Courtesy: www.goodreads.com |
Wisanggeni Sang Buronan adalah satu dari sekian buku Seno Gumira AJidarma yang sangat saya nantikan untuk dicetak kembali. Saya bersyukur karena semester II 2016 ini Wisanggeni kembali hadir mengisi khazanah ruang sastra Indonesia. Sekaligus menambahi isi rak buku saya.
Entah mengapa, sejak mulai pembacaan pada halaman pembuka, saya tidak merasa cerita Wisanggeni Gugat ini sebagai sebuah cerita. Walaupun buku ini sejatinya memang hadir rentetan cerita bersambung, dikumpulkan, dan diberi ilustrasi oleh Haji Danarto. Iya, betul. Danarto tukang lukis itu yang juga turut membuat sampul buku "Kitab Omong Kosong".
Wisanggeni, Sang Buronan para Dewa ini menjadi tokoh antagonis yang harus ditiadakan demi satu tatanan takdir yang telah ditentukan. Eksistensi Wisanggeni hingga melahirkan lakon Sang Buronan ini telah merongrong kemapanan jalan sejarah. Namun, pertanyaannya kembali bergeser, bila memang hanya untuk memenuhi kemapanan takdir sejarah dunia, bukankah kelahiran Wisanggeni sendiri sudah merupakan takdir? Bila memang Wisanggeni adalah anak haram sejarah, mengapa lantas ia memiliki jalan takdirnya sendiri?
Betul ceritanya seperti cerita silat, bagaikan membaca kembali Kitab Nagabumi I dan II. Tetapi, yang lebih penting adalah muatan filosofis dibalik cerita sang anak Arjuna yang dibesarkan Antaboga ini. SGA berhasil memotret kisah Wisanggeni ini sebagai perumpamaan bagi sebagian kecil peristiwa sejarah yang pernah dijalani negeri ini. Betapa keberadaan suatu entitas bisa jadi merupakan ancaman besar bagi sebuah kemapanan-politik, kekuasaan, sejarah, atau budaya- walaupun entitas itu tadi punya jalan takdirnya sendiri.
Entah mengapa, sejak mulai pembacaan pada halaman pembuka, saya tidak merasa cerita Wisanggeni Gugat ini sebagai sebuah cerita. Walaupun buku ini sejatinya memang hadir rentetan cerita bersambung, dikumpulkan, dan diberi ilustrasi oleh Haji Danarto. Iya, betul. Danarto tukang lukis itu yang juga turut membuat sampul buku "Kitab Omong Kosong".
Wisanggeni, Sang Buronan para Dewa ini menjadi tokoh antagonis yang harus ditiadakan demi satu tatanan takdir yang telah ditentukan. Eksistensi Wisanggeni hingga melahirkan lakon Sang Buronan ini telah merongrong kemapanan jalan sejarah. Namun, pertanyaannya kembali bergeser, bila memang hanya untuk memenuhi kemapanan takdir sejarah dunia, bukankah kelahiran Wisanggeni sendiri sudah merupakan takdir? Bila memang Wisanggeni adalah anak haram sejarah, mengapa lantas ia memiliki jalan takdirnya sendiri?
Betul ceritanya seperti cerita silat, bagaikan membaca kembali Kitab Nagabumi I dan II. Tetapi, yang lebih penting adalah muatan filosofis dibalik cerita sang anak Arjuna yang dibesarkan Antaboga ini. SGA berhasil memotret kisah Wisanggeni ini sebagai perumpamaan bagi sebagian kecil peristiwa sejarah yang pernah dijalani negeri ini. Betapa keberadaan suatu entitas bisa jadi merupakan ancaman besar bagi sebuah kemapanan-politik, kekuasaan, sejarah, atau budaya- walaupun entitas itu tadi punya jalan takdirnya sendiri.
Judul : Wisanggeni Sang Buronan
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Laksana
Tahun : 2016
Tebal : 108 hal.
Genre : Cerita Pendek-Sastra Indonesia
Medan Merdeka Barat, 18 Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar