Sabtu, 29 April 2017

Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (2)

Sumber gambar: www.goodreads.com

Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar – Hal. 133

Ini adalah tulisan kedua tentang buku ini. Tulisan pertama di blog ini terbit pada bulan November 2015. Saya merasa perlu menulis tentang buku ini sekali lagi. Untuk keperluan penjelasan antara fakta dan fiksi yang menurut saya belum diulas pada tulisan pertama.

‘Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara’ adalah Trilogi Insiden bersama ‘Saksi Mata’ (kumpulan cerpen) dan ‘Jazz, Parfum, dan Insiden’ (roman). Ketiganya memuat fakta seputar Insiden Dili yang ditabukan media massa semasa Orde Baru. Selanjutnya, pertarungan antara fiksi dan fakta atau fakta dalam fiksi akan menjadi pertarungan yang dibahas penulisnya. Ketiga buku terbit dimasa kekuasaan Orde Baru sehingga ketiganya tidak dapat menghindar untuk tidak terlibat dalam persoalan politik kekuasaan, secara praktis dan konkret.

Buku ini banyak bercerita tentang pergulatan SGA dengan perjalanan jurnalismenya. Terutama ketika meliput tentang Insiden Dili. Sebagai penulis fiksi, SGA tidak bermaksud menulis fakta-fakta tentang fiksinya sendiri untuk memperkuat fiksi tersebut. Bahkan juka kemudian ada pembacaan intertekstual antara fakta dan fiksi yang ditulisnya, maka itu semua adalah diluar kekuasaan SGA.

SGA menulis tentang bagaimana ia memposisikan cerpen dalam sastra Indonesia. Pun, dihubungkan dengan konteks realitas di Indonesia. SGA menjelaskan banyak hal dalam ikhtiar proses memadukan unsur fiksi, jurnalisme, dan sejarah menjadi satu produk yang utuh. SGA mengolah fakta menjadi fiksi dengan menulis apa yang dilihatnya, kemudian mengolahnya menjadi bahasa yang dapat diterima sebagai sebuah karya fiksi. Dengan begitu, kiranya sah pernyataan judul buku ini: Ketika Jurnalisme Dibungkam (maka) Sastra Harus Bicara.

Saya pribadi terkesan dengan sebuah bab berjudul “Penulis Dalam Masyarakat Tidak Membaca”. Kutipan diatas saya ambil dari tulisan yang disampaikan SGA dalam Pidato Penerimaan Penghargaan South East Asia Writing Award tahun 1997. Tanpa mengesampingkan tulisan-tulisan lainnya, saya menganggap buku ini adalah satu catatan tersendiri untuk satu Bab dalam perjalanan sejarah Republik tercinta.
 
Edisi pertama buku ini terbit pada tahun 1997, tidak lama sebelum Rezim Orde Baru turun tahta. Edisi Kedua lahir kembali pada tahun 2005. Pada masa reformasi ini, buku ini kembali diterbitkan kembali untuk memenuhi kebutuhan untuk saling mengingatkan. Dengan judul Trilogi Insiden yang membuat tiga judul buku secara utuh. Pembaca dipersilahkan untuk menilai sendiri relevansi antara keduanya, dilihat dari tahun penerbitan dimana pers sudah dianggap bebas sejak Reformasi 1998. 

Judul                     : Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Penulis                  : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit                : Bentang Pustaka
Tahun                    : 2005
Tebal                     : 243 hal.
Genre                    : Sastra Indonesia


Cipayung, 21 April 2017

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...