Selasa, 31 Januari 2012

Surat Buat Lelly

Selamat malam, Lelly

Apa kabar? Rasanya baru kemarin kita saling menyapa di kandang burung virtual itu dan entah tiba-tiba semuanya berlalu begitu saja hingga tanpa terasa akhir pekan segera menjelang. Menyambut suka cita bagi para pekerja macam kita ini. Bukankah itu hanya satu hal terbaik yang selalu datang menghampiri kita dibandingkan dengan segala ketidakpastian yang telah kita jalani selama 5 hari terkutuk itu? Ah, lupakan saja. Beberapa menit lagi semua itu hanya tinggal sisa waktu belaka. Biar hanya waktu saja yang memiliki masa lalu.

Apa rencanamu untuk akhir pekan ini? Menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta sambil menamatkan Indonesia Mengajar dan Antologi Rasa sekaligus menumpuk segepok penasaran karena Manusia Setengah Salmon itu? Atau mungkin menghadiri undangan dari sahabat-sahabat lama untuk sekedar bertukar cerita bahagia. Entah nanti, aku mungkin juga akan mengajakmu ke toko buku itu suatu hari di akhir pekan yang entah kapan. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan tentang biografi atas namamu itu.

Aku dengar kemarin Lelly sempat kembali ke kampus dan merasakan suatu gairah luar biasa yang tiba-tiba hinggap. Barangkali, ritme kehidupan kampus memang merindukan tuannya yang telah lama hilang. Mungkin juga ia berharap suatu saat tuannya kan kembali. Meretas jarak, menempuh batas horison terasing hingga ujung waktu.

Lelly, tiba-tiba saja aku merasa harus menanyakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting namun terasa mengganggu. Terus terang saja, sekali lagi aku tegaskan bahwa itu pernah sangat mengganggu. Maaf, jangan dulu tersinggung. Tolong jangan salah menafsir makna. Sungguh pun betul bahwa sesuatu itu sangat mengganggu isi kepala ini yang mendadak dipenuhi satu pertanyaan: apakah perlu sepagi itu hanya untuk meyakinkanku untuk jadi seorang penulis hanya karena punya sebuah blog? 



Lelly, mungkin itu buatmu hanya sekedar pertanyaan belaka yang segera tergantikan dengan ribuan tanya lainnya tentang dunia yang semakin tua dan penuh kata-kata hingga Twitter pun tak mau menampung lebih dari 140 karakter alfabet. Tetapi, lain halnya bagiku. Perlu beberapa waktu untuk mencerna tanya yang terucap. Tentu itu tak seruwet menjawab pertanyaan kaum oposan di negeri autopilot ini. Namun tetap saja aku masih perlu memikirkannya barang sehari dua hari.

Aku masih tidak percaya bahwa pertanyaan itu terlontar di pagi buta. Kamu sudah bangun sepagi itu sedangkan aku tentu masih tenggelam dan terbuai alunan indah mimpi semalam. Sementara, Bella mungkin saja baru bersiap untuk pulang usai berpentas di lantai dansa. Aku hanya membayangkan apa yang telah terjadi didalam kepalamu pagi itu. Apakah ada gejolak diantara jutaan sambungan neuron yang mengharuskanmu menanyakan hal itu kepadaku? Atau mungkin saja, tanya itu terucap begitu saja saat kamu sedang asyiknya membaca tulisan-tulisan di blog selendang warna.

Andainya pun begitu, sungguh aku sangat bangga. Punya pengunjung tetap yang minimal mau baca tulisan yang selalu terbit menjelang deadline. Kadang penulisnya sendiri bingung karena tidak merasa maksimal dan belum sanggup menempatkan gairah rasa diantara rentetan kata-kata dalam tulisan itu. Pun, ketika kata-kata tak sanggup lagi menerjemahkan makna yang terselip diantara bahasa yang membentuk semacam kesunyian di ujung cerita.

Sungguhpun demikian, aku sangat merasa belum layak untuk jadi penulis kondang. Toh, setiap aku menuliskan sesuatu untuk @sajak_cinta dan @fiksimini, belum sekalipun twit punyaku itu di approve oleh si Admin. Padahal, seperti Hasan Aspahani (@haspahani) bilang, twitter itu cuma media dan kata-kata adalah esensinya. Dan aku semakin sadar bahwa aku belum punya kekuatan untuk merangkai barang satu dua kata untuk jadi kalimat pendek dengan makna yang dalam. Maka, jangan heran bila suatu saat nanti karya sastra yang terbit adalah hasil twit dari penulisnya. Suatu realita yang benar-benar terjadi dalam jagad sastra kita. Semoga membawa hasil yang positif bagi penikmatnya, macam aku dan kamu.

Perlu Lelly, tahu juga bahwa surat ini ditulis sambil memutar lagu Seasons in The Sun dari Westlife. Suatu lagu yang selalu mengingatkanku pada kenangan-kenangan masa SMP. Tentu Lelly masih ingat ruang OSIS tempat kita biasa berbagi cerita sambil sesekali menertawakan kebodohan kita sendiri karena tidak pernah berani mengungkapkan sesuatu yang kata orang itu namanya “Cinta”.

Apapun itu, izinkanlah aku mengucap terima kasih atas perhatian Lelly selama ini. Seorang penulis, amatiran sekalipun, sungguh akan merasakan suatu kenikmatan tersendiri bila ternyata tulisan-tulisan yang dibuatnya mampu menemukan pembacanya. Lelly, semoga harapan dalam tanya itu selalu mengingatkanku bahwa seseorang entah dimana akan  selalu menunggu tulisan-tulisan buah pikiran kepalaku ini. Sebelum imajinasi benar-benar mati. Sebelum dilarang bernyanyi di kamar mandi.


Peluk hangat,



Pharmindo-Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 2-18 Januari 2011.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmm.. saya mencium aroma masa lalu yang menguar begitu kuatnya.. menerobos pori-pori dimensi waktu..

surat cinta ini halus sekali, seakan khawatir memutus tali yang terjalin pelan dan hati-hati..

tapi nyatanya ada yang masih terselip di dalam sana ya? sesuatu yang tidak dimengerti sebagian orang yang dengan mudahnya mengatakan, 'waktu akan mengubah segalanya'..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...