Tak ada yang berbeda dengan sebelumnya. Itulah yang perempuan itu katakan pada dirinya. Ia menyadari semuanya. Semua yang telah ia lalui bersama. Entah dengan dirinya, teman, sahabat, bahkan dengan dia yang pernah mengisi hari-harinya. Mulanya biasa saja hingga hari yang mendung itu tiba dan mengandaskan semuanya. Adalah suatu kewajaran bila ia memilih pilihannya sendiri walau harus meninggalkan semuanya. Semuanya. Tak terkecuali. Ia harus kehilangan cinta, keluarga, dan semua yang ia punya hingga tersisa hanya dirinya saja dan Tuhan. Ia tidak banyak berharap akan sesuatu. Ia tidak ingin lagi memiliki harapan. Harapan yang bercampur perasaan. Perasaan yang bisa menipu.
There a times when i believe in you... (Michael Learns To Rock, Nothing to Lose)Ia masih berada dalam bis yang membawanya pada sebuah babak baru petualangan hidupnya. Telah ia tinggalkan semuanya. Kota kelahiran, warung makan paling enak, peristirahatan terindah, dan mimpi-mimpi masa kecil. Ia menuju suatu dunia baru. Dunia yang tentu akan dirangkainya bagai untaian kata-kata terindah dalam puisi Shakespeare. Ia masih disitu, menatap jendela dengan perasaan yang rawan kala melintasi pepohonan di jalan yang membentang ke arah timur.
Adakah yang salah dengan diriku? Apakah Tuhan sedang murka dan menunjukkan amarahnya padaku? Atau ini hanya ujian saja? Kalau memang begitu berarti Tuhan masih sayang padaku. Perempuan itu terus berkata pada dirinya. Andaikan ia bisa bertatap muka pada sosok yang dianggap sebagai Tuhan itu, tentu ia akan menanyakan itu semua. Ia hanya menjalani hidup saja. Tuhan mungkin terlibat dalam setiap kisahnya dan mungkin perempuan itu telah menyadarinya.
Ia masih bertanya, siapakah dia? Dia yang merindukanku di hadapan Merbabu. Tuhan, kalau memang engkau tahu, tolong beri tahu aku? Aku juga merindunya. Aku merindukannya. Aku memang belum tahu siapa dia. Aku hanya pernah mengenal yang sepertinya. Yang pernah menungguku, dan hanya menungguku dengan hamparan ladang kerinduan yang ia tanami dengan benih-benih kerinduannya.
What i’m gonna do, if we lost this fire... (Bee Gees, Love You Inside Out)
Dalam hidupnya perempuan itu telah merasakan banyak kehilangan hingga lupa rasanya kecewa karena kehilangan. I’m nothing that comes from nothing and will become nothing. Hanya itu yang ia catat dalam diarynya pada suatu malam yang sunyi setelah semuanya hilang. Ia hampir tidak tahu lagi rasanya kecewa. Ia hanya bisa pasrah. Lelaki terindah itu yang meninggalkan serpihan kenangan bersama pun tidak bisa membawanya kembali. Perempuan itu teringat kembali pada lelaki itu. Lelaki yang senang bersenandung "...i started a joke.." (Bee Gees, I Started a Joke). Lelaki itu memang melankolis tapi tidak cengeng. Perlahan ia mulai membuka dan menyapu debu-debu dalam kenangannya. Ia teringat pada lelaki itu, yang sengaja berlari dan menunggunya di halte bis itu. Ia ingat bagaimana lelaki itu meyakinkannya. Ia ingat ketika lelaki itu menemaninya dalam sore yang gerimis itu. Ia masih ingat pada bubur yang ia bawa. Ia ingat semuanya
Kalau sudah begini biasanya perempuan itu merasa tenang kembali. Ia memang masih terkenang pada lelaki itu. Ia pun tahu tidak sulit untuk menemuinya. Lelaki itu masih ada di kota yang ditinggalkannya. Ia hanya ingin mengenangnya saja tidak lebih. Dalam heningnya malam dan deru mesin bis, terlintas dalam benaknya, " ...ada yang ingin kusampaikan padanya.. tapi biarlah angin malam ini yang membawanya.."
*****
Kuharap kau disisiku bila hatiku merindu.. Tapi.. kau takkan pernah tiba jua... (Atiek CB, Kau Ada Di Mana)
Seorang lelaki menatap kosong pada layar laptopnya. Ia tidak menatap apa-apa kecuali kenangan tentangnya. Tentang perempuan yang menghilang kala rindu menghadang. Perempuan yang membangunkan mimpi panjangnya. Perempuan yang membuatnya mendengarkan lagu itu lagi. Ia tidak menyalahkan keadaan yang membuatnya demikian. Hanya, gerimis yang turun di balik tirai ruang kerjanya yang membangkitkan lagi kenangan padanya.
Oh my heart, wont believe that you have left me... (Bee Gees, Don’t Forget to Remember)
Lagu itu mengalun pelan seakan berbisik pada telinganya. Ia tidak menyalahkan perempuan itu. Perempuan itu pergi dengan impiannya sendiri dan akan membangun hidupnya sendiri. Lelaki itu merindukan perempuan itu yang selalu bertanya padanya tentang pilihan. Lelaki itu bukan siapa-siapa tetapi mungkin ia berharga bagi perempuan itu. Lelaki itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika perempuan itu pergi. Setiap orang adalah untuk dirinya sendiri. Begitulah katanya, sehingga ketika perempuan itu pergi ia hanya bisa membiarkannya. Dalam harapnya, mungkin perempuan itu kembali walau sekedar hanya untuk bertanya padanya.
Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan sampai juga pada tahap hidupnya yang sekarang ini. Ia berhasil membunuh perasaan yang tumbuh kala mimpi panjangnya berakhir. Walau perasaan itu terus tumbuh dan berkembang ia terus memaksa untuk membunuhnya. Namun, ketika ia rasa percuma, ia serahkan supaya waktu saja yang membunuhnya.
Sepanjang perjalanan pulang, lelaki itu sudah bisa melupakan kenangan yang dibawa gerimis itu. Malam terasa mencekam. Ia berjalan ditemani temaram lampu malam. Angin malam mulai berhembus. Ia hanya tersenyum sambil terus berjalan.
Oh angin malam, bawalah daku, kepadanya... (Broery Marantika, Angin Malam)
Bukit Pakar Timur 100, 29 Agustus 2008, 16.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar