Siang ini saya ber-YM dengan seorang kawan lama dari Jogja. Banyak yang kita bicarakan mulai dari Magelang sampai rasa cinta tanah air. Untuk yang pertama disebutkan, tak usah banyak saya ceritakan, karena Magelang tetaplah Magelang, ada setangkup sunyi dan rindu disana. Namun yang menjadi tanda tanya bagi saya adalah Cinta Tanah Air.
Waktu SD, Ibu Guru Dedeh sering berkata bahwa kita harus mencintai tanah air dengan cara apapun. Setiap ulangan PPKN kata-kata itu selalu ada. Dan sekarang, kata-kata itu masih terngiang ditelingaku*. Saya jadi melihat diri saya sendiri, ketika Indonesia masih dengan rupa yang selama ini terpajang. Saya tidak tahu apa saya masih punya rasa keindonesiaan, padahal saya tidak juga kebarat-baratan (kecuali jawa barat). Apakah saya malu menjadi orang Indonesia**? Bisa jadi. Kalaupun mau jadi warga negara lain, saya pilih jadi warga Finlandia atau Spanyol. Kenapa, Finlandia,dingin, Kovalainen, Espoo, Raikonnen, Hakkinen, Hankonen. Spanyol, el matador, la isla bonita, habla el corazon, karena bapak saya pernah ke Spanyol. Like father, like son, saya juga ingin pergi kesana, menonton van der Vaart yang mungkin bergabung dengan Real Madrid mengalahkan Barcelona hingga pelatih baru mereka, Pep Guardiola lari terbirit-birit menghindari kejaran Wartawan Harian Marca.
Balik lagi soal keindonesiaan. Aku bingung. Nonton A1 GP, Indonesia gak pernah menang(minimal 10 besar gituh), MotoGP, Doni Tata selalu tertinggal di belakang (kalo nggak yang paling belakang), saya tak tahu Olmpiade 2008 ini Indonesia bakal dapet apa. Emas? atau sekedar receh (perunggu).
Aku masih tetap jadi orang Indonesia, apa karena kebetulan takdir Tuhan menempatkanku lahir di Indonesia sehingga aku disebut orang Indonesia (walau tanpa perasaan cinta tanah air). Mungkin kalau tanggal 17 nanti aku merinding ketika mendengar Indonesia Raya, aku masih cinta tanah air ini, Indonesia saja!.
Bukit Pakar Timur 100, Bandung, 6 Agustus 2008, 14: 18
* Ikke Nurjanah, Terlena
** Taufik Ismail, "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", dicounter oleh H Rosihan Anwar, "Aku Tidak Malu jadi Orang Indonesia"
Waktu SD, Ibu Guru Dedeh sering berkata bahwa kita harus mencintai tanah air dengan cara apapun. Setiap ulangan PPKN kata-kata itu selalu ada. Dan sekarang, kata-kata itu masih terngiang ditelingaku*. Saya jadi melihat diri saya sendiri, ketika Indonesia masih dengan rupa yang selama ini terpajang. Saya tidak tahu apa saya masih punya rasa keindonesiaan, padahal saya tidak juga kebarat-baratan (kecuali jawa barat). Apakah saya malu menjadi orang Indonesia**? Bisa jadi. Kalaupun mau jadi warga negara lain, saya pilih jadi warga Finlandia atau Spanyol. Kenapa, Finlandia,dingin, Kovalainen, Espoo, Raikonnen, Hakkinen, Hankonen. Spanyol, el matador, la isla bonita, habla el corazon, karena bapak saya pernah ke Spanyol. Like father, like son, saya juga ingin pergi kesana, menonton van der Vaart yang mungkin bergabung dengan Real Madrid mengalahkan Barcelona hingga pelatih baru mereka, Pep Guardiola lari terbirit-birit menghindari kejaran Wartawan Harian Marca.
Balik lagi soal keindonesiaan. Aku bingung. Nonton A1 GP, Indonesia gak pernah menang(minimal 10 besar gituh), MotoGP, Doni Tata selalu tertinggal di belakang (kalo nggak yang paling belakang), saya tak tahu Olmpiade 2008 ini Indonesia bakal dapet apa. Emas? atau sekedar receh (perunggu).
Aku masih tetap jadi orang Indonesia, apa karena kebetulan takdir Tuhan menempatkanku lahir di Indonesia sehingga aku disebut orang Indonesia (walau tanpa perasaan cinta tanah air). Mungkin kalau tanggal 17 nanti aku merinding ketika mendengar Indonesia Raya, aku masih cinta tanah air ini, Indonesia saja!.
Bukit Pakar Timur 100, Bandung, 6 Agustus 2008, 14: 18
* Ikke Nurjanah, Terlena
** Taufik Ismail, "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", dicounter oleh H Rosihan Anwar, "Aku Tidak Malu jadi Orang Indonesia"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar