Sabtu, 30 September 2017

Cahaya Maha Cahaya

Kumpulan puisi Emha yang terbit pada tahun 2004 silam ini barangkali menjadi kumpulan puisi tipis yang paling susah saya tamatkan. Mulai dari membaca di rumah, di mobil jemputan, di pesawat menuju Manado, dalam gerbong KA Parahyangan, tak kunjung selesai juga pembacaan.

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya sendiri belakangan ini memang mengalami ‘kemunduran’ dalam membaca. Satu bulan paling habis satu atau dua judul saja. Lantas, saya tidak bisa menambah koleksi bacaan disebabkan kemajuan bacaan yang sangat lambat itu.

Terus terang, memahami ‘Cahaya Maha Cahaya’ lebih sulit dibandingkan dengan ’99 untuk Tuhanku’, misalnya. Kemesraan antara Emha dengan Tuhannya itu memang agak sulit untuk dijabarkan lewat cara pandang biasa. 

Kemesraan Emha dengan Tuhannya nampak dalam “Ajari Aku Tidur”. Emha bermesraan macam seorang anak yang minta dikeloni oleh ibunya. Lebih baik ia tidur saja usai didera segala urusan dunia.
Ajari Aku Tidur
 
tuhan sayang ajari aku tidur
seperti dulu menemuimu di rahim ibu
sesudah lahir menjadi anak kehidupan
sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik,
              dan kebodohan
bisaku cuma tertidur
tertidur


Emha tidak menulis kritik sosial yang tajam dalam setiap syairnya. Emha memposisikan diri sebagai seorang hamba yang berusaha menuju cahaya setelah dihampas gelombang kehidupan yang tak henti-hentinya membutakan mata, hati, jiwa, dan pikiran.

Saya mencatat beberapa syair yang rasanya perlu saya pahami. Adakah sebuah tendensi atau hanyalah sebuah imaji semata. Misal, pada bait puisi berjudul “Satu Kekasihku”.

Satu Kekasihku

mati hidup satu kekasihku
takkan kubikin ia cemburu
kurahasiakan dari anak istri
kulindungi dari politik dan kia
i

Siapakah politik dan kiai yang dimaksud Emha? Mengapa sesuatu itu takkan ia buat cemburu hingga mesti dirahasiakan dari anak istri hingga sangat perlu dilindungi dari politik dan kiai? Wallahu’alam. Mungkin perlu satu buku lagi untuk menjelaskan hubungan antara politik dan kiai sehingga jelaslah hubungan keduanya.

Emha sebagai subordinat dari mereka yang terkalahkan mengadu pada Tuhannya. Dalam “Lempari Aku”, Emha seakan menunjukkan pada Tuhan bahwa ia masih ada.

dengan sembahyang mungkin kau menerimaku
tapi dengan sakit tak bisa kau elakkan hadirku

Cahaya Maha Cahaya memang hanya sebuah buku kumpulan puisi yang tipis namun justru dalam ketipisannya itulah terkuak kebesaran dan keluasan dunia seorang Emha. Emha sebagai penyair menuliskan segala keresahannya; tentang manusia dan kepastian kuasa Tuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Cipayung, 18 September 2017.

Judul        : Cahaya Maha Cahaya
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Pustaka Firdaus
Tahun        : 2004
Tebal        : 71 hal.
Genre        : Sastra Indonesia-Kumpulan Puisi

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...