Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Hanya itu yang bisa aku katakan sekarang. Aku menggerutu dalam hati. Aku merasa lelah. Dan memang seharusnya begitu. Perusahaan ini sudah membayarku begitu besar agar aku mampu mengeluarkan semua kemampuan yang aku punya. Kelak, mereka akan menguasai pasar dan begitu aku kehabisan tenaga mereka bisa menemukan penggantiku dengan cepat. That’s the rule.
Aku belum menikmati benar hari istirahatku. Jum’at ini aku terpaksa masuk kantor. Ada rapat besar yang harus aku ikuti. Siapa tahu keberuntunganku disitu. Hari ini seharusnya aku berbaring seharian saja. Tanpa harus memikirkan hal lain dan bersiap menyambut akhir pekan yang sudah lama aku tidak nikmati. Bahkan, aku tidak sempat berlari pagi lagi sejak pekerjaan ini mulai menyita seluruh waktuku. You can run but you can’t hide.
Aku percaya bahwa dalam hidup ini ada yang namanya life stepping. Ada suatu kondisi dimana Tuhan dan tanganNya bekerja dengan caranya sendiri untuk membuatmu percaya bahwa engkau akan mengalami imbas dari hal-hal yang telah engkau lakukan sebelumnya. Mungkin kedengarannya rumit. Memang begitulah adanya. Barangsiapa menanam angin bersiaplah menuai badai. Aku percaya bahwa apa yang aku hadapi hari ini adalah hasil dari apa yang aku tanam sebelumnya.
Aku memang belum menuai badai itu. aku hanya tahu aku sudah sampai pada masa itu. masa dimana angin akan berhembus kencang. Barangkali juga engkau pernah dengar peribahasa: semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Bila memang begitu, aku akan mencoba menikmatinya saja. Goin’ where the wind blow, kata Mr. BIG.
Aku masih melamun di meja kerjaku. Aku masih menatap lekat pada surat penugasan bersampul coklat ini. Aku akan berada di Negeri Atap Langit minggu depan. Hujan mengguyur kota ini seharian. Langit nampak murung, sementara jalanan mulai bergaris merah. This is Jakarta, baby. The place where you can find yourself going nowhere for hours. Aku merasa aku harus pulang.
Aku menyusuri jalanan berteman gerimis. Aku mampir di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantor. Aku memilih duduk di tempat yang sama dengan pilihan Dania. Ini adalah tempat favoritku. Aku bisa melihat romantika kota sehabis hujan mereda.
10 hari yang lalu, aku dan Dania duduk di tempat ini juga. Kami merayakan ulang tahunku berdua saja. Dania memberiku buku terbaru Lauren Weisberger, Revenge Wears Prada. Dania tahu bahwa aku mengalami saat-saat yang luar biasa dengan Anne Hathaway di film ‘The Devil Wears Prada’. Aku jatuh cinta saat itu juga pada Anne Hathaway dan ia rupanya memperhatikanku. Makanya, ia sengaja memberi buku itu agar aku bisa bermain dengan imajinasiku.
Aku masih ingat Dania malam itu. Ia mengenakan kupluk warna krem yang ia rajut sendiri. Aku hanya memilihkan warna benangnya saja. Beberapa hari kemudian, kupuluk itu sudah jadi dan selalu jadi mahkota kebanggaanya. Aku juga masih ingat percakapan kami waktu itu.
“Seberangi Chao Phraya untukku.”
“Maksud kamu?”
“Stop acting like that! Aku tahu aku bukan siapa-siapa lagi untuk kamu. Jadi, kamu boleh anggap itu permintaan terakhirku.”
“Dania. Aku..”
“Bim, i may not be your best. But, you will be mine.”
Dania kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa menahannya lagi. Sudah terlalu banyak rintangan menghadang diantara kami berdua. Dania memilih untuk menjauh ketika aku sudah terlalu lelah untuk menggapainya.
Aku masih belum mengerti maksud Dania untuk menyeberangi Chao Phraya. Aku tahu Dania sempat merencanakan sebuah perjalanan untuk kami berdua kesana. Perjalanan yang gagal karena Dania menikah seminggu sebelum tanggal keberangkatan. Malam itulah malam terakhir aku bertemu dengannya. Aku tidak menahannya untuk tinggal lebih lama bersamaku. Aku melihatnya menghilang, membaur, menyublim dalam deru kota.
*
Aku memang belum menuai badai itu. aku hanya tahu aku sudah sampai pada masa itu. masa dimana angin akan berhembus kencang. Barangkali juga engkau pernah dengar peribahasa: semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Bila memang begitu, aku akan mencoba menikmatinya saja. Goin’ where the wind blow, kata Mr. BIG.
Aku masih melamun di meja kerjaku. Aku masih menatap lekat pada surat penugasan bersampul coklat ini. Aku akan berada di Negeri Atap Langit minggu depan. Hujan mengguyur kota ini seharian. Langit nampak murung, sementara jalanan mulai bergaris merah. This is Jakarta, baby. The place where you can find yourself going nowhere for hours. Aku merasa aku harus pulang.
Aku menyusuri jalanan berteman gerimis. Aku mampir di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantor. Aku memilih duduk di tempat yang sama dengan pilihan Dania. Ini adalah tempat favoritku. Aku bisa melihat romantika kota sehabis hujan mereda.
10 hari yang lalu, aku dan Dania duduk di tempat ini juga. Kami merayakan ulang tahunku berdua saja. Dania memberiku buku terbaru Lauren Weisberger, Revenge Wears Prada. Dania tahu bahwa aku mengalami saat-saat yang luar biasa dengan Anne Hathaway di film ‘The Devil Wears Prada’. Aku jatuh cinta saat itu juga pada Anne Hathaway dan ia rupanya memperhatikanku. Makanya, ia sengaja memberi buku itu agar aku bisa bermain dengan imajinasiku.
Aku masih ingat Dania malam itu. Ia mengenakan kupluk warna krem yang ia rajut sendiri. Aku hanya memilihkan warna benangnya saja. Beberapa hari kemudian, kupuluk itu sudah jadi dan selalu jadi mahkota kebanggaanya. Aku juga masih ingat percakapan kami waktu itu.
“Seberangi Chao Phraya untukku.”
“Maksud kamu?”
“Stop acting like that! Aku tahu aku bukan siapa-siapa lagi untuk kamu. Jadi, kamu boleh anggap itu permintaan terakhirku.”
“Dania. Aku..”
“Bim, i may not be your best. But, you will be mine.”
Dania kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa menahannya lagi. Sudah terlalu banyak rintangan menghadang diantara kami berdua. Dania memilih untuk menjauh ketika aku sudah terlalu lelah untuk menggapainya.
Aku masih belum mengerti maksud Dania untuk menyeberangi Chao Phraya. Aku tahu Dania sempat merencanakan sebuah perjalanan untuk kami berdua kesana. Perjalanan yang gagal karena Dania menikah seminggu sebelum tanggal keberangkatan. Malam itulah malam terakhir aku bertemu dengannya. Aku tidak menahannya untuk tinggal lebih lama bersamaku. Aku melihatnya menghilang, membaur, menyublim dalam deru kota.
*
Aku terkejut ketika pramugari membangunkanku. Pesawat akan segera mendarat di Suvarnabhumi. Danita tersenyum melihat keterkejutanku. Aku selalu suka melihat tatapan istriku itu. Aku melihat cinta di sayu matanya. Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Aku akan tiba di Bangkok sebentar lagi. Dengan istriku, tentu saja. Cuaca cerah sudah menyambut kami. Katakan ini bulan madu pertama karena aku dan Danita tidak pernah punya banyak waktu berdua usai pernikahan seminggu lalu.
Danita masih menggenggam erat tanganku. Aku tidak tahu apakah Danita mampu merasakan gelisah di pikiranku. Danita memutuskan untuk cuti lalu ikut denganku. Padahal, aku sudah bilang aku tidak akan bisa menemaninya seharian penuh.
“Dari hotel nanti mau kemana lagi?”
“Terserah kamu. Aku ikut aja.”
“Lho, bukannya kamu udah bikin list mau kemana aja?”
“Ini hari Minggu, sayang. Aku mau lihat kota ini seperti apa adanya.”
“Besok aku kan kerja?”
“Nggak apa-apa. Aku bisa nyebrang Chao Phraya sendirian.”
Kami terdiam hingga keluar dari pesawat. Aku menemui Ratcha yang sudah menungguku di pintu kedatangan. Aku bertemu dengannya pada sebuah sesi training di Medan. Aku berjanji akan menemuinya bila berkunjung ke Bangkok. Kebetulan, Ratcha bekerja di otoritas Suvarnabhumi Airport. Jadi mudah saja bagiku untuk menemuinya. Kami hanya bertukar kabar singkat saja. Aku pun segera menemui Danita lalu bergegas menuju pintu keluar.
Danita tidak berkomentar apapun sepanjang perjalanan kereta menuju hotel. Aku tidak pernah bisa tahu apa yang ada di pikirannya. Dalam diam, pikiran kami saling beradu. Mencoba menafsir apa yang ada di dalamnya.
Kami meneruskan perjalanan menuju stasiun Nana di daerah Sukhumvit dimana hotel kami berada. Kami berjalan kaki tidak jauh. Aku mampir di kios 7Eleven membeli minum untuk Danita. Ia hanya tersenyum.
Kami segera masuk hotel dan beristirahat. Danita masih diam.
“What’s the matter, darl?” tanyaku sambil merapikan lemari.
“Aku nggak nyangka kita beneran bisa kesini.”
“Kamu sendiri yang cerita pengen banget kesini kan?”
“Makasih ya, udah kasih izin aku untuk ikut.”
“Danita...”
Tak lama kemudian Danita sudah tenggelam dalam pelukku. Aku merasakan hangat mengalir ke sekujur tubuhku. Malam sudah turun, kami segera mencari makan malam.
Kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang Sukhumvit Road. Aku melihat malam yang bergairah. Gadis malam mulai menunggu teman kencan, pedagang kaki lima yang bergurau dengan sesamanya, beberapa turis asing yang menawar barang, semua tak ada bedanya dengan Jakarta.
Aku tahu Danita menikmati malam ini. Beberapa obrolan kami diselingi manis senyumnya. Seakan kami lupa bahwa negeri ini masih diguncang prahara. Demonstran kaus kuning belum mau menurunkan tensi untuk menurunkan Yingluck. Untuk pertama kalinya, kami menghabiskan waktu berdua terlama sejak pernikahan kami. Termasuk malam penuh cinta pertama kami di Bangkok.
Aku harus bekerja hari ini. Aku harus menghadiri simposium di kantor regional yang terletak di Vibhavadi Road, dekat Chatuchak Weekend Market. Beruntung, Danita tidak gila belanja sehingga kami tidak perlu pergi ke pasar itu. Aku baru sadar bahwa lokasinya lumayan jauh dari Sukhumvit.
“Kamu pergi aja, Bim. Aku bisa sendiri kok.”
Aku meninggalkan Danita dengan keyakinan penuh bahwa ia lebih dari mampu untuk mengisi waktunya disini. Aku mencium keningnya dan segera berangkat.
Danita masih menggenggam erat tanganku. Aku tidak tahu apakah Danita mampu merasakan gelisah di pikiranku. Danita memutuskan untuk cuti lalu ikut denganku. Padahal, aku sudah bilang aku tidak akan bisa menemaninya seharian penuh.
“Dari hotel nanti mau kemana lagi?”
“Terserah kamu. Aku ikut aja.”
“Lho, bukannya kamu udah bikin list mau kemana aja?”
“Ini hari Minggu, sayang. Aku mau lihat kota ini seperti apa adanya.”
“Besok aku kan kerja?”
“Nggak apa-apa. Aku bisa nyebrang Chao Phraya sendirian.”
Kami terdiam hingga keluar dari pesawat. Aku menemui Ratcha yang sudah menungguku di pintu kedatangan. Aku bertemu dengannya pada sebuah sesi training di Medan. Aku berjanji akan menemuinya bila berkunjung ke Bangkok. Kebetulan, Ratcha bekerja di otoritas Suvarnabhumi Airport. Jadi mudah saja bagiku untuk menemuinya. Kami hanya bertukar kabar singkat saja. Aku pun segera menemui Danita lalu bergegas menuju pintu keluar.
Danita tidak berkomentar apapun sepanjang perjalanan kereta menuju hotel. Aku tidak pernah bisa tahu apa yang ada di pikirannya. Dalam diam, pikiran kami saling beradu. Mencoba menafsir apa yang ada di dalamnya.
Kami meneruskan perjalanan menuju stasiun Nana di daerah Sukhumvit dimana hotel kami berada. Kami berjalan kaki tidak jauh. Aku mampir di kios 7Eleven membeli minum untuk Danita. Ia hanya tersenyum.
Kami segera masuk hotel dan beristirahat. Danita masih diam.
“What’s the matter, darl?” tanyaku sambil merapikan lemari.
“Aku nggak nyangka kita beneran bisa kesini.”
“Kamu sendiri yang cerita pengen banget kesini kan?”
“Makasih ya, udah kasih izin aku untuk ikut.”
“Danita...”
Tak lama kemudian Danita sudah tenggelam dalam pelukku. Aku merasakan hangat mengalir ke sekujur tubuhku. Malam sudah turun, kami segera mencari makan malam.
Kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang Sukhumvit Road. Aku melihat malam yang bergairah. Gadis malam mulai menunggu teman kencan, pedagang kaki lima yang bergurau dengan sesamanya, beberapa turis asing yang menawar barang, semua tak ada bedanya dengan Jakarta.
Aku tahu Danita menikmati malam ini. Beberapa obrolan kami diselingi manis senyumnya. Seakan kami lupa bahwa negeri ini masih diguncang prahara. Demonstran kaus kuning belum mau menurunkan tensi untuk menurunkan Yingluck. Untuk pertama kalinya, kami menghabiskan waktu berdua terlama sejak pernikahan kami. Termasuk malam penuh cinta pertama kami di Bangkok.
Aku harus bekerja hari ini. Aku harus menghadiri simposium di kantor regional yang terletak di Vibhavadi Road, dekat Chatuchak Weekend Market. Beruntung, Danita tidak gila belanja sehingga kami tidak perlu pergi ke pasar itu. Aku baru sadar bahwa lokasinya lumayan jauh dari Sukhumvit.
“Kamu pergi aja, Bim. Aku bisa sendiri kok.”
Aku meninggalkan Danita dengan keyakinan penuh bahwa ia lebih dari mampu untuk mengisi waktunya disini. Aku mencium keningnya dan segera berangkat.
*
Bimo sudah pergi. Aku kini sendiri. Aku bisa saja menghubungi Nadia, temanku yang juga bekerja disini. Aku tidak ingin Bimo khawatir. Aku pun memang sempat khawatir dengan keadaan Bangkok akhir-akhir ini. Tapi aku tahu bahwa kota ini adalah kota yang ramah untuk wisatawan. Kalau tidak percaya, sila kau lihat sendiri stiker di pos pariwisata yang ada sepanjang Sukhumvit. Tertulis kota ini adalah pilihan pertama destinasi wisata Asia 2013 versi Tripadvisor. Masih tidak percaya?
Aku berjalan-jalan menikmati pagi di kota ini. Aku membawa peta rute BTS Skytrain dan travel map yang tersedia di lobi hotel. Aku kembali ke stasiun Nana. Aku mencari rute kereta menuju Chao Phraya. Entah mengapa sejak Dania bercerita soal keinginannya menyusuri sungai itu, aku jadi tertarik.
Kini, semua orang bisa pergi ke tempat yang mereka inginkan dengan mudah. Banyak tiket pesawat murah. Lagipula, backpacking kini sudah jadi trending topic yang mengglobal. Hanya saja, aku tidak pernah bermimpi bisa melihat belahan dunia lain. Barangkali, karena aku dibesarkan di kampung yang jauh dari hirup pikuk kota.
Kini, aku sudah berdiri di depan pelabuhan kecil Chao Phraya. Banyak yang menawarkan jasa tur perahu. Ada banyak pilihan paket tur. Aku hanya mengamati saja sambil mengambil foto. Banyak turis asal Jepang dan Korea yang mengantri. Aku rasa tidak salah bisa kota ini jadi pilihan untuk menikmati hidup.
Aku berjalan-jalan di sekitar pelabuhan kecil itu saja. Hari mulai meninggi. Bimo masih sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin dia jadi presentasi hari ini. Foto profilnya sudah diganti dengan foto saat dia sedang berdiri di depan mimbar. Hanya saja, dia belum balas pesan singkatku.
Aku belum lapar hingga memutuskan untuk kembali naik ke stasiun Saphan Taksin lalu menuju kota. Aku melihat berita di televisi, demonstran memulai lagi aksi protes dan bergerak menuju kawasan perkantoran pemerintah. Apa peduliku? Aku bergegas menuju Central World.
“Nit, kamu lagi jalan kemana? Aku tadi dapet briefing soal keamanan kota. Aku kirim map.”
Aku selalu suka cara Bimo mengkhawatirkanku. Aku selalu senang saat tahu Bimo selalu ada untukku. Aku tersenyum sendiri dalam Skytrain yang tidak terlalu penuh. Aku sedikit ragu dengan keputusanku untuk pergi ke Central World karena diseberangnya ada Kantor Polisi Negara yang akan jadi tujuan demonstrasi hari ini. Seumur hidup aku belum pernah mengalami langsung aksi demonstrasi. Mungkin, ini akan jadi pengalaman pertamaku.
Omong-omong, sepertinya beberapa waktu lagi Raja akan berulang tahun, atau akan ada perayaan untuk Raja, apalah itu aku belum tahu. Aku melihat begitu banyak foto raja di gedung-gedung perkantoran maupun papan reklame. Kalau benar Raja akan merayakan harinya, berarti intensitas demo akan sedikit berkurang, pikirku.
Benar saja, tidak ada demonstrasi di kantor polisi. Aku pun bisa berjalan tenang dan duduk di pelataran Central World. Andai saja Bimo ada disini.
Seharian ini aku jalan-jalan ke mall besar disini. Rasanya tidak berbeda dengan di Jakarta. Lebih baik aku kembali ke hotel. Aku belum mau menghubungi Nadia. Aku tidak ingin punya jadwal yang tersusun rapi disini. Aku hanya ingin menikmati diriku saja, walau sebatas berbaring nyaman di hotel.
*
Aku pulang lebih cepat dari jadwal. Presentasiku sudah selesai sehingga sepertiga urusanku disini otomatis lancar begitu saja. Aku ingin segera bertemu Danita. Aku pulang bersama beberapa orang temanku yang juga ekspatriat disini. Mereka tidak perlu khawatir dengan keamanan kota ini. Lihat saja, biarpun demonstrasi berjalan tetapi life goes on, kata mereka. Betul juga, tidak seperti di Jakarta. Demonstrasi disini tidak mengganggu sendi kehidupan lainnya, terutama bisnis.
Skytrain yang kunaiki melintasi lokasi demonstrasi. Aku bisa melihat wajah-wajah yang optimis. Aku bisa melihat mereka merindukan perubahan. Binar mata mereka menyiratkan bahwa perjuangan ini akan belum akan berakhir. Ah, aku rindu masa-masa jadi pendemo rektor.
Aku baru saja turun dari kereta ketika sebuah pesan masuk di ponselku.
Dear Sir,
Due to security reason, we urged to relocating you. Your flight will be ready within 2 hours.
Security Dept.
McGill Associate
Bangkok, 5 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar