Annyeonghaseyo,
Kabut turun perlahan di waktu sahur ini. Tadinya saya pikir saya sedang bermimpi. Perlahan, kabut bergerak menerpa kaca jendela meninggalkan embun. Seperti biasa, saya buka nasi instan yang saya beli sore kemarin di Emart. Tak lupa, rendang vacuum dari Indonesia. Waktu Shubuh segera tiba.
Sejak pukul 8 ini kami melakukan Excursion Day ke Seoul. Saya belum tahu kemana Nick (course leader) akan membawa kami. Kemarin, usai closing ceremony saya bertanya apakah ia akan membawa kami ke Seoul Tower. Ya, dia akan membawa kami kesana. Entah pagi, siang, atau sore nanti.
Konon, di Seoul Tower ada tempat yang penuh gembok cinta. Banyak pasangan mengikat janji mereka dan mengucinya pada gembok yang dipasangkan ke sebuah pagar disana. Mungkin, terinspirasi dari drama dan sinetron Korea yang syuting disana. Boys Before Flower salah satunya.
Korean Folk Village
Saya menulis postingan ini di sebuah restoran tradisional Korea yang terletak di Korean Folk Village. Korean Folk Village adalah tujuan pertama kami. Gina, tour guide kami sengaja membawa kami kemari sebagai tujuan pertama agar kami memahami tradisi kehidupan masyarakat Korea. Harga tiket masuk cukup mahal. 15.000 KRW untuk dewasa, 12.000 KRW untuk grup, sedangkan untuk anak-anak dan remaja berkisar antara 8.000-12.000 KRW.
Atraksi yang bisa dinikmati disini cukup banyak. Ada tarian dari sekelompok petani untuk merayakan panen. Kemudian, ada juga atraksi Tightrope Acrobatic. Bila sedang beruntung, kita bisa menyaksikan prosesi pernikahan tradisional Korea juga. Menarik untuk mengetahui bagaimana orang Korea zaman dahulu menjalani tata kehidupan bermasyarakat. Sejarah, sepertinya bagian yang integral dari perjalanan hidup mereka.
Selanjutnya, kami berjalan-jalan menelusuri rumah-rumah tradisional. Seperti yang biasa ditonton di drama kolosal mereka. Sinetron Daejanggeum mengambil lokasi syuting disini. Kami pun menghabiskan waktu makan siang kami disini. Sajian menu tradisional bibimbab dan green radish kimchi jadi menu utama hari ini. Sayangnya, saya masih punya 8 jam sampai waktu shaum berakhir.
Usai berkeliling, saya menemukan sebuah kumpulan batu besar. Tertulis siapa saja boleh menuliskan harapannya pada kertas yang disediakan, lalu melipat dan mengikatkannya pada tali pengikat batu. Mirip ritual ‘Gembok Cinta’ di Seoul Tower. Hanya saja disini sedikit lebih unik. Karena Seoul Tower masih jauh. Saya menulis sebuah harapan dan merekatkannya pada tali jerami. Semoga harapan yang saya tulis tadi tidak lantas nyangkut di langit dan Tuhan segera membacanya.
Waktu makan berakhir terlalu singkat. Saya tidak sempat menengok toko souvenir yang ada disana. Namun, saya menemukan Lee Yo Won dalam wujudnya sebagai poster The Great Queen Seondeok. What a coincidence. Rasanya ingin mampir sebentar ke toko didalamnya dan mencari posternya, barangkali si pemilik toko masih punya barang satu atau dua. Sayang sekali, Gina segera bergegas mengumpulkan kami untuk berangkat kembali ke Gyeongbokgung Palace.
Waktu makan berakhir terlalu singkat. Saya tidak sempat menengok toko souvenir yang ada disana. Namun, saya menemukan Lee Yo Won dalam wujudnya sebagai poster The Great Queen Seondeok. What a coincidence. Rasanya ingin mampir sebentar ke toko didalamnya dan mencari posternya, barangkali si pemilik toko masih punya barang satu atau dua. Sayang sekali, Gina segera bergegas mengumpulkan kami untuk berangkat kembali ke Gyeongbokgung Palace.
Saya semakin menyadari bahwa hari-hari saya disini sebentar lagi usai. Pembaca mungkin membayangkan saya bertemu dengan artis macam Lee Min Ho atau Rain. Jangankan mereka, saya pun gagal bertemu Shin Min Ah dan Lee Yo Won. Selebihnya, sisa waktu saya disini masih berkutat soal sejarah peradaban bangsa Korea.
Sejarah bagi saya adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.
Gyeongbokgung Palace
Kami mendatangi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Istana ini dibangun pada tahun 1395 pada masa Dinasti Joseon. Gyeongbokgung sendiri berarti “the palace greatly blessed by heaven” atau istana yang diberkahi. Istana Gyeongbokgung ini membantu saya melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.
Rombongan kami tiba tepat pada waktu pergantian pasukan pengawal istana. Kami sempat menonton bagaimana pengawal istana melakukan pergantian shift kerja. Kami termasuk beruntung bisa mendapatkan waktu demi melihat event ini.
Raja Korea zaman Dinasti Joseon sengaja memilih lokasi Istana Gyeongbokgung tepat di jantung Seoul. Pemilihan tempat ini didasari penghitungan fengshui mereka yang meyakini bahwa Istana yang didepannya mengalir Sungai Han dan dilindungi oleh Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan di bagian belakang.
Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat. Saya membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Lalu bagaimana Raja mendatangi kamar Sang Permaisuri demi mendapatkan buah cinta mereka.
Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan semasa pendudukan Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.
Sebelum beranjak menuju N Seoul Tower, kami mengunjungi ‘The Blue House’ (‘Cheonghwadae’ dalam bahasa Korea) tempat tinggal Presiden Korea. Suasananya agak mirip Istana Bogor. The Blue House sendiri terletak di bagian selatan Istana Gyeongbokgung. Saya menyimpan tanya, apakah penamaan bangunan itu mengikuti bangunan kepresidenan Amerika Serikat yang lebih dahulu masyhur dengan nama White House. Entahlah.
Kami pun menyinggahi sebuah museum bertajuk Cheonghwadae Sarangchae yang dari jauh terbaca oleh saya sebagai Cheonghwadae Saranghae. Seketika Gina membenarkan ucapan saya. saya tertawa kecil, karena mudahnya untuk mengucapkan ‘saranghae’ pengaruh dari Hallyu (Korean Wave) di negeri kita tercinta.
Cheonghwadae Sarangchae sendiri adalah sebuah tempat yang nyaman untuk mempelajari tata hidup dan pencapaian-pencapaian Presiden Korea terdahulu, dan juga untuk memahami tradisi kultural bangsa Korea. Layanan dalam bahasa non-Korea, seperti bahasa Jepang, Inggris, dan China bisa didapatkan bila kita melakukan reservasi terlebih dahulu.
Sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa.
Sebelum beranjak ke Namsan, kami mampir di sebuah rumah makan. Rumah makan ini menyediakan menu Korean Gincseng Chicken Soup atau Samgyetang. Lagi-lagi saya hanya bisa mengelus dada karena tidak bisa ikut menikmati sajian sop ayam dalam hot plate. Recommended cuisine to try when you're in Seoul.
Korean Samgyetang |
N Seoul Tower dan Gembok Cinta
Akhirnya, Gina dan Nick membawa kami ke N Seoul Tower dimana terdapat Pohon Gembok Cinta. N Seoul Tower terletak di kaki gunung Namsan. Bila ditarik garis lurus, akan sejajar dengan Istana Gyeongbokgung yang agung itu. N Seoul Tower itu kurang lebih seperti KL Tower. Kita bisa mengunjungi souvenir shop yang ada di lantai bawah atau sekedar menikmati pemandangan kota Seoul dari observatorium. Jangan khawatir kelaparan, karena disini banyak sekali restoran yang bisa disinggahi di setiap level.
Menuju kesana perlu lima menit berjalan kaki dari pelataran parkir. Kami termasuk pengunjung yang beruntung karena dibolehkan menggunakan bis yang kami tumpangi hingga ke tempat parkir bis. Warga Korea sendiri tidak dibolehkan membawa kendaraan untuk menuju kesana. Sehingga, mereka memarkirkan kendaraannya dahulu sebelum berjalan menanjak yang ditempuh selama kurang lebih satu jam. Agaknya, KL Tower dalam hal ini sedikit lebih baik karena menyediakan shuttle bus dari pick up point di bawah menuju ke tower.
Saya mengalami overexcited sepanjang perjalanan lima menit yang menanjak itu. Beberapa tahun lalu, saya membaca cerita dalam surat seorang kawan @syarafmaulini kepada kekasihnya. Dia mengabadikan cintanya dengan menulis kedua nama mereka dalam gembok yang dikunci. Saya bersyukur bahwa saya tidak akan lama lagi akan mengalami pengalaman yang kurang lebih sama dengannya.
Saya lupa membawa gembok koper yang sudah saya siapkan sebelumnya. Beruntung, toko souvenir itu memang menjual gembok cinta lengkap dengan spidol khusus. Satu paket dijual seharga 8.000 KRW. Menurut catatan beberapa traveler dari negeri kita harga itu cukup mehong alias mahal.
Saya berhasil mengabadikan cinta saya disana. Saya menulis nama saya dan Ella di gembok itu lalu menguncinya. Saya tidak kesulitan mencari tempat untuk menggantungkan gembok harapan itu. Konon, ketika gembok itu terkunci, maka pasangan yang namanya ada di gembok tadi tidak akan terpisah untuk selamanya. Kedengarannya romantis bukan?
Saya membatalkan shaum saya yang terakhir di Korea ini dengan makan sandwhich dari Paris Baguette di N Seoul Tower. Suasana downtown Seoul terlihat indah dari ketinggian seperti ini. Hari mulai gelap. Angin dingin mulai menerpa. Kami pun segera pulang. Kami akan kembali ke Academy untuk menghabiskan dan menikmati malam terakhir disana.
Malam Terakhir
Seperti kebiasaan traveler pada umumnya, malam terakhir adalah kesempatan terakhir untuk berkemas. Termasuk saya, saya pun mengemasi barang-barang bawaan saya. Tidak ada bawaan berupa tas tambahan. Hanya saja, jinjingan saya bertambah banyak menjadi tiga kantong. Itu belum termasuk belanjaan di Duty Free Shop besok, mungkin.
Saya bersyukur bahwa akhirnya training ini selesai tepat pada waktunya. Saya bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan training di satu training center berakreditasi Global Training Center dari ICAO. Namun, dalam hati saya memendam kerinduan agar bisa kembali ke IAAA satu saat nanti. Saya akan merindukan Academy. Saya akan merindukan kabut yang turun pagi hari usai sahur. Saya juga akan merindukan gonggongan anjing pemilik kebun yang menemani tidur saya semalaman.
Malam ini pekerjaan saya selesai. All my bags are packed and i’m ready to go.
Pulang
Saya dijadwalkan pulang naik Garuda Indonesia, hari Minggu, 13 Juli 2014, pukul 10.35. Hari Minggu ini, tidak ada jatah sarapan dari kafetaria sehingga kami harus mengambil sarapan di restoran Golden Dragon di Incheon Airport. Academy menyediakan shuttle car yang akan jadi kendaraan kami untuk mondar-mandir.
Saya langsung membawa semua barang bawaan. Saya mengucapkan salam terakhir dengan semua teman-teman yang sudah berkumpul di lobi. Satu kehormatan bagi saya untuk bertemu dan bekerjasama dengan mereka. Apalagi ketika berpelukan dengan Fuad dan Sami, dua teman yang unik.
Saya berusaha untuk tidak menitikkan air mata dengan perpisahan ini. Bagaimanapun, perpisahan akan selalu menjadi akhir yang paling tidak menyenangkan. Saya tidak ingin hal ini menjadi ganjalan. Saya mencoba menikmati perpisahan ini.
Saya segera menuju counter check-in yang penuh dengan orang-orang Korea yang akan menjadi turis di Indonesia. Saya akan berada satu pesawat dengan mereka. Kami akan makan siang di ketinggian 41.000 feet, hanya saja saya tidak akan makan karena saya masih berpuasa. Saya menaiki airport train menuju terminal keberangkatan. Agak sedikit jauh memang.
Saya menghabiskan waktu menunggu dengan mengunjungi Lotte Duty Free Shop yang bertebaran di Incheon Airport ini. Saya membeli beberapa cinderamata dan penganan cokelat korea untuk dibagikan di kantor. Saya menghabiskan jatah Won saya disini. Walau ternyata, saya tidak menghabiskan semuanya dan masih sisa beberapa untuk dibawa ke tanah air.
Tiba di boarding room, Airbus A330-200 PK-GPN sudah gagah menanti di apron. 10.00 waktu boarding tiba dan pengumuman mulai berkumandang. Saya mendapatkan kursi di bagian paling belakang pesawat. Dekat dengan lavatory dan galley. Omaigad, sejenak pikiran negatif menguasai saya. Saya tak kuasa menahan pikiran bahwa bagian belakang pfuselage adalah bagian yang aman apabila terjadi kecelakaan. Tidak, naudzubillahimindzalik. Semoga itu hanya pikiran saja. Saya masih ingin bertemu Ibu, Bapak, Adik, dan Ella.
Saya menghabiskan waktu menunggu dengan mengunjungi Lotte Duty Free Shop yang bertebaran di Incheon Airport ini. Saya membeli beberapa cinderamata dan penganan cokelat korea untuk dibagikan di kantor. Saya menghabiskan jatah Won saya disini. Walau ternyata, saya tidak menghabiskan semuanya dan masih sisa beberapa untuk dibawa ke tanah air.
Tiba di boarding room, Airbus A330-200 PK-GPN sudah gagah menanti di apron. 10.00 waktu boarding tiba dan pengumuman mulai berkumandang. Saya mendapatkan kursi di bagian paling belakang pesawat. Dekat dengan lavatory dan galley. Omaigad, sejenak pikiran negatif menguasai saya. Saya tak kuasa menahan pikiran bahwa bagian belakang pfuselage adalah bagian yang aman apabila terjadi kecelakaan. Tidak, naudzubillahimindzalik. Semoga itu hanya pikiran saja. Saya masih ingin bertemu Ibu, Bapak, Adik, dan Ella.
Tidak banyak penumpang asal Indonesia. Selebihnya adalah turis yang sedang menikmati liburan musim panas mereka. Banyak diantaranya adalah kaum muda Korea. Saya heran tentang apa yang membuat mereka penasaran dengan Indonesia. Dari hasil nguping, harga barang dan biaya hidup yang relatif murah menjadi alasan mereka untuk mendatangi tanah air tercinta.
Pesawat pun pushback dan start engine. Cuaca cerah dan saya tidak merasa melankolik. Semua memang sudah harus seperti ini adanya. Saya harus kembali ke Indonesia, apapun alasannya. Isi nota kesepakatan saya dengan ROK-ICAO pun mensyaratkan demikian.
Makan siang mulai dibagikan ketika pesawat mulai cruising di 41.000 feet. Saya lantas menyimpan jatah makan siang dengan menu tambahan kimchi instan ini. Saya memberitahu pramugari bahwa saya berpuasa dan memintanya untuk tidak memberikan makanan atau minuman apapun setelah makan siang ini.
Saya menutup kepala dengan selimut yang disediakan. Saya tertidur pulas sampai sebuah pengumuman darurat diumumkan. Kami mengalami turbulence penuh goncangan selama sepuluh menit. Saya semakin tegang ketika mengingat pikiran saya menjelang keberangkatan tadi. Saya takut tidak mampu menepati janji saya untuk kembali. Saya tidur lagi.
Hampir tujuh jam terbang, pengumuman persiapan mendarat pun tiba. Saya senang karena bisa melihat kembali pemandangan pantai utara Jakarta sebelum landing di Soekarno-Hatta. Saya tiba di Jakarta tepat pukul 15.40 WIB. Still got few hours for fasting, anyway.
Saya segera menuju counter taksi dan segera pulang. Ah, rasanya menyenangkan untuk kembali ke Jakarta. Kembali ke macetnya Ciledug, kembali merasakan bau tanah sehabis hujan, dan kembali merasakan masakan yang memang pasangan lidah. Saya segera mengabari Ibu, Bapak, dan Ella. Bilang bahwa saya merindukan mereka semua.
The day seems so long and now i’m here back in Indonesia. Annyeonghaseyo. Selamat datang!
Incheon-Paninggilan, 13 Juli 2014.