Cak Nun bersama anak-anak di #MaiyahMalang. Courtesy: @maiyahan |
Puasa adalah sebuah metode dan disiplin agar engkau melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya engkau senangi. Cobalah ulangi pandang dirimu di cermin dan tataplah segala sesuatu di rumahmu: betapa kebanyakan dari kenyataan hidupmu itu “bersifat hari raya”, yaitu memenuhi kesenangan.
Adapun, puasa melatihmu untuk bermental pejuang. Pada dasarnya, engkau tidak senang lapar. Engkau pada dasarnya secara alamiah menyenangi kenyang, makan, dan minum, tapi engkau tidak diperkenankan menikmatinya dari subuh hingga magrib.
Karena apa? Pertama, karena dalam hidup ini ada yang lebih sejati sebagai nilai dibanding senang atau tidak senang. Ialah baik dan harus atau wajib. Engkau melakukan sesuatu tidak terutama karena engkau senang, tetapi karena hal itu baik, sehingga wajib engkau lakukan. Jadi, kedewasaan dan kemataangan kepribadian dalam Islam adalah kesanggupan untuk menjalani hidup ini tidak terutama berdasarkan senang atau tidak senang, tetapi berdasarkan baik atau tidak baik, wajib atau tidak wajib.
Kedua, karena engkau adalah khalifatullah, karena engkau adalah makhluk sosial, maka yang dibutuhkan darimu terutama adalah daya juang untuk sesama manusia. Apakah engkau senang membagi-bagikan uang hasil jerih payah kerjamu? Apakah engkau senang menolong orang lain yang menderita dan memerlukan pengorbananmu? Apakah engkau senang membela orang-orang tertindas.
Kalau kesiapanmu hanyalah menuruti kesenangan, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu akan sangat sedikit yang bisa engkau lakukan, sehingga di mata Allah, derajatmu tidak tinggi. Sebab, sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.
Maka, itulah manfaat puasa. Melatihmu untuk menjadi manusia yang mampu menaklukkan kesenangannya. Mampu lebih besar dan mengatasi kesenangannya. Mampu minum jamu pahit yang tidak enak. Mampu lapar dan haus. Mampu mengorbankan kesenangannya demi kewajiban dari Allah dan kebaikan bagi sesama manusia. Syukur kalau engkau memproses batinmu sedemikian rupa sehingga kesenangan dan kewajiban atau kebaikan bisa menyatu.
(dikutip dari tulisan “Puasa dan Kesenangan” , dalam buku ‘Tuhan Pun Berpuasa’, Emha Ainun Nadjib, Penerbit Buku Kompas, Juni 2012. Hal. 15-16)
Paninggilan, 14 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar