Jumat, 31 Maret 2017

Outliers


Outliers menarik perhatian saya dalam sebuah wawancara di radio medio 2009 lalu. Acara itu dilangsungkan dalam rangka penerbitan buku sekaligus promosi. Banyak cerita yang menggugah kesadaran saya. Bahwa orang sukses itu memang sudah diciptakan dari sananya. Ada beberapa analisis yang bisa membuktikan hal itu. Pada bab-bab awal, Malcolm Gladwell menjelaskan pembuktian saintifiknya.

Buku ini menceritakan bagaimana para “Outliers” membentuk diri mereka. Malcolm Gladwell ingin pertanyaan inti dari buku ini: “what makes high-achievers different?”. Dia menjawab bahwa kita terlalu menyimpan perhatian penuh pada kebiasaan atau bagaimana menjadi orang yang sukses. Kita lupa untuk melihat hal-hal lain dibelakang kesuksesan dan keberhasilan para “Outliers”. Misalnya saja, pada darimana mereka berasal, bagaimana kultur dan kebiasaan mereka, keadaan keluarga mereka, soal keturunan, dan lain-lain. Sebagai contoh, Gladwell memberi penjelasan tentang bagaimana menjadi seorang pemain sepakbola terbaik, mengapa orang Asia hebat dalam bidang matematika, dan mengapa The Beatles menjadi band terbaik sepanjang masa.

Selain latihan yang intens, kultur, dan kebiasaan, ada satu hal lain yang coba dikuak oleh Outliers ini. Satu hal itu adalah kesempatan. Ada banyak contoh tentang mengapa generasi yang lahir pada tahun tertentu memiliki penghidupan yang lebih baik di masa pasca depresi di Amerika Serikat.
Ada beberapa catatan khusus tentang bagaimana Bill Gates dan The Beatles menjadi masterpiece abad ke-20. Selama ini, kita hanya tahu bahwa Bill Gates adalah seorang mahasiswa yang tidak menyelesaikan kuliahnya dan kemudian mendirikan Microsoft. Selama ini kita dibuai dengan kisah bahwa kesuksesan tidak hanya melulu dari bangku kuliah. Saya tidak meragukan pendapat itu hanya saja perlu dicermati bahwa Bill Gates sudah melakukan apa yang dipelajarinya di masa kuliah selama 10.000 jam pada masa sekolahnya.
Semasa sekolah, Bill Gates muda sering menghabiskan waktunya dengan komputer yang bisa dipinjamnya seusai sekolah bahkan hingga larut malam. Selama itu, ia lebih banyak bereksperimen dengan membuat berbagai program komputer. Maka, ketika ia kuliah dan melihat apa yang ditawarkan oleh kampusnya adalah sesuatu yang sudah dikerjakannya selama kurang lebih 10.000 jam lamanya kemudian ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Tidak mungkin Microsoft akan menjadi perusahaan besar tanpa skill Bill Gates yang sudah terlatih bahkan sebelum kuliah.
Sekali lagi, kita selalu dibuai oleh mimpi Bill Gates, bahwa tidak selalu anak kuliahan yang akan meraih kesuksesan. Tetapi, alangkah baiknya bila kita melihat kembali apa yang sudah Bill Gates lakukan sehingga ia mengambil keputusan yang berani untuk meninggalkan kampusnya. Seringkali kita generasi muda ini terjebak hanya pada hasilnya, bukan pada proses 10.000 jam yang membentuk Bill Gates menjadi pribadi yang utuh di bisnis pemrograman komputer.

Tentang The Beatles, band asal Liverpool, Inggris ini telah mengalami hal yang serupa dengan Bill Gates. The Beatles mendapatkan pengalaman 10.000 jamnya di Hamburg, Jerman. Tampil dari satu klub ke klub lainnya selama 8 jam semalam telah membentuk mereka menjadi band legendaris dunia. Melalui masa-masa panggung di Hamburg, The Beatles berlatih dan menempa diri mereka untuk memikat pengunjung. Mereka harus memainkan musik mereka di hadapan audiens yang belum paham benar tentang musik yang mereka bawakan. Dengan jam terbang yang semakin tinggi, The Beatles berhasil memikat banyak orang di Hamburg dan ketika akhirnya mereka mendaki kesuksesan
di berbagai belahan dunia, mereka sudah memiliki bekal untuk itu: pengalaman panggung 10.000 jam.

Simak pula tentang bagaimana Korean Air (dahulu Korean Air Lines) membuat transformasi pada sisi operasinya dengan mengandalkan warisan kebudayaan mereka. Tentang bagaimana budaya hormat dan budaya kerja menjadi salah satu transformasi yang penting bagi kelangsungan usaha mereka. Perlu dicatat, mereka melakukan semua itu setelah mengalami krisis keselamatan.

Last but not least, Malcolm Gladwell turut memberi contoh kecil tentang bagaimana seorang Outliers itu. Ia adalah produk kesempatan, takdir, warisan, dan berbagai hal yang kelihatannya natural dimiliki oleh seseorang. Ia mencontohkan dirinya sendiri sebagai keturunan dari nenek moyangnya yang punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan menikah dengan orang yang pantas pada kurun waktu yang menguntungkan.
Buku ini baru saya baca tiga tahun setelah acara radio itu tayang dan baru menamatkannya bulan ini. Saya rasa tidak ada istilah terlambat. Karena bagaimanapun isi buku ini tidak berubah atau mengalami revisi. Malcolm Gladwell menulis buku lainnya guna melengkapi Outliers, seperti The Tipping Point, Blink, What the Dog Saw. Gladwell mengajak pembacanya pada suatu pengalaman yang baru untuk melakukan self-motivation tanpa harus menggurui.

Judul      : Outliers
Penulis   : Malcolm Gladwell
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun     : 2011
Tebal      : 339 hal.
Genre     : Psikologi Sosial


Cipayung, 31 Maret 2017.
Ditulis kembali dengan penambahan dari tulisan tanggal 13 Januari 2013.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...