Minggu, 30 April 2017

Jazz, Parfum, & Insiden: sebuah catatan

Barangkali ideologi memang belum mati. Namun kalau masih hidup pun sebaiknya ideologi dibunuh saja. Terlalu banyak omong kosong dalam perbincangan ideologis - yang kita perlukan adalah kebahagiaan yang konkret... - Hal. 170 

Sumber gambar: www.goodreads.com

Barangkali, pembaca sudah maklum bahwa buku ini adalah bagian dari Trilogi Insiden. Barangkali juga pembaca sudah mafhum bahwa tidak ada hubungan antara Jazz, Parfum, dan Insiden. Barangkali saja. Namun, di tangan Seno Gumira Ajidarma, Jazz telah berubah bukan hanya menjadi sekedar aliran musik belaka. Jazz adalah sebuah romantisme bagi sebuah roman metropolitan.

Perlu diakui bahwa karya monumental kesekian ini memperlihatkan sisi kehidupan jurnalistik SGA. SGA menempuh jalannya sendiri dalam menyuarakan ketidakadilan dan represivitas Orde Baru. SGA membalut romantisme ala metropolitan dengan unsur musik jazz dan parfum sebagai sebuah metafora untuk sensualitas kaum perempuan.

Seperti telah dapat dibaca pada "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara", pada roman metropolitan ini ada pertentangan antara fakta dengan fiksi. Pengemasan keduanya dalam cerpen dan roman telah menghadirkan perbedaan yang signifikan. Betapa tuntutan mengenai fakta dalam fiksi akan lebih tinggi dalam sebuah cerita pendek. 

Berbeda dengan apa yang terjadi pada dua unsur tersebut (fakta dan fiksi) dalam sebuah roman. Pertama, pembaca bisa menganggap bahwa apa yang disebutkan fakta dalam fiksi di sebuah roman adalah sebagai tulisan/bualan penulisnya supaya romannya bisa punya cerita yang panjang. Kedua, kalaupun ada fakta dalam fiksi sebuah roman, maka itu bisa saja sebuah kebetulan supaya cerita antar bab bisa saling berhubungan menuju sebuah ending.

Tentu saja, kedua pendapat diatas masih terlalu subjektif dan lahir hanya dari seorang penulis dadakan sekelas saya. Pada proses pembacaan kumpulan cerpen 'Saksi Mata' (terbit kembali di Trilogi Insiden) saya sebagai pembaca awam cenderung menuntut keabsahan dari catatan-catatan jurnalistik yang dimuatnya. Hal ini tentu berbeda ketika saya menghadapi 'Jazz, Parfum, & Insiden' dimana banyak sekali catatan jurnalistik yang dimuat dari berbagai sumber. Saya cenderung masa bodoh dengan catatan mana yang benar-benar bisa dipercaya maupun dengan catatan mana yang isinya hanya kibul belaka.

Namun, siapapun yang mulai membaca roman ini agaknya tidaklah perlu mengkaitkan antara parfum dengan bau mayat-mayat yang bergelimpangan usai terdengar suara tembakan. Tidak ada kaitannya sama sekali atau malah jalan pikiran saya saja yang menghubungkan mereka. Setidaknya, pembaca tidak akan kehilangan ketokohan Sukab maupun Alina. Pembaca punya banyak alternatif jalan cerita tentang peran Sukab dan Alina dalam roman ini. Sukab sudah jelas disebut dalam cerita, namun Alina hanya muncul utuh dalam ending cerita: sebuah surat. Untuk itu, sila pembaca yang budiman menakar sendiri roman ini secara utuh, tentang seseorang yang selalu mengenakan Walkman, tenggelam dalam jazz dan harum parfum, dan membaca insiden yang berdarah.

Judul           : Jazz, Parfum, & Insiden
Penulis        : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit      : Bentang
Tahun          : 2004
Tebal           : 252 hal.
Genre          : Sastra Indonesia-Roman

Cipayung, 27 April 2017.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...