurau setiap hari dengan orang tua mereka,
jalan-jalan ke Mall untuk makan es krim, bahkan hanya untuk sekedar bermain di
taman sekitar komplek perumahan.
Aku mencoba untuk tetap
menjadi figur Papa yang baik di depan Niki. Bagaimanapun, perpisahan antara Aku
dan Nita kemarin itu bukan sesuatu kita inginkan. Terlebih lagi, masih ada si
kecil Niki. Tetapi, kita tidak bisa meminta takdir seperti meminta segelas bir.
Kenyataan mengharuskan demikian.
Niki selalu bangga
terhadap Papanya. Suatu hari, ia pernah buktikan itu dihadapan teman-temannya.
Obrolan anak kecil selalu menarik untuk disimak apalagi ketika mereka saling
meyebutkan pekerjaan orang tuanya. Mirip seperti dalam iklan televisi.
Kebetulan waktu itu, aku menjemput Niki dan secara tak sengaja mengetahui hal
itu ketika anak-anak asuhan Ibu Guru Tati itu sedang menunggu dijemput orang tuanya
masing-masing. Saat seperti itulah yang membuatku selalu ingin cepat selesai
bertugas dan kembali bertemu dengan Niki.
Suatu kali, Niki pernah
bertanya sendiri kepadaku kapan aku akan berhenti menerbangkan pesawat. Aku
sendiri tidak tahu jawabannya. Aku hanya membalas pertanyaan Niki dengan
senyum. Aku ciumi keningnya. Suatu saat, Niki akan tahu alasan kenapa aku
melakukan semua itu.
Kadang-kadang, Niki
memintaku untuk membawanya ke Bandara. Niki selalu ingin ikut terbang. Salahku
sendiri yang memang belum pernah membawanya tamasya bersama naik pesawat
terbang. Niki selalu bilang bahwa ia juga ingin jadi seorang pilot. “Niki pengen bisa terbang kaya Papa..” begitu
katanya. Nita tidak pernah melarang ataupun meralat pernyataan Niki. Nita
seakan paham bahwa Niki hanyalah seorang anak kecil yang baru mampu berfantasi
tentang masa depan. Nita tidak merasa harus mengontrol masa depan Niki sejak
dini.
Seminggu telah berlalu
sejak hari sekolah Niki yang pertama. Aku dan Nita akan kembali pada kesibukan
masing-masing. Urusan antar jemput Niki sudah jelas menjadi kewajiban Nita. Aku
hanya akan menemui Niki setiap tengah minggu dan akhir pekan. Seminggu pertama
ini adalah hari-hari yang membuatku sadar akan pentingnya sebuah kebersamaan
dalam keluarga. Dengan perkembangan Niki yang sudah sampai pada tahap ini
rasanya aku ingin selalu menemaninya. Bersama mengiringi setiap langkah
bersamanya. Melihat Niki tumbuh besar tanpa kekurangan suatu apapun. Aku ingin
Niki merasakan arti sebuah keluarga sejak kecil.
Cuaca pagi ini terasa
begitu hangat dan cerah. Angin berhembus pelan. Matahari mulai keluar dari
persembunyannya di ujung sebelah timur mata angin. Niki masih tidur ketika aku
datang. Nita sedang menyiapkan seragam sekolah dan bekal makanan Niki. Aku
meletakkan buku kumpulan dongeng itu dalam genggaman Niki. Nanti malam, usai
bertugas aku akan membacakan dongeng-dongeng didalamnya hingga Niki lelap
tertidur dipelukanku.
*
Tower,
this is Selendang Air Flight ALH779, heading northwest, reporting emergency
situation, one engine inoperative due to flame out, request clearance for
emergency landing.
Aku masih membaca emergency procedures di FCOM usai
mengontak ATC. Pesawat yang aku terbangkan mengalami masalah kebakaran mesin. Aku
mengambil mikrofon dan mengumumkan situasi darurat pada penumpang. Aku akan
segera mendaratkan pesawat ini. Kabut menutupi pandanganku. Aku melihat
bayangan Niki yang semakin samar dan pudar. Aku tidak melihat apa-apa lagi. Aku
hanya melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan
menutupiku.
Jakarta, 10 Mei 2012.
Dibuat untuk kompilasi cerita pendek untuk menyambut Hari Anak Nasional Tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar