Jumat, 05 Juni 2009

Yang Belum Terkirim (1): Saya, Jombang, dan Emha

Hari ini, Rabu, 27 Mei 2009, setidaknya ada dua momen (selain gajian tentunya) yang ada di catatan saya. Miladnya Emha dan Final Liga Champions Eropa Season 08-09 di Roma sana. Kemarin, secara resmi saya telah mempublikasikan dukungan saya pada F.C Barcelona lewat tulisan yang anda semua bisa baca di selendangwarna.blogspot.com. Maka, tulisan ini akan bercerita sedikit tentang Jombang dan Emha Ainun Nadjib. Bukan karena isu bahwa Final di Roma sana akan dipindahkan dengan alasan keamanan ke Stadion Brawijaya kandang Persik Kediri atau Si Jalak Harupat kebanggaan masyarakat Soreang. Bukan juga karena tiket Manchester United Goes to Senayan rata-rata naik Rp. 250.000. Ibarat murid yang sedang belajar menulis, saya ini hanya bercerita saja tentang apa yang ada di kepala lalu saya jadikan tulisan.

Jombang, sebuah kota kabupaten yang berbatasan dengan kota Madiun di arah barat dan Mojokerto diarah timur. Jombang sendiri menyimpan suatu fenomena sosiologis dimana ditempat ini terdapat banyak pesantren yang didirikan sebagai tempat belajar ilmu kehidupan terutama ilmu agama Islam. Sejarah perkembangan dan penyebaran agama Islam di Jawa Timur sendiri tidak lepas dari peran pesantren-pesantren Jombang. Tentu dibutuhkan analisis melalui penelitian yang menggunakan pendekatan historis-sosiologis-kultural untuk menguji hipotesa diatas.

Jombang, 56 tahun yang lalu melahirkan putranya yang hanya manusia biasa bernama Emha Ainun Nadjib pada hari Rabu Legi, 27 Mei 1953. Semoga bukan kebetulan bahwa Tuhan telah mentakdirkan hari Rabu 56 tahun yang lalu bertemu kembali dengan hari Rabu ini. Selamat ulang tahun, Emha. Semoga Tuhan tetap dan terus merahmati anda untuk tetap berjuang dijalan-Nya.

Kalau ada yang saya ingat tentang Emha selain bukunya yang saya punya, “Jejak Tinju Pak Kiai” dan “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” adalah album Emha bersama Kiai Kanjeng yang rilis waktu Orde Baru masih berkuasa sekitar tahun 1997. Saya lupa judul albumnya karena saya tidak membawanya ketika saya pindahan ke Ibukota ini. Kalau saya tidak salah, ada sepuluh lagu di album itu. Semuanya bernuansa rohani yang kental dengan paduan puisi dan lirik-lirik pujian.

Sebelum masyarakat kita ngeh sama lagu “Tombo Ati”nya Opick, Emha sudah jauh-jauh hari sebelumnya menyanyikan lagu itu diiringi dengan musik gamelan Kiai Kanjeng. Kalau anda sepintas mendengar akan terdengar seperti musik keroncong. Tapi lebih daripada itu, komposisi yang dalam lagu “Tombo Ati”nya Emha tetap menampilkan suatu penghayatan yang kuat atas penyerahan jiwa manusia sepenuh hati kepada Tuhan.

Bedanya dengan yang punya Opick itu hanya dalam penerjemahannya saja. Opick menyanyikan versi jowo terlebih dahulu diikuti dengan versi bahasa Indonesia. Sehingga, masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Jawa pun akan cepat paham. Sedangkan, Emha dan Kiai Kanjeng menyelipkan terjemahannya di sampul kaset/CD. Maka, tak banyak dari kita yang tahu bahwa lagu itu sudah duluan ada. Satu lagi yang berkesan kuat di dalam album itu adalah performance mereka dalam komposisi instrumental berjudul “Parados”. Tidak ada vokal. Hanya iringan musik saja, paduan gamelan dan musik modern full band. Rasanya, layak disandingkan dengan komposisi intstrumental David Foster.

Mendengarkan semua isi album itu tidak akan pernah membosankan seperti layaknya membaca kembali semua tulisan dalam buku-bukunya. Seperti pada tulisannya, musiknya pun mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Ada sebuah lirik yang masih saya ingat: “…sesudah lagi, kepingin lagi…” Lewat lirik lagu yang judulnya (lagi-lagi) saya lupa itu Emha menggugat sifat kemanusiaan kita yang tidak pernah merasa cukup walau telah dipenuhi atau terpenuhi segala kebutuhannya. Agaknya, kita telah lupa pada hakikat bersyukur. Bersyukurlah kepadaku, niscaya kutambahkan nikmatmu. Begitu Tuhan pernah bersabda.

Bapak saya dulu sengaja membeli album berbentuk kaset itu. Mungkin karena mereka sama-sama orang Jawa Timur dan punya ikatan historis yang kuat dengan tanah kelahiran Emha, Jombang. Dulu, Kakek sering mengajak Bapak saya naik sepeda ontelnya boncengan berdua saja dari Pare, Kediri sampai ke Jombang kurang lebih sejauh 29 KM. Waktu itu belum banyak angkutan umum. Kebetulan kakek saya sering mengisi ceramah dan pengajian di beberapa pesantren dan masjid di sekitar Jombang. Hingga wafatnya pun Kakek saya dikuburkan di Jombang juga. Kini, Jombang seakan menyimpan memori itu. Bahkan, setiap melintas Stasiun Jombang, saya masih bisa merasakan ada sesuatu yang hilang, tersimpan dan tertinggal disana.

Sayang sekali, dalam beberapa kesempatan saya tidak pernah singgah di Jombang untuk menikmati dan sedikit napak tilas jejak-jejak peninggalan Kakek. Bahkan, ketika melakukan road tripping dengan rute melingkar Surabaya-Mojokerto-Jombang-Madiun-Ngawi-Solo-Yogya-Magelang-Semarang-Kudus-Tuban-Gresik-Surabaya pada awal tahun 2007. Begitu pun kedua kalinya, Oktober 2007 ketika dalam misi perjalanan mengembalikan amanah ke Surabaya. Saya menempuh jalur Bandung-Tasik-Yogya-Madiun-Jombang-Mojokerto-Surabaya. Saya tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar singgah. Waktu rasanya begitu cepat dan tidak menyisakan sedikit pun bagiannya untuk saya.

Saya hanya pernah sekali singgah di Jalan Raya Bypass arah Madiun untuk shalat maghrib. Itupun hanya sebentar saja. Jangan heran bila anda melewati jalan itu anda melihat banyak masjid di pinggir jalan. Begitu adzan berkumandang dan waktu shalat tiba masyarakat sekitar yang anak kecil, remaja, pemuda, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek akan segera datang dan memenuhi ruangan masjid. Itulah yang membuat saya takjub akan kota ini. Istilahnya, berhenti dimana pun masih bisa minggir buat istirahat dan sholat dengan suasana berjamaah yang khas warga Nahdliyin (sebut saja warga NU). Saya hanya bisa berencana mudah-mudahan suatu saat saya bisa merasakan goyangan air suspension**) Scania milik P.O Harapan Jaya untuk mengantarkan saya ke Jombang. Lalu, disambung minibus ke Kediri dan Pare.

Begitulah kota Jombang meninggalkan sebuah ingatan yang tersimpan rapih dalam memori. Mudah-mudahan, ingatan-ingatan tentang kota sebagai tempat dengan konteks historis-sosiologis-kultural yang amat erat melekat akan membangun kesejarahan kota dari sudut pandang mana pun. Baik warga masyarakat yang mendiaminya atau masyarakat umum yang menaruh perhatian padanya. Semoga dapat menjadi catatan berharga bagi generasi berikutnya.

Saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari tulisan Emha. Semoga anda dan saya bisa mengambil pelajaran.

“Kalau engkau berbuat baik seribu kali, bersiaplah untuk tidak menunggu satu orang pun melirik seribu kebaikanmu itu satu kali saja pun. Sebaliknya, kalau engkau berbuat buruk satu kali saja, bahkan sekedar diduga, dituduh atau difitnah berbuat buruk satu kali saja, maka persiapkan dirimu untuk mendengarkan seribu orang memperkatakan seribu keburukanmu yang mereka karang-karang sebanyak seribu kali.” *)



Kelapa Gading, 27 Mei 2009

*) Emha Ainun Nadjib, dalam tulisan berjudul “Para Pendendam Indonesia” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, hal. 125, Penerbit Buku Kompas, 2007.

**) Air Suspension adalah sistem suspensi yang menggunakan udara sebagai bantalannya menggantikan cairan hidrolik/oli. Konsep ini telah digunakan oleh merek bis dan truk terutama yang berasal dari Eropa. Belakangan, Hino telah mengadopsi konsep tersebut tetapi masih belum bisa menyaingi empuknya suspensi Mercy.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...