Selasa, 07 Oktober 2008

Catatan Di Awal Bulan Syawal

Seperti biasanya. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh untuk ke-1429 kalinya ini kurang lebih masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Hampir sama kalau tidak mau dibilang masih sama. Shalat Ied di lapangan, makan ketupat, sungkeman lalu menangis, silaturahmi ke rumah tetangga dan sanak saudara. Rasanya, semua itu juga kita lakukan tahun kemarin. Catatan ini ditulis pada malam pertama dimana titik-titik hujan masih malu-malu untuk turun, tumpah, lalu membasahi tanah yang bercucuran air mata ini. Catatan ini ditulis sebagai catatan pembuka di awal bulan Syawal.

Catatan ini dimaksudkan untuk menjadi penanda bahwa telah terjadi sesuatu di hari ini. Masih sesuatu yang biasa dan entah sampai kapan masih akan terasa biasa. Catatan ini ditulis oleh seorang Pustakawan yang telah mengakhiri masa kerjanya. Pada catatan yang ia tulis tepat di hari yang sama pada awal bulan kemarin, ia menulis tentang catatannya ketika Ramadhan sedang menuju awalnya. Kini, Ramadhan telah berlalu meninggalkannya, dan ia menulis kembali catatannya di hari ketika bulan Syawal menggantikan Ramadhan tepat di hari Idul Fitri.

Bulan ini adalah awal dari sebuah petualangan yang mungkin akan segera dimulai. Petualangan yang mungkin jadi awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan untuk terbang tinggi dan lebih tinggi lagi. Perjalanan yang menjadi awal dari sebuah akhir. Perjalanan yang ditandai dengan sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang sulit namun memang seharusnya sudah terjadi. Aku telah membuat keputusan untuk terbang tinggi lagi. Aku telah memutuskan untuk memulai hidupku lagi. Hidup yang hanya akan kujalani dengan diriku sendiri. Hanya diriku saja. Aku telah memutuskan untuk tidak terikat lagi. Aku hanya ingin jadi diri sendiri sebelum aku lupa rasanya jadi diri sendiri.

Aku memutuskan untuk kembali menjadi diriku sendiri. Itulah kenapa sebabnya aku bisa bilang ini adalah sebuah keputusan yang sulit. Sulit sekali untuk menjadi diri sendiri. Begitu sulitnya, hingga aku sendiri tidak tahu apa aku masih punya sisa-sisa dari diriku yang dari kemarin hingga hari ini memang begini-begini saja. Aku masih ingin menjadi diri sendiri.

Aku tidak ingin lagi terjebak dan terperangkap dalam sebuah situasi pekerjaan yang baru kini kusadari bahwa memang semua itu tidak menyenangkan. Alangkah tidak menyenangkannya apabila kita kehilangan perasaan bahagia di akhir pekan untuk dihabiskan bersama deretan daftar di dalam database Athenaeum dan tumpukan buku yang menunggu untuk disampul. Belum lagi, kehilangan waktu untuk sekedar berselonjor sambil mendengarkan suara si penyiar pujaan di akhir pekan yang selalu menyenangkan. Atau, waktu untuk sekedar diam dan tidak melakukan apa-apa. Semuanya terjadi padaku pada situasi pekerjaan yang kemarin. Aku benar-benar tidak bisa menjadi diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang lain. Orang lain yang asing sekali bahkan untuk diriku sendiri. Aku menjadi sesuatu yang terasing di semesta yang memang kuciptakan sendiri. Aku bagaikan horizon terasing*) yang yang jauh berada di titik langit yang entah dimana ujungnya.

Memang sulit untukku untuk terus menjadi anggota baru dari kaum pekerja yang mengabdi pada suatu profesi yang lalu kemudian masuk perangkap comfort zone. Sebuah daerah yang selalu menjadi perbincangan hangat oleh para pemandu karir, motivator, hingga pakar SDM. Aku tidak menampik kenyataan bahwa pada akhirnya aku juga akan menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu bangun pagi dan pulang di sore hari. Mereka yang selalu bekerja 8 jam sehari dengan 1 jam istirahat. Mereka yang selalu bersemangat dan bergembira bila akhir pekan datang tanpa undangan. Suatu saat, aku juga ingin menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu berpacu dengan waktu dan deadline. Mereka yang merasa wajib menjadi sesuatu. Bahkan jika jadi omong kosong sekalipun.

Aku akan jadi bagian dari mereka. Bangun pagi dengan mata yang masih pedas dan melangkah gontai untuk mandi dan pada waktu aku membuka mata aku sadari betapa kenyataan dalam hidup ini terjadi apa adanya. Terjadi begitu saja walau tanpa pembukaan dan akhir yang indah. Kenyataan yang kadang pahit getirnya telah aku rasakan sementara entah pahit atau manis yang lain masih menunggu untuk aku rasakan. Betapa hidup ini akan terasa setelah mata ini tidak terpejam lagi. Lihatlah perjuangan menghadapi kenyataan. Sebuah kisah yang tertulis akan menjadi cerita dari mereka yang terlibat dan bermain-main di dalamnya. Aku akan menulis kisah itu. Merangkai catatan demi catatan yang kutuliskan di hari yang aku menjalaninya sebagai sebuah kemestian.

Apapun itu, dengan keadaanku yang sekarang, aku hanya ingin jadi diri sendiri yang mengikuti arus hidup yang entah dimana muara hulunya. Aku akan ikuti kemana angin berhembus. Aku masih ingin jadi diri sendiri. Aku masih ingin terbang. Jauh. Jauh tinggi. Hingga hanya mimpi saja yang mampu menembusnya. Flying high to the mountain high**).

Begitulah yang terjadi padaku sekarang. Hei, tidakkah kau ingin bertanya padaku bagaimana aku akan menjalaninya? Aku rasa belum saatnya aku bercerita. Aku baru saja memutuskan untuk (kembali) menjadi seorang pengangguran yang bersaing dengan lebih dari 4 juta orang sepertiku. Bersaing untuk menjadi sesuatu. Bersaing untuk berbuat sesuatu. Bersaing untuk menang. Pada sebuah dunia yang disebut hidup. Dunia yang kau dan aku sedang jalani.


Bandung, 1 Oktober 2008, 23.29


*) Horizon Terasing, sebuah judul Pameran di Selasar Sunaryo Art Space Bandung
**) bagian dari lirik lagu Sherina dengan judul Better Than Love, album Primadona, 2006

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...