Kamis, 21 Januari 2010

Memburu Nasib

Mungkin yang kubutuhkan saat ini bukanlah pekerjaan. Aku butuh sesuatu yang lebih dari itu. Pekerjaan tidak akan mendatangkan apa-apa. Pekerjaan hanya membuat kita terjebak dalam rutinitas belaka. Rutinitas 5 hari seminggu dengan 2 hari libur yang rasanya masih kurang cukup untuk melampiaskan segala yang tak mampu dilakukan selama hari kerja. Rutinitas memang tidak selalu menyenangkan dan memberi kenyamanan. Aku butuh sesuatu yang lain, yang lebih dari itu. Aku butuh kejutan.

Hidup dalam kenyamanan pun ternyata bisa jadi sangat membosankan. Apalagi bila harus menjalaninya dengan segala keterbatasan. Tentu akan sangat lebih tidak menyenangkan. Tapi setidaknya kita masih bisa terus berusaha untuk keluar dari situasi yang menghimpit dan kadang-kadang tidak menyisakan banyak pilihan.

Terkadang berbagai penolakan dari hidup ini telah menjadikan kita sesuatu. Tanpa harus dibimbing, kita bisa jadi lembek atau malah lebih keras dalam menghadapi semua konsekuensi yang mampu diberikan oleh hidup yang sudah terlanjur seperti ini.

Betapa kenyataan tidak selalu menyenangkan. Ada orang yang terpaksa berjuang sendiri bahkan tak sedikit yang harus kalah oleh kenyataan dan nasib yang membawanya. Ada kala kesusahan itu singgah di jalan nasibku yang memang sudah begini. Aku rasa tidak ada salahnya untuk merampok nasib orang lain demi nasibku sendiri. Aku tidak peduli. Aku tahu nasibku tidak bisa seperti ini terus. Harus ada yang berubah. Perubahannya haruslah sangat terasa dan tentu saja ada faktor kejutan di balik itu semua.

Aku sangat tidak peduli bila suatu saat mendengar kabar seseorang yang bangun tidur telah kehilangan nasibnya yang telah dicuri darinya. Siapa yang merampoknya? Lalu, untuk tujuan apa? Hal itu masih mungkin untuk terjadi di dunia yang tidak pernah terlalu tua namun selalu memberi sensasi senja perpisahan yang luar biasa mengagumkannya itu.

Aku harus melakukan sesuatu untuk nasibku sendiri. Nasibku sepenuhnya berada di tanganku makanya masih ada kemungkinan untuk dirubah. Sedangkan takdir, yang kutahu dia adalah urusan Tuhan. Ketika takdir telah menentukan nasib yang kita jalani itu tidak lebih baik untuk hidup selanjutnya apakah aku harus merampasnya juga dari tangan Tuhan? Lalu, ketika takdir akhirnya lebih berhak untuk bicara haruskah kita menjadikan Tuhan sebagai tersangka?

**

Aku mulai mencari nasib siapa yang pantas untuk jadi nasibku. Aku belum tahu apakah menyalin nasib seseorang akan semudah mengcopy-paste makalah hasil dari Googling untuk membodohi dosen-dosenku kemarin. Aku mencari nasib seseorang yang tidak selalu mujur dan beruntung dalam hidupnya. Aku mencari nasib seorang petualang. Nasib yang bisa membawaku berjalan dalam rentang waktu yang tak pernah diam, membawaku dari perjalanan ke perjalanan lainnya. Nasib yang tidak pernah kehabisan cerita, selalu bervariasi dengan banyak kejutan.

Alangkah tidak menyenangkannya bila aku hanya mencari nasib-nasib yang monoton. Yang penuh dengan hiruk-pikuk linier khas masyarakat kelas menengah yang selalu bermimpi untuk meraih segala yang hanya boleh diimpikan kaum kelas atas. Sungguh nasib yang menyiksa.

Aku masih mencari dimana nasib yang kucari dan bisa kurampok sekalian. Aku tidak ingin hanya sekedar menemukannya saja lalu meniru untuk kemudian mengikutinya, karena nasib punya jalannya sendiri yang dibentuk dari sisa-sisa lelehan aspal takdir. Aku harus memilikinya sekalian menukarnya dengan nasib yang sudah terlanjur melekat erat padaku. Seperti bau keringat.

Nasib siapa yang harus kurampok? Harusnya, kemarin aku rampok saja nasibnya Schumacher, juara dunia Formula 1 7 kali, yang selalu dianggap lebih hebat dari Ferrarinya. Aku bisa saja merampok nasibnya Eric Cantona, pesepakbola dengan jurus tendangan kung-fu yang mematikan, pesepakbola yang selalu merasa lebih besar dari Manchester United ketika Ferguson bertanya padanya apakah ia cukup besar untuk bergabung dengan MU. Atau, kurampok juga nasibnya Real Madrid, klub kaya yang selalu harus tampil sempurna dengan skuad Galacticosnya, meraih kemenangan dengan gol yang banyak dan kalau bisa harus indah pula golnya.

Bagaimana dengan nasibnya Beckenbauer, Der Kaiser yang telah meraih kesempurnaan dalam karirnya sebagai pemain dan pelatih. Lalu, Chairil Anwar, penyair yang mati muda itu, sastrawan pendobrak zaman yang masih mau hidup seribu tahun lagi, nasibnya tentu lebih singkat dari yang kuharapkan namun jalan hidupnya menggelorakan suatu perasaan semangat yang tak pernah padam. Apakah harus juga kuambil nasib Soe Hok Gie, demonstran yang tidak mau mati saat tua menggerogotinya, demonstran revolusioner dengan cerita hidup yang tak kalah serunya dari Martin Luther King.

Aku semakin tahu nasib siapa yang kucari. Nasib yang bisa membawaku pada tujuan abadi. Aku tahu siapa saja yang memiliki itu. Aku punya daftarnya. Tidak lebih panjang dari daftar orang terkaya di negeri koruptor ini. Aku tahu harus kemana malam ini. Things happen for a reason. Aku segera beranjak untuk mendapatkannya segera setelah air rifle Kalashnikov beserta Steyr, Beretta, dan Smith & Wesson kumasukkan dalam tas.

**

Aku melangkah dalam gerimis yang selalu mempercepat kelam.*) Tidak ada senja di pulau tanpa nama**) hari ini. Aku terus melangkah mengejar nasib yang telah menunggu. Aku akan segera mendapatkannya, cepat atau lambat walau harus ada yang tersakiti. For the love of the game, for the life of mine.



Pharmindo, 20 Januari 2010


*) petikan dari lirik puisi Chairil Anwar, “Senja di Pelabuhan Kecil”
**) mengikuti judul cerpen “Senja di Pulau Tanpa Nama” dalam kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma “Linguae”, Gramedia, 2007.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...