And life is a road that i want to keep going
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey*
Awalnya
Kamis, 27 Maret 2008. Satu lagi hari bersejarah dalam hidup saya yang cuma begini ini. Satu hari dimana seluruh daya upaya doa ikhtiar melebur dalam kecemasan atas satu keyakinan. Satu hari yang tiba sebagai pembuktian pencapaian bahwa apa yang telah saya lakukan kemarin tidaklah terlalu salah. Kembali mengingat hari-hari itu adalah sebuah kemestian. Ketika waktu terus berputar dan hari berganti. Membawa masa lalu yang akan segera berganti menjadi masa depan yang terulang lagi.
Flashback
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey*
Awalnya
Kamis, 27 Maret 2008. Satu lagi hari bersejarah dalam hidup saya yang cuma begini ini. Satu hari dimana seluruh daya upaya doa ikhtiar melebur dalam kecemasan atas satu keyakinan. Satu hari yang tiba sebagai pembuktian pencapaian bahwa apa yang telah saya lakukan kemarin tidaklah terlalu salah. Kembali mengingat hari-hari itu adalah sebuah kemestian. Ketika waktu terus berputar dan hari berganti. Membawa masa lalu yang akan segera berganti menjadi masa depan yang terulang lagi.
Flashback
Membaca kembali hasil bimbingan selama kurang lebih dua bulan plus
menyelaraskannya dengan revisi dari pembimbing adalah sesuatu yang cukup
membingungkan. Fokus pada penelitian itu sendiri kadang bisa jadi bias
bila kita tidak teliti. Saya begadang semalaman untuk menyelesaikannya.
Kadang-kadang sambil ‘nyengir’.
Saya butuh waktu lebih dari sebulan untuk menemukan judul yang fix untuk skripsi ini. Itu sudah termasuk lima kali ganti judul, puluhan kali bimbingan tanpa hasil selain penolakan, puluhan batang rokok lengkap dengan bergelas-gelas kopi Aceh (huge thanks to Mbak Annisa Fatmawati), dan malam-malam panjang bergelut dengan kata dan kantuk. Tahu-tahu, sudah 14 Februari dimana sahabat saya, Waluyo, berhasil dengan gantengnya untuk lulus duluan. Laki-laki pertama dari kelas kami yang jadi sarjana.
Saya butuh waktu lebih dari sebulan untuk menemukan judul yang fix untuk skripsi ini. Itu sudah termasuk lima kali ganti judul, puluhan kali bimbingan tanpa hasil selain penolakan, puluhan batang rokok lengkap dengan bergelas-gelas kopi Aceh (huge thanks to Mbak Annisa Fatmawati), dan malam-malam panjang bergelut dengan kata dan kantuk. Tahu-tahu, sudah 14 Februari dimana sahabat saya, Waluyo, berhasil dengan gantengnya untuk lulus duluan. Laki-laki pertama dari kelas kami yang jadi sarjana.
Peristiwa 14 Februari itu terus mengganggu. Saya harus melakukan sesuatu karena saat itu Bab I punya saya belum di-ACC alias disetujui para pembimbing yang terhormat, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan. Atas dasar itulah saya berusaha fokus terhadap masalah penelitian. Bahkan, saya melibatkan Dosen Wali dalam hal ini, untuk sekedar membantu. Buat apa punya Dosen Wali kalau tidak bisa jadi wali yang baik di kampus.
20 Februari 2008, Bab I resmi diapprove. Artinya saya harus segera melangkah untuk Bab II dan Bab III. Itu kata saya, bukan kata pembimbing. Saya harus berlari cepat. Entah, seperti ada sesuatu yang mengharuskan saya melakukannya. For the love of my life, for the love of the game! Padahal, sebelum tanggal 20 itu, angket penelitian sudah saya sebar ke responden. Sedikit ilegal memang tetapi saya harus melakukannya karena hidup memang tidak memberi banyak pilihan saat itu.
Benar saja, seminggu kemudian Bab II dan Bab III akhirnya selesai. Tidak banyak halangan berarti. Jam 11.00 waktu negara bagian Jatinangor, Bapak Ketua Jurusan selaku Pembimbing I menyetujui Bab II . saya tidak bisa menunggu lebih lama. Bab II sudah ditangan dan harus segera mendapatkan approval. Jam 12.00 menjelang adzan Dzuhur, saya kembali menghadap Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan yang merangkap jadi Pembimbing. Bab III disetujui. Untungnya, mereka berdua tidak sadar bahwa mereka baru saja menandatangani Bab II. Tangan Tuhan memang bekerja dengan caraNya sendiri.
Apapun pekerjaannya, kebosanan selalu menghampiri. Kalau sudah begitu, biasanya saya segera bertanya pada diri sendiri: Kok nggak beres-beres ya? Sebuah pertanyaan eksistensial yang sangat sangat sangat mengganggu. Beruntung sekali, saya punya teman seperti Mita. Saya sangat berterima kasih karena sudah mengizinkan saya beberapa kali datang ke rumahnya di Arcamanik. Hanya untuk tukar pikiran soal metode penelitian dan analisis data sambil sedikit curhat. That’s what friends are for! Membaca buku saja ternyata tidak cukup. Melihat dari sudut pandang lain ada manfaatnya. Percayalah itu kawan!
Belum lagi perasaan lelah. Semua itu terjadi saat analisis data hasil observasi lapangan. Cikal bakal Bab IV dan Bab V. Saya masih harus menemui beberapa narasumber untuk diwawancara. Terima kasih banyak kepada Mas Agung Hujatnikajennong, kurator Selasar Sunaryo Art Space, yang telah ‘membuka jalan’ untuk menghubungi kritikus komik, Hikmat Darmawan yang akhirnya saya wawancarai di Garut. Terima kasih juga untuk Tember Susena, untuk mp3 recorder. Without you all it’s all gone to waste. Untung saja, Fakultas Sastra mengadakan acara bedah buku terbaru Seno Gumira Ajidarma “Linguae” esok harinya. Seno Gumira Ajidarma benar-benar nyata dihadapan saya. Begitu juga Prof. Sapardi Djoko Damono, si pemilik Hujan Bulan Juni. Rasanya, jadi obat mujarab untuk semua ‘kekacauan’ dalam pikiran.
Seminggu sebelum D-Day, 26-27 Maret, Bab IV dan Bab V selesai. Seperti apa yang sudah saya lakukan, keduanya saya ajukan bersamaan. Tentunya, setelah konsultasi yang kesekian kalinya dengan Pak Agus, Sang Dosen Wali tercinta. Lagi-lagi, tanpa hambatan. Para pembimbing sepakat agar draft naik sidang. Dengan catatan, minggu depan masih harus dibahas. Ada beberapa poin yang masih harus disesuaikan.
Ada pameo yang berlaku di Jurusan. Siapa yang bimbingan lancar, pasti habis dibantai waktu sidang. Saya tahu itu Cuma sekedar pameo. Mungkin, pencetus pameo itu merasakan hal yang demikian sehingga butuh pembenaran dari yang lainnya. Agak sedikit khawatir memang. Lagipula, kalau memang skripsi itu dibuat sendiri bahkan kita sendiri hafal letak penamaan sub judul dan masalah yang dibahas harusnya bukan jadi suatu malah untuk menghadapi yang namanya Penguji.
Senin, 24 Maret 2008. Revisi draft akhir ‘skripsi komik’ yang saya buat. Ada banyak coretan dosen pembimbing disitu. Siang itu, yang ada dalam pikiran saya hanya satu: Bagaimana caranya supaya bisa tetap ikut sidang hari Rabu dan Kamis besok. Terlebih ketika petugas di Jurusan merilis pengumuman bahwa kemungkinan sidang akan dilaksanakan mulai besok Selasa dan Rabu.
Terus terang, kabar itu membuat langkah ini sedikit surut. Tapi saya tetap yakin, kalau saya mau saya pasti bisa. Kalau Tuhan mau kasih saya sidang, Tuhan pasti kasih. Bismillah, saya masuk ruang Jurusan untuk menanyakan jadwal sekaligus memastikan bahwa saya bisa memasukkan 5 salinan draft skripsi betulan untuk bahan sidang. And you know what? Oleh staf Admin Jurusan bagian pendaftaran sidang, saya disuruh untuk mengumpulkan kelima draft itu besok sebelum jam 12 siang. See! Itu belum termasuk bonus, bahwa nama saya dimasukkan daftar peserta sidang skripsi. Alhamdulillah.
Perjuangan belum berakhir. Besok adalah penentuan, apakah saya mampu datang sebelum jam 12 siang. Itu memang belum pasti. Masih ada 1001 kemungkinan. Saya hanya bisa pasrah sambil berharap malam ini tidak ada gangguan. Misalnya, listrik yang mati, CPU yang ngadat, printer yang tintanya tidak mau keluar, dan macam-macam cobaan lainnya. Mungkin, Tuhan mau menguji sejauh mana kesabaran saya sekaligus menetukan layak tidaknya saya untuk menghadapi sidang besok. Siapa tahu.
Selasa, 25 Maret 2008. 07.15. Saya hanya tidur 3 jam dan pagi itu saya mencetak draft master skripsi lalu bergegas ke tukang fotokopi. Baru jam 10.00 saya berangkat menuju bumi Jatinangor tercinta, tempat pelabuhan impian selama tiga tahun lebih ini. Saya harus tiba sebelum pukul 12.00 siang. Sementara, ada SMS dari Mita bahwa saya harus secepatnya mendaftarkan draft kalau memang masih ingin ikut sidang komprehensif Rabu besok. Bis DAMRI yang saya naiki tiba di Jatinangor jam 11.55, saya rasa masih cukup untuk sampai ke kampus pakai ojek. Ngeeeenggggg.
Tiba di kampus, setengah berlari menuju Jurusan disambut dengan sekian pasang mata yang tampak bingung. Saya mencari petugas pendaftaran sidang, sudah jam 12.03. Saya mendesak masuk loket dan si Ibu itu melambai ke arah saya, tandanya menyuruh masuk ruangan. Nama saya ada dalam daftar paling bawah dari enam peserta dan satu-satunya yang ditulis dengan tulisan tangan. Tidak masalah, yang jelas saya sudah terdaftar dan daftar itu akan segera diajukan ke Dekanat beserta draft skripsi yang lima buku itu.
D-Day Part 1
26 Maret 2008. 06.00. Pagi itu, bis DAMRI yang saya naiki mengalami pecah ban di pertigaan Holis. Bukan sesuatu yang bagus untuk mengawali hari. Saya khawatir tidak bisa tepat waktu untuk datang menemui Pembimbing pukul 07.00. untung, bis bantuan segera datang. Saya optimis mampu menghadapi sidang komprehensif ini. Kalau saya bisa dapat nilai A dan B untuk setiap mata kuliah yang saya ambil, kenapa masih harus takut. Saya malu sekali sama selembar transkrip yang isinya huruf-huruf nilai itu.
Benar, saya bisa hadir pukul 07.00 tepat. Setelah bertemu dengan pembimbing saya segera mendapatkan nama penguji sidang. Ada lima nama dosen. Tiga dari mereka mungkin jadi penguji sidang skripsi besok. Saya harus mendatangi mereka satu per satu. Menghadapi sekian pertanyaan di meja mereka masing-masing. Hasil undian pun keluar. Saya dapat urutan pertama. Tidak mudah memang menjadi orang yang pertama dipanggil sidang. Saya akan jadi tolak ukur untuk 5 orang lainnya, termasuk Mita. Saya telah cukup mengalami sekian ketakutan dan pagi tiu saya tidak punya alasan untuk merasa takut. Ketakutan telah mengajari saya untuk berani menghadapi kenyataan (yang memang tidak pernah mudah).
Pukul 11.00, 4 meja dosen penguji sudah saya datangi dan saya berhasil menjawab pertanyaan mereka. Saya kira mereka akan bertanya soal materi-materi kuliah. Ternyata tidak, yang jadi fokus penguji waktu itu hanya korelasi antara mata kuliah dan tema skripsi yang saya pilih. Kalaupun menyangkut materi kuliah, pertanyaan mereka tidak lebih dari sekedar pengembangan dan penerapan keilmuan. Mirip-mirip soal ujian esai semester 6. Tiga dari penguji tadi akan menemui saya kembali esok hari. Dari sorot matanya, saya bisa lihat bahwa mereka mengharapkan sesuatu terjadi besok.
Saya pulang usai tidak sengaja mengintip nilai yudisium saya untuk sidang komprehensif. Saya sengaja mengintip untuk memastikan bahwa total kumulatif IPK saya tidak akan turun hanya karena nilai sidang. Setelah memastikan nilai saya aman, maksudnya dalam batas yang tidak terlalu mengecewakan saya bergegas pulang. Bersiap untuk besok. Tidak ada lagi yang harus saya lakukan selain memastikan bahwa skripsi itu memang tulisan saya sendiri. Buah karya pikiran selama kurang lebih tiga bulan ini.
D-Day Part 2
Kamis, 27 Maret 2008. Nama saya kembali berada di urutan pertama. 08.00. Setelah semua peserta sidang dibriefing oleh Ketua Jurusan, saya kembali berhadapan dengan tiga penguji sidang kemarin ditambah dua orang pembimbing. Saya hanya butuh waktu 45 menit di ruang sidang. Seorang dosen penguji, Pak Rohanda, meminta draft itu untuk dijadikan referensi penelitian yang sedang beliau lakukan. Memang masih ada yang perlu diperbaiki dari skripsi ini. Tetapi saya merasa lega karena tidak ada kesalahan dalam hal metode. Walaupun sedikit khawatir tentang komentar-komentar itu berpengaruh terhadap penilaian. 45 menit, bukankah itu terlalu singkat untuk perjuangan selama 3 tahun 7 bulan?
Kekhawatiran dalam sidang itu sebenarnya bukan sempurna saat perform di depan dosen penguji, bukan karena faktor dosen penguji, bukan juga karena sekian bantahan-bantahan atas teori dan solusi masalah yang diajukan. Kekhawatiran muncul karena saya tidak pernah tahu apakah yang 45 menit itu tadi berhasil atau gagal. Pilihannya hanya tinggal itu. Berhasil meyakinkan dosen penguji sehingga mau meluluskan kita dengan nilai yang memuaskan atau gagal dalam menyajikan solusi atas suatu masalah.
14.30. Sidang selesai. Dilanjutkan dengan Yudisium. Momen inilah yang agaknya sedikit mengharukan. Ketika Ketua Jurusan mengumumkan satu per satu hasil sidang dan IPK terakhir yang akan selamanya melekat dan jadi milik kita. Pelukan dari kawan-kawan peserta sidang menyadarkan saya bahwa semua ini sudah berakhir. It’s all over, it will be pass soon.
Diluar ruang sidang, kawan-kawan sekelas menyambut kami yang enam orang ini. Bahagia sekali rasanya saat melihat hampir setengah kelas menyambut saya keluar dari ruang sidang. Saya pikir ini karena saya adalah Ketua Kelas mereka tapi ternyata saya salah. Lebih dari itu. Mereka datang sebagai sahabat yang setia dan saling mendukung satu sama lain. Seperti reuni pasukan perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan tempur. Pelukan dan jabat erat mereka sangat berarti untuk saya. Tak terasa air mata ini mengalir begitu saja. Saya tahu hal seperti ini akan segera berlalu.
Tak lama, kami pun membubarkan diri. Saya membereskan draft skripsi untuk dibawa pulang. Saat itu, kawan-kawan sedang tidak ada di kontrakan masing-masing. Tidak ada tempat untuk menitipkan tumpukan draft itu yang bertambah karena Mita menghibahkan semua draft miliknya pada saya. Barangkali nanti akan berguna pada saat revisi, minggu depan.
And life is a road that i want to keep going
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey
Saya menapaki tangga keluar Gedung 3. Langit mendung. Angin kencang pertanda alam mulai gusar. Lagu itu mengalun dalam kepala. Life is a road, now and forever, wonderful journey. I’m done. Ya, saya lulus. Segera saya telepon Ibu.
“Assalammualaikum. Bu, Alhamdulillah. Anggi.... udah lulus barusan....”
“Waalaikumsalaam. Oh, ya udah cepet pulang., di rumah hujan...”
Konklusi
Setelah kelulusan dan sambil menunggu wisuda yang diundur jadi bulan Juni, banyak pertanyaan dalam kepala ini. What’s next? Apa lagi? Selanjutnya apa? Mau kemana? Where have you been? Udah kemana aja? Udah ngapain aja? Besok mau ngapain? Semua merajuk memenuhi pikiran yang jadi semakin sesak dan sempit ini. Yang saya tahu, saya harus melakukan sesuatu. Esok pasti tiba dan tak akan menunggu. Sebab hidup tak bisa menunggu, kata iklan sebuah produk shampo di TV.
Sebenarnya, tidak ada tuntutan bahwa saya harus cepat lulus. Saya sendiri tidak punya deadline yang pasti untuk lulus. Tidak seperti teman-teman lainnya yang punya target bulan anu, bulan ini, bulan kapan untuk lulus. Saya hanya mencamkan pada diri sendiri bahwa saya ingin lulus sebelum Piala Eropa 2008 bergulir, itu saja. Alasannya, siapa tahu saat itu ada orang yang lebih dari sekedar baik hati mengajak saya menonton pertandingan langsung di Austria atau Swiss. Sehingga saya tidak punya beban bernama skripsi lagi. Itu alasan yang sangat absurd tetapi kadang jadi penyemangat untuk segera menuntaskan skripsi.
Saya harus melakukan sesuatu. Ini bukanlah akhir segalanya. Justru, jadi gerbang pembuka atas segenap kemungkinan yang mampu ditawarkan hidup. Meniru kata Victor usai PDKT di hari Natal 2007: the end is my beginning.
20 Februari 2008, Bab I resmi diapprove. Artinya saya harus segera melangkah untuk Bab II dan Bab III. Itu kata saya, bukan kata pembimbing. Saya harus berlari cepat. Entah, seperti ada sesuatu yang mengharuskan saya melakukannya. For the love of my life, for the love of the game! Padahal, sebelum tanggal 20 itu, angket penelitian sudah saya sebar ke responden. Sedikit ilegal memang tetapi saya harus melakukannya karena hidup memang tidak memberi banyak pilihan saat itu.
Benar saja, seminggu kemudian Bab II dan Bab III akhirnya selesai. Tidak banyak halangan berarti. Jam 11.00 waktu negara bagian Jatinangor, Bapak Ketua Jurusan selaku Pembimbing I menyetujui Bab II . saya tidak bisa menunggu lebih lama. Bab II sudah ditangan dan harus segera mendapatkan approval. Jam 12.00 menjelang adzan Dzuhur, saya kembali menghadap Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan yang merangkap jadi Pembimbing. Bab III disetujui. Untungnya, mereka berdua tidak sadar bahwa mereka baru saja menandatangani Bab II. Tangan Tuhan memang bekerja dengan caraNya sendiri.
Apapun pekerjaannya, kebosanan selalu menghampiri. Kalau sudah begitu, biasanya saya segera bertanya pada diri sendiri: Kok nggak beres-beres ya? Sebuah pertanyaan eksistensial yang sangat sangat sangat mengganggu. Beruntung sekali, saya punya teman seperti Mita. Saya sangat berterima kasih karena sudah mengizinkan saya beberapa kali datang ke rumahnya di Arcamanik. Hanya untuk tukar pikiran soal metode penelitian dan analisis data sambil sedikit curhat. That’s what friends are for! Membaca buku saja ternyata tidak cukup. Melihat dari sudut pandang lain ada manfaatnya. Percayalah itu kawan!
Belum lagi perasaan lelah. Semua itu terjadi saat analisis data hasil observasi lapangan. Cikal bakal Bab IV dan Bab V. Saya masih harus menemui beberapa narasumber untuk diwawancara. Terima kasih banyak kepada Mas Agung Hujatnikajennong, kurator Selasar Sunaryo Art Space, yang telah ‘membuka jalan’ untuk menghubungi kritikus komik, Hikmat Darmawan yang akhirnya saya wawancarai di Garut. Terima kasih juga untuk Tember Susena, untuk mp3 recorder. Without you all it’s all gone to waste. Untung saja, Fakultas Sastra mengadakan acara bedah buku terbaru Seno Gumira Ajidarma “Linguae” esok harinya. Seno Gumira Ajidarma benar-benar nyata dihadapan saya. Begitu juga Prof. Sapardi Djoko Damono, si pemilik Hujan Bulan Juni. Rasanya, jadi obat mujarab untuk semua ‘kekacauan’ dalam pikiran.
Seminggu sebelum D-Day, 26-27 Maret, Bab IV dan Bab V selesai. Seperti apa yang sudah saya lakukan, keduanya saya ajukan bersamaan. Tentunya, setelah konsultasi yang kesekian kalinya dengan Pak Agus, Sang Dosen Wali tercinta. Lagi-lagi, tanpa hambatan. Para pembimbing sepakat agar draft naik sidang. Dengan catatan, minggu depan masih harus dibahas. Ada beberapa poin yang masih harus disesuaikan.
Ada pameo yang berlaku di Jurusan. Siapa yang bimbingan lancar, pasti habis dibantai waktu sidang. Saya tahu itu Cuma sekedar pameo. Mungkin, pencetus pameo itu merasakan hal yang demikian sehingga butuh pembenaran dari yang lainnya. Agak sedikit khawatir memang. Lagipula, kalau memang skripsi itu dibuat sendiri bahkan kita sendiri hafal letak penamaan sub judul dan masalah yang dibahas harusnya bukan jadi suatu malah untuk menghadapi yang namanya Penguji.
Senin, 24 Maret 2008. Revisi draft akhir ‘skripsi komik’ yang saya buat. Ada banyak coretan dosen pembimbing disitu. Siang itu, yang ada dalam pikiran saya hanya satu: Bagaimana caranya supaya bisa tetap ikut sidang hari Rabu dan Kamis besok. Terlebih ketika petugas di Jurusan merilis pengumuman bahwa kemungkinan sidang akan dilaksanakan mulai besok Selasa dan Rabu.
Terus terang, kabar itu membuat langkah ini sedikit surut. Tapi saya tetap yakin, kalau saya mau saya pasti bisa. Kalau Tuhan mau kasih saya sidang, Tuhan pasti kasih. Bismillah, saya masuk ruang Jurusan untuk menanyakan jadwal sekaligus memastikan bahwa saya bisa memasukkan 5 salinan draft skripsi betulan untuk bahan sidang. And you know what? Oleh staf Admin Jurusan bagian pendaftaran sidang, saya disuruh untuk mengumpulkan kelima draft itu besok sebelum jam 12 siang. See! Itu belum termasuk bonus, bahwa nama saya dimasukkan daftar peserta sidang skripsi. Alhamdulillah.
Perjuangan belum berakhir. Besok adalah penentuan, apakah saya mampu datang sebelum jam 12 siang. Itu memang belum pasti. Masih ada 1001 kemungkinan. Saya hanya bisa pasrah sambil berharap malam ini tidak ada gangguan. Misalnya, listrik yang mati, CPU yang ngadat, printer yang tintanya tidak mau keluar, dan macam-macam cobaan lainnya. Mungkin, Tuhan mau menguji sejauh mana kesabaran saya sekaligus menetukan layak tidaknya saya untuk menghadapi sidang besok. Siapa tahu.
Selasa, 25 Maret 2008. 07.15. Saya hanya tidur 3 jam dan pagi itu saya mencetak draft master skripsi lalu bergegas ke tukang fotokopi. Baru jam 10.00 saya berangkat menuju bumi Jatinangor tercinta, tempat pelabuhan impian selama tiga tahun lebih ini. Saya harus tiba sebelum pukul 12.00 siang. Sementara, ada SMS dari Mita bahwa saya harus secepatnya mendaftarkan draft kalau memang masih ingin ikut sidang komprehensif Rabu besok. Bis DAMRI yang saya naiki tiba di Jatinangor jam 11.55, saya rasa masih cukup untuk sampai ke kampus pakai ojek. Ngeeeenggggg.
Tiba di kampus, setengah berlari menuju Jurusan disambut dengan sekian pasang mata yang tampak bingung. Saya mencari petugas pendaftaran sidang, sudah jam 12.03. Saya mendesak masuk loket dan si Ibu itu melambai ke arah saya, tandanya menyuruh masuk ruangan. Nama saya ada dalam daftar paling bawah dari enam peserta dan satu-satunya yang ditulis dengan tulisan tangan. Tidak masalah, yang jelas saya sudah terdaftar dan daftar itu akan segera diajukan ke Dekanat beserta draft skripsi yang lima buku itu.
D-Day Part 1
26 Maret 2008. 06.00. Pagi itu, bis DAMRI yang saya naiki mengalami pecah ban di pertigaan Holis. Bukan sesuatu yang bagus untuk mengawali hari. Saya khawatir tidak bisa tepat waktu untuk datang menemui Pembimbing pukul 07.00. untung, bis bantuan segera datang. Saya optimis mampu menghadapi sidang komprehensif ini. Kalau saya bisa dapat nilai A dan B untuk setiap mata kuliah yang saya ambil, kenapa masih harus takut. Saya malu sekali sama selembar transkrip yang isinya huruf-huruf nilai itu.
Benar, saya bisa hadir pukul 07.00 tepat. Setelah bertemu dengan pembimbing saya segera mendapatkan nama penguji sidang. Ada lima nama dosen. Tiga dari mereka mungkin jadi penguji sidang skripsi besok. Saya harus mendatangi mereka satu per satu. Menghadapi sekian pertanyaan di meja mereka masing-masing. Hasil undian pun keluar. Saya dapat urutan pertama. Tidak mudah memang menjadi orang yang pertama dipanggil sidang. Saya akan jadi tolak ukur untuk 5 orang lainnya, termasuk Mita. Saya telah cukup mengalami sekian ketakutan dan pagi tiu saya tidak punya alasan untuk merasa takut. Ketakutan telah mengajari saya untuk berani menghadapi kenyataan (yang memang tidak pernah mudah).
Pukul 11.00, 4 meja dosen penguji sudah saya datangi dan saya berhasil menjawab pertanyaan mereka. Saya kira mereka akan bertanya soal materi-materi kuliah. Ternyata tidak, yang jadi fokus penguji waktu itu hanya korelasi antara mata kuliah dan tema skripsi yang saya pilih. Kalaupun menyangkut materi kuliah, pertanyaan mereka tidak lebih dari sekedar pengembangan dan penerapan keilmuan. Mirip-mirip soal ujian esai semester 6. Tiga dari penguji tadi akan menemui saya kembali esok hari. Dari sorot matanya, saya bisa lihat bahwa mereka mengharapkan sesuatu terjadi besok.
Saya pulang usai tidak sengaja mengintip nilai yudisium saya untuk sidang komprehensif. Saya sengaja mengintip untuk memastikan bahwa total kumulatif IPK saya tidak akan turun hanya karena nilai sidang. Setelah memastikan nilai saya aman, maksudnya dalam batas yang tidak terlalu mengecewakan saya bergegas pulang. Bersiap untuk besok. Tidak ada lagi yang harus saya lakukan selain memastikan bahwa skripsi itu memang tulisan saya sendiri. Buah karya pikiran selama kurang lebih tiga bulan ini.
D-Day Part 2
Kamis, 27 Maret 2008. Nama saya kembali berada di urutan pertama. 08.00. Setelah semua peserta sidang dibriefing oleh Ketua Jurusan, saya kembali berhadapan dengan tiga penguji sidang kemarin ditambah dua orang pembimbing. Saya hanya butuh waktu 45 menit di ruang sidang. Seorang dosen penguji, Pak Rohanda, meminta draft itu untuk dijadikan referensi penelitian yang sedang beliau lakukan. Memang masih ada yang perlu diperbaiki dari skripsi ini. Tetapi saya merasa lega karena tidak ada kesalahan dalam hal metode. Walaupun sedikit khawatir tentang komentar-komentar itu berpengaruh terhadap penilaian. 45 menit, bukankah itu terlalu singkat untuk perjuangan selama 3 tahun 7 bulan?
Kekhawatiran dalam sidang itu sebenarnya bukan sempurna saat perform di depan dosen penguji, bukan karena faktor dosen penguji, bukan juga karena sekian bantahan-bantahan atas teori dan solusi masalah yang diajukan. Kekhawatiran muncul karena saya tidak pernah tahu apakah yang 45 menit itu tadi berhasil atau gagal. Pilihannya hanya tinggal itu. Berhasil meyakinkan dosen penguji sehingga mau meluluskan kita dengan nilai yang memuaskan atau gagal dalam menyajikan solusi atas suatu masalah.
14.30. Sidang selesai. Dilanjutkan dengan Yudisium. Momen inilah yang agaknya sedikit mengharukan. Ketika Ketua Jurusan mengumumkan satu per satu hasil sidang dan IPK terakhir yang akan selamanya melekat dan jadi milik kita. Pelukan dari kawan-kawan peserta sidang menyadarkan saya bahwa semua ini sudah berakhir. It’s all over, it will be pass soon.
Diluar ruang sidang, kawan-kawan sekelas menyambut kami yang enam orang ini. Bahagia sekali rasanya saat melihat hampir setengah kelas menyambut saya keluar dari ruang sidang. Saya pikir ini karena saya adalah Ketua Kelas mereka tapi ternyata saya salah. Lebih dari itu. Mereka datang sebagai sahabat yang setia dan saling mendukung satu sama lain. Seperti reuni pasukan perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan tempur. Pelukan dan jabat erat mereka sangat berarti untuk saya. Tak terasa air mata ini mengalir begitu saja. Saya tahu hal seperti ini akan segera berlalu.
Tak lama, kami pun membubarkan diri. Saya membereskan draft skripsi untuk dibawa pulang. Saat itu, kawan-kawan sedang tidak ada di kontrakan masing-masing. Tidak ada tempat untuk menitipkan tumpukan draft itu yang bertambah karena Mita menghibahkan semua draft miliknya pada saya. Barangkali nanti akan berguna pada saat revisi, minggu depan.
And life is a road that i want to keep going
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey
Saya menapaki tangga keluar Gedung 3. Langit mendung. Angin kencang pertanda alam mulai gusar. Lagu itu mengalun dalam kepala. Life is a road, now and forever, wonderful journey. I’m done. Ya, saya lulus. Segera saya telepon Ibu.
“Assalammualaikum. Bu, Alhamdulillah. Anggi.... udah lulus barusan....”
“Waalaikumsalaam. Oh, ya udah cepet pulang., di rumah hujan...”
Konklusi
Setelah kelulusan dan sambil menunggu wisuda yang diundur jadi bulan Juni, banyak pertanyaan dalam kepala ini. What’s next? Apa lagi? Selanjutnya apa? Mau kemana? Where have you been? Udah kemana aja? Udah ngapain aja? Besok mau ngapain? Semua merajuk memenuhi pikiran yang jadi semakin sesak dan sempit ini. Yang saya tahu, saya harus melakukan sesuatu. Esok pasti tiba dan tak akan menunggu. Sebab hidup tak bisa menunggu, kata iklan sebuah produk shampo di TV.
Sebenarnya, tidak ada tuntutan bahwa saya harus cepat lulus. Saya sendiri tidak punya deadline yang pasti untuk lulus. Tidak seperti teman-teman lainnya yang punya target bulan anu, bulan ini, bulan kapan untuk lulus. Saya hanya mencamkan pada diri sendiri bahwa saya ingin lulus sebelum Piala Eropa 2008 bergulir, itu saja. Alasannya, siapa tahu saat itu ada orang yang lebih dari sekedar baik hati mengajak saya menonton pertandingan langsung di Austria atau Swiss. Sehingga saya tidak punya beban bernama skripsi lagi. Itu alasan yang sangat absurd tetapi kadang jadi penyemangat untuk segera menuntaskan skripsi.
Saya harus melakukan sesuatu. Ini bukanlah akhir segalanya. Justru, jadi gerbang pembuka atas segenap kemungkinan yang mampu ditawarkan hidup. Meniru kata Victor usai PDKT di hari Natal 2007: the end is my beginning.
Paninggilan, 27 Maret 2012. 22.17
*dari lagu "At The Beginning" dibawakan oleh Richard Marx dan Donna Lewis. OST Anastasia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar