Rabu, 24 Juni 2009

Tentang Dua Perempuan

Mendung. Langit penuh gumpalan awan pekat. Angin menderu kencang. Tak ada lagi hangat mentari. Gerimis. Basah. Perempuan itu masih berjalan menyeka air matanya. Berteman payung kecil warna kuning. Tangisnya telah reda namun tidak dengan badai dihatinya. Perempuan itu telah membuang tissue terakhirnya. Langkahnya tegak kembali.

Sementara itu gerimis masih enggan untuk reda. Ia masih menerpa perempuan itu bersama jutaan warga kota lainnya. Suasana seperti ini membuat perempuan itu teringat kembali pada teman-temannya. Sahabat-sahabat terbaik dalam hidupnya yang kini perlahan menghilang menuju takdirnya masing-masing.

Masih diingatnya kala gerimis di kota kecil itu,mereka selalu duduk bersama dibawah pohon beringin yang besar. Tidak seperti beringin yang selalu ada ditemani bendera warna kuning, kotak segi lima, dan padi dan kapas. Lalu mereka akan pulang berjalan kaki sembari memegang lembaran daun pisang pengganti payung. Semua itu masih jelas melekat. Ia terkenang masa-masa itu. Ingin ia kembali namun hanya bisa berharap saja karena semua itu tak mungkin kembali, pikirnya.

Kini, ia hanya bisa mendapati dirinya didalam sebuah ruangan dengan lampu temaram. Tak lama kemudian seorang pelayan membawakan minuman hangat pesanannya, Jahe Susu. Bukan moccacino latte atau hot espresso. Perempuan itu menikmati minuman hangatnya. Dalam hawa dingin seperti ini jelas pilihannya bukanlah yang terbaik namun cukup untuk menenangkan dirinya. Ia keluarkan sebatang rokok menthol, membakarnya, lalu menghirupnya.

Perempuan itu menikmati betul saat-saat seperti ini. Ia bersandar pada kursinya. Menutup matanya sejenak. Terbayang kejadian sebelumnya. Ia mendapati kekasihnya sedang bermanjaan dengan kekasih barunya. Perjumpaan yang sekilas itu menyiratkan luka batinnya. Perempuan itu cemburu pada kekasihnya karena ia tidak pernah begitu dimanjakannya. Perempuan itu marah karena kekasih perempuannya jatuh cinta dengan lelaki barunya. Ia tidak pernah tahu kalau kekasih perempuannya itu masih punya perasaan suka terhadap laki-laki terutama setelah ia tahu bahwa mereka punya latar belakang sakit hati yang sama terhadap makhluk Tuhan bernama laki-laki.

Perempuan itu masih duduk bersandar dengan mata yang telah terbuka. Ia menghirup rokoknya lagi. Menatap kosong pada butiran hujan yang hinggap di kaca. Segalanya tampak samar dihadapannya, ia tidak peduli. Dalam kosong tatapannya itu ia kembali termenung. Masih lekat ingatannya pada kekasih perempuannya itu. Ia tak bisa lagi merasa kecewa karena ia tahu bahwa semua ini akan berakhir dengan cara yang menyakitkan atau malah biasa saja.

Setidaknya, ia pernah merasakan kasih sayang dari kekasih perempuannya itu. Kekasih yang selalu menemaninya sepulang jam kerja yang melelahkan. Kekasih yang memanjakannya setiap akhir pekan. Kekasih yang memberikan pengalaman bercinta yang paling indah. Pengalaman-pengalaman itulah yang kini menenangkannya. Tak ada lagi amarah. Ia tersenyum sendirian.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya. Ia menatap sudut ruangan itu satu persatu. Tampak beberapa meja saja yang ada penunggunya. Jam tangan Bvlgari-nya menunjukkan waktu pukul 16.20. sore yang biasa dan masih akan tetap begitu. Sebentar lagi bubaran kantor. Jalanan penuh sesak dalam gerimis yang masih belum reda. Biasanya, kekasih perempuannya sudah menyiapkan makan malam untuknya. Ia hanya tinggal pulang seperti biasa. Kekasihnya juga lah yang selalu melepaskan seluruh pakaiannya untuk kemudian bercinta dibawah siraman shower. Lantas, mereka makan malam berdua dan kembali bercinta.

Kekasih perempuannya itu akan pulang tepat jam 22.00. Sebuah BMW seri 7 akan segera menjemput kekasihnya. Maka, akan sangat bencilah ia kalau mendengar suara mobil itu. Namun, ia tidak mampu menghalangi kekasihnya. Ia sangat kelelahan karena menikmati percintaan yang begitu dahsyat dengan kekasihnya. Bagaimana pun ia telah menikmati suatu kebahagiaan yang hanya didapatkan dengan kekasihnya. Lainnya ia tidak mau peduli, tidak juga pada siapa yang menjemput kekasihnya. Ia tidak pernah peduli. Ia tidak pernah mau bertanya dan membahasnya. Justru itulah yang membuat ia tersadar, bahwa kekasih perempuannya itu telah mengkhianatinya setiap malam setiap mereka selesai bercinta. Lelaki yang mobilnya BMW itu menjemput kekasih perempuannya. Kemudian, mereka akan hanyut bersama dalam permainan cinta yang tak kalah dahsyatnya. Mereka akan kembali bercinta memacu emosi jiwa dibawah langit Jakarta yang tidak pernah nampak terlalu tua.

**

“Kini terasa sungguh, semakin engkau jauh, semakin terasa dekat” *)

Dalam keremangan senja seperti ini apalagi yang bisa dilakukan seorang perempuan yang terjebak didalam kemacetan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menatap rintik gerimis yang segera disapu wiper mobilnya. Ia raih handphone dari tasnya. Ketika sudah sampai pada nama orang yang akan dihubunginya, ia malah melempar handphone itu. Hatinya serasa panas terbakar dan pilu semakin menyayat bila ingat lagi pada satu nama itu. Nama seorang perempuan yang pernah begitu mencintainya.

Mendadak ia sandarkan keningnya pada lingkaran setir. Ia pejamkan kedua matanya. Ia hirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi perlahan-lahan dan teratur. Ia praktekkan latihan pernafasan ala yoga yang membuatnya kembali tenang. Ia membuka matanya lalu bersandar. Kendaraan disekelilingnya belum juga bergerak. Semuanya seakan bisu dalam macetnya Jakarta.

Setelah cukup tenang ia kembali membayangkan kebahagiaan yang sempat ia rasakan dengan kekasih perempuannya. Ia tidak benar-benar menginginkan kebahagiaan dari lelaki yang kini mencintainya. Ia tidak pernah yakin akan cinta lelaki itu. Itu hanya sebuah alasan saja agar lelaki itu mendapatkan kepuasan dan pengakuan atas kelaki-lakiannya. Tak lupa juga ia jadikan itu sebagai pelampiasan saja. Ia tidak pernah benar-benar mencapai klimaks kala bercinta dengan lelaki itu. Tidak seperti dengan kekasih perempuannya.

Perempuan yang masih terjebak dalam macetnya Jakarta itu semakin larut dalam lamunannya. Kebahagiaan memang pernah jadi miliknya bersama dengan perempuan kekasihnya itu. Perempuan yang mencintainya dengan begitu tulus apa adanya. Kekasihnya yang perempuan itu tidak pernah menaruh curiga apabila ia ketahuan sedang dekat dengan seorang lelaki. Perempuan yang pernah jadi kekasihnya itu selalu menenangkannya setiap kali permainan cinta mereka telah dimulai. Betapa nikmatnya saat-saat itu. Ia kembali teringat bagaimana wajah kekasihnya itu dalam siraman shower. Ia merasakan kembali bagaimana kekasihnya itu memanjakan dirinya dengan kenikmatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang perempuan. Ia juga hafal betul wangi keringat kekasihnya dalam setiap lekukan tubuhnya. Dalam senja yang masih mendung, ia mendapati dirinya tersenyum bahagia. Kemudian, ia membuka jendela mobilnya.

Semuanya telah hilang, pergi, dan berlalu dari hidupnya. Yang tertinggal hanyalah hidupnya yang sekarang. Hidup yang hanya dimilikinya saja. Semua kenangan indah bersama kekasih perempuannya ia simpan dan kubur dalam-dalam dihatinya. Sedangkan perasaan sakit yang ia lampiaskan pada kekasihnya yang lelaki ia biarkan berlalu dalam setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Gerimis perlahan masuk melalui jendela maka ia tutup lagi jendelanya.

Lamunannya terhenti pada kata kebahagiaan dan perpisahan. Betapa kini ia telah menikmati keduanya. Telah juga ia rasakan perasaan-perasaan atasnya. Hari-hari yang telah dilaluinya dengan mudah kini tinggal kenangan saja. Semuanya berlangsung atas dasar kebahagiaan. Karena perasaan bahagianya itulah ia selalu siap untuk setiap kemungkinan terburuk. Kehilangan kekasih adalah satu hal yang pernah membayanginya. Namun, rupanya ia telah siap menerima semua itu.

Buatnya, kebahagiaan dan perpisahan adalah sama saja. Tidak ada yang lebih indah. Semua punya kadarnya masing-masing. Lantas, ketika akhirnya mereka berpisah pun keduanya sudah merasa sama-sama bahagia. Dan mereka telah yakin bahwa hal itu akan terjadi menimpa mereka. Cepat atau lambat. Perempuan yang masih diam dalam macetnya itu merasa semakin tenang. Tidak ada beban lagi yang menggelayuti pikirannya.

Perempuan itu berharap perempuan yang pernah jadi kekasihnya itu pun selalu merasa bahagia. Dimana pun bersama siapa pun. Kebahagiaan tidak melulu harus bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Kebahagiaan bisa ditemukan dimana saja tergantung pada sejauh mana pengertian kita tentang bahagia dan kebahagiaan itu sendiri. Begitulah harapan perempuan yang masih terjebak dalam macetnya Jakarta itu. Bila Tuhan mengizinkan, ingin sekali ia katakan itu dihadapan perempuan yang pernah jadi kekasihnya. Sambil memeluk tubuhnya lalu mengecup keningnya. Sekali lagi. Sekali saja.

**

Ia telah habiskan jahe susu pesanannya. Juga 5 batang rokok menthol yang menemaninya. Aroma jahe dan menthol mengisi rongga mulutnya. Ia berkaca pada kotak make-up yang selalu dibawanya. Dirapikannya rambut itu dengan sisir hingga tergerai, dipolesnya lagi bibir itu dengan lipstik warna merah. Lalu, ia berjalan meninggalkan tempat itu. Wangi menthol yang tertinggal beradu dengan aroma parfum yang masih melekat padanya.

Gerimis belum juga reda. Jalanan dipenuhi kendaraan yang berserakan. Senja mulai tenggelam. Lampu jalanan mulai menyala. Perempuan itu melangkah keluar. Lipstiknya menyala, merah.


Kelapa Gading, 8 Juni 2009


*) dari lirik lagu Nuansa Bening, Keenan Nasution dipopulerkan kembali oleh Vidi Aldiano

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...