Things happen for a reason. Entah kenapa dalam perjalanan dinas kemarin Tuhan mentakdirkan kami untuk menginap di hotel itu. Sebuah hotel yang lokasinya terletak persis di perempatan Jalan Riau dan Jalan Anggrek. Jalan Anggrek. Kembali lagi ke Jalan Anggrek berarti memutar roda waktu kembali ke bulan Februari-Maret 2003.
Waktu itu, kami kebagian tugas pelajaran Sejarah yang mengharuskan kami membuat film bertema persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah tugas yang bisa didefinisikan sebagai menerjemahkan naskah film dari salinan buku pelajaran Sejarah dengan fakta paling reliable ke dalam permainan akting. Dengan persiapan terbatas, naskah itu pun hanya saya buat jadi potongan-potongan adegan yang digarisbawahi pensil. Bukan membuat naskah baru yang terpisah. Saya hanya bisa membayangkan adegan dalam shooting nanti akan seperti apa sambil menyiapkan naskah dialog untuk si pemeran karakter. Kadang-kadang, improvisasi dadakan itu berhasil.
Setelah shooting selesai, video editing dilakukan di sebuah studio di Jalan Anggrek ini. Tidak ada alternatif lain karena cuma studio LasUt (Laras Utama) ini yang tampak meyakinkan di kolom iklan baris Pikiran Rakyat. Akhirnya, studio ini yang kami jadikan pilihan untuk editing film.
Sempat beberapa kali bolak-balik untuk editing. Dimana Tools dan perangkat video editing belum secanggih sekarang. PC Pentium 3 700 MHz yang tidak hanging selama rendering Adobe Premiere 6.0 rasanya sudah harus disyukuri. Ditambah lagi dengan kapasitas hard disk yang sempat jadi masalah sebelum pekerjaan editing dimulai. Semuanya harus disyukuri karena berjalan lancar.
Jalan Anggrek adalah tentang malam-malam itu. Mengedit scene demi scene, membuat subtitle (yang kadang-kadang diluar script), menentukan timing untuk scene title (sering kelebihan 0,5 detik), hingga menonton ulang seluruh hasil editing sebelum proses rendering dimulai (satu ronde 30 menit).Tak jarang sebagai aktor, scriptwriter, sutradara sekaligus produser film saya harus sering pulang malam diatas jam 9. Padahal, saya sudah di studio sejak pukul 3 sore.
Hari-hari itu memang melelahkan. Namun, untuk sebuah pencapaian perfeksi memang harus ada harga yang dibayar. Waktu, tenaga, dan pikiran benar-benar diuji. Termasuk nego-nego halus dengan guru mata pelajaran terakhir untuk mengizinkan saya pergi ke studio editing di Jalan Anggrek itu. Saya bersyukur bahwa waktu itu bisa menyelesaikan semuanya tanpa banyak ketinggalan les dan pelajaran tambahan diluar jam sekolah.
Jalan Anggrek adalah tentang kesendirian. Ketika hidup tak menyodorkan lagi pilihan kecuali menjalani apa yang ada di hadapan. Jalan Anggrek adalah malam-malam yang sepi itu, dalam hembusan asap rokok sambil menunggu angkot. Sambil menyenandungkan lagu 'Anyone of Us' yang memang lagi hits waktu itu. Sebuah momen yang berulang kali saya gunakan untuk mengaca diri. Sekaligus bertanya dalam hati, "Untuk apa saya lakukan semua ini?" "Untuk apa saya berjalan sejauh ini, untuk siapa, untuk apa?". Pertanyaan-pertanyaan esensial yang hanya bisa dirasakan saat saya hanya bergumul dengan diri sendiri. Tak ada teman, karena mereka telah mempercayakan urusan editing ini kepada saya.
Pertanyaan-pertanyaan yang segera terjawab dalam presentasi film yang dikemas dalam acara kecil nonton bareng Kepala Sekolah. Komentar Pak Said, tentang detail film yang sangat meghadirkan suasana pra-kemerdekaan adalah sesuatu yang membanggakan. Seketika, segenap sesal dan kesal itu hilang berganti dengan perasaan haru yang segera meliputi anggota tim kami. Bagaimana tidak, dengan segala keterbatasan, kami terpaksa mengulang semua adegan shooting yang 3 hari itu dalam sehari saja, karena kaset video yang terhapus. Belum lagi proses editing yang melelahkan karena ternyata menemukan titik temu dari ide-ide setiap orang adalah pekerjaan yang memakan waktu.
Tidak hanya sampai disitu. Setelah 'premier' di lab. Multimedia, saya masih harus bolak-balik ke Studio LasUt. Demi menyempurnakan screenplay dan subtitle karena film yang 'premier' ini adalah dummy atau prototype yang belum selesai benar. Artinya, masih diperlukan sedikit sentuhan akhir untuk membuatnya abadi.
Saya bisa katakan bahwa semua jerih payah kami terbayar lunas. Semua pengalaman kami dalam proses pengerjaan film ini mengajarkan banyak hal.Terutama, untuk tetap fokus pada proses demi hasil yang akan dicapai. Satu hal lagi yang membanggakan kami adalah bahwa film kami ini bertahan dari generasi ke generasi adik angkatan. Setiap angkatan dibawah kami selalu kebagian menonton film ilustrasi dokumenter itu sebagai bagian dari pembelajaran mata pelajaran Sejarah. Tidak hanya saya saja, teman-teman yang lain pun mengalami suatu pengalaman yang sama luar biasanya, ketika satu persatu mengetahui kabar itu dari kolega-kolega mereka yang bersekolah di sekolah kami.
Semua memori, pengalaman, dan segenap perasaan itu kini terangkum dalam sekeping cakram optik berjudul "Rengasdengklok 2003". Sekeping cakram optik yang sangat berarti dan telah dicatat dalam sejarah. Dan Jalan Anggrek, adalah bagian sejarah itu. Sejarah kami.
Bandung-Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 8-12 Maret 2012.
*dengan ingatan kepada seluruh Tim Kreatif kelompok 1 kelas 2D 2002-2003 SMAN 9 Bandung yang memberikan seluruh curahan waktu, tenaga, dan pikiran untuk keberhasilan film ilustrasi dokumenter "Rengasdengklok 2003". Tak lupa juga pada Guru Sejarah kami, Ibu Enny Suartiny, dimana film ini khusus kami dedikasikan untuk beliau.
Waktu itu, kami kebagian tugas pelajaran Sejarah yang mengharuskan kami membuat film bertema persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah tugas yang bisa didefinisikan sebagai menerjemahkan naskah film dari salinan buku pelajaran Sejarah dengan fakta paling reliable ke dalam permainan akting. Dengan persiapan terbatas, naskah itu pun hanya saya buat jadi potongan-potongan adegan yang digarisbawahi pensil. Bukan membuat naskah baru yang terpisah. Saya hanya bisa membayangkan adegan dalam shooting nanti akan seperti apa sambil menyiapkan naskah dialog untuk si pemeran karakter. Kadang-kadang, improvisasi dadakan itu berhasil.
Setelah shooting selesai, video editing dilakukan di sebuah studio di Jalan Anggrek ini. Tidak ada alternatif lain karena cuma studio LasUt (Laras Utama) ini yang tampak meyakinkan di kolom iklan baris Pikiran Rakyat. Akhirnya, studio ini yang kami jadikan pilihan untuk editing film.
Sempat beberapa kali bolak-balik untuk editing. Dimana Tools dan perangkat video editing belum secanggih sekarang. PC Pentium 3 700 MHz yang tidak hanging selama rendering Adobe Premiere 6.0 rasanya sudah harus disyukuri. Ditambah lagi dengan kapasitas hard disk yang sempat jadi masalah sebelum pekerjaan editing dimulai. Semuanya harus disyukuri karena berjalan lancar.
Jalan Anggrek adalah tentang malam-malam itu. Mengedit scene demi scene, membuat subtitle (yang kadang-kadang diluar script), menentukan timing untuk scene title (sering kelebihan 0,5 detik), hingga menonton ulang seluruh hasil editing sebelum proses rendering dimulai (satu ronde 30 menit).Tak jarang sebagai aktor, scriptwriter, sutradara sekaligus produser film saya harus sering pulang malam diatas jam 9. Padahal, saya sudah di studio sejak pukul 3 sore.
Hari-hari itu memang melelahkan. Namun, untuk sebuah pencapaian perfeksi memang harus ada harga yang dibayar. Waktu, tenaga, dan pikiran benar-benar diuji. Termasuk nego-nego halus dengan guru mata pelajaran terakhir untuk mengizinkan saya pergi ke studio editing di Jalan Anggrek itu. Saya bersyukur bahwa waktu itu bisa menyelesaikan semuanya tanpa banyak ketinggalan les dan pelajaran tambahan diluar jam sekolah.
Jalan Anggrek adalah tentang kesendirian. Ketika hidup tak menyodorkan lagi pilihan kecuali menjalani apa yang ada di hadapan. Jalan Anggrek adalah malam-malam yang sepi itu, dalam hembusan asap rokok sambil menunggu angkot. Sambil menyenandungkan lagu 'Anyone of Us' yang memang lagi hits waktu itu. Sebuah momen yang berulang kali saya gunakan untuk mengaca diri. Sekaligus bertanya dalam hati, "Untuk apa saya lakukan semua ini?" "Untuk apa saya berjalan sejauh ini, untuk siapa, untuk apa?". Pertanyaan-pertanyaan esensial yang hanya bisa dirasakan saat saya hanya bergumul dengan diri sendiri. Tak ada teman, karena mereka telah mempercayakan urusan editing ini kepada saya.
Pertanyaan-pertanyaan yang segera terjawab dalam presentasi film yang dikemas dalam acara kecil nonton bareng Kepala Sekolah. Komentar Pak Said, tentang detail film yang sangat meghadirkan suasana pra-kemerdekaan adalah sesuatu yang membanggakan. Seketika, segenap sesal dan kesal itu hilang berganti dengan perasaan haru yang segera meliputi anggota tim kami. Bagaimana tidak, dengan segala keterbatasan, kami terpaksa mengulang semua adegan shooting yang 3 hari itu dalam sehari saja, karena kaset video yang terhapus. Belum lagi proses editing yang melelahkan karena ternyata menemukan titik temu dari ide-ide setiap orang adalah pekerjaan yang memakan waktu.
Tidak hanya sampai disitu. Setelah 'premier' di lab. Multimedia, saya masih harus bolak-balik ke Studio LasUt. Demi menyempurnakan screenplay dan subtitle karena film yang 'premier' ini adalah dummy atau prototype yang belum selesai benar. Artinya, masih diperlukan sedikit sentuhan akhir untuk membuatnya abadi.
Saya bisa katakan bahwa semua jerih payah kami terbayar lunas. Semua pengalaman kami dalam proses pengerjaan film ini mengajarkan banyak hal.Terutama, untuk tetap fokus pada proses demi hasil yang akan dicapai. Satu hal lagi yang membanggakan kami adalah bahwa film kami ini bertahan dari generasi ke generasi adik angkatan. Setiap angkatan dibawah kami selalu kebagian menonton film ilustrasi dokumenter itu sebagai bagian dari pembelajaran mata pelajaran Sejarah. Tidak hanya saya saja, teman-teman yang lain pun mengalami suatu pengalaman yang sama luar biasanya, ketika satu persatu mengetahui kabar itu dari kolega-kolega mereka yang bersekolah di sekolah kami.
Semua memori, pengalaman, dan segenap perasaan itu kini terangkum dalam sekeping cakram optik berjudul "Rengasdengklok 2003". Sekeping cakram optik yang sangat berarti dan telah dicatat dalam sejarah. Dan Jalan Anggrek, adalah bagian sejarah itu. Sejarah kami.
Bandung-Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 8-12 Maret 2012.
*dengan ingatan kepada seluruh Tim Kreatif kelompok 1 kelas 2D 2002-2003 SMAN 9 Bandung yang memberikan seluruh curahan waktu, tenaga, dan pikiran untuk keberhasilan film ilustrasi dokumenter "Rengasdengklok 2003". Tak lupa juga pada Guru Sejarah kami, Ibu Enny Suartiny, dimana film ini khusus kami dedikasikan untuk beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar