Senin, 08 Oktober 2012

Namaku Hiroko (dan catatan lainnya)

“Ya. Aku puas dengan kehidupanku. Hidup di tengah kota yang beragam. Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku.” – hal. 242.

Bicara tentang Hiroko tentu tidak akan lepas dari segenap asal muasal latar belakang budaya yang membentuknya. Mendengar namanya, sudah tentu pikiran kita akan merujuk pada suatu negeri dimana sakura bermekaran pada musimnya. Saya mengenal Hiroko dari judul buku ini: Namaku Hiroko dan satu judul lagi yaitu: Jepun Negerinya Hiroko. Lantas, saya kerap menggunakan istilah ‘Negerinya Hiroko’ untuk menyebut nama Jepang dalam beberapa tulisan terdahulu.



Namaku Hiroko adalah buku kedua dari Nh. Dini yang saya baca setelah “Argenteuil”. Bila Argenteuil lebih banyak bercerita tentang memoar yang dialami penulis menjelang perceraian dengan suaminya. Sejak pertama, berkenalan dengan karya beliau, saya langsung jatuh cinta dengan gaya penuturan yang lempeng dan terkesan biasa-biasa saja namun kaya akan deskripsi. Sejak saat itu juga saya berniat untuk membaca buku-buku seri kenangan Nh. Dini.

Gaya bertutur yang sama masih saya temukan dalam Namaku Hiroko. Selain kagum dengan gaya penulisan, saya juga dibuat kagum oleh tokoh Hiroko ini. Bermula dari seorang gadis kampung biasa, Hiroko menjelma menjadi seorang perempuan yang paripurna. Memiliki segala impian yang hanya bisa mampu diimpikan sebagian kaumnya, dimasanya.

Cerita Hiroko berlangsung pada masa pasca perang dunia ke-2. Suatu masa dimana kehidupan penduduk Jepang berada di persimpangan. Corak kehidupan Jepang tradisional berhadapan dengan datangnya gelombang gaya hidup urban masyarakat perkotaan yang semarak. Pada masa itu, Jepang bisa dikatakan berada dalam periode dilematis. Masyarakat Jepang di kota-kota besar mengalami pertentangan nilai. Antara mengimbangi kemajuan atas nama pengaruh budaya Barat atau mempertahankan nilai-nilai dan estetika kehidupan tradisional. Sedangkan, masyarakat tradisional Jepang masih memegang erat budaya turun temurun peninggalan nenek moyang mereka.

Lika-liku kehidupan mengantarkan Hiroko pada berbagai pengalaman yang kelak akan berguna pada kehidupannya di masa mendatang. Memulai perjuangan hidup sejak menjadi pembantu di rumah seorang konsul, Hiroko belajar melihat dunia. Dunia seakan membentang dihadapannya. Hiroko belajar memahaminya satu persatu. Tak lama, Hiroko harus kembali ke desa karena Neneknya meninggal.

Hiroko kembali merasakan semarak gairah kehidupan kota besar setelah bertemu dengan Tomiko. Teman sekolahnya dahulu yang membawanya ke kota. Hiroko memulai kembali perjalanan karirnya menjadi seorang pembantu. Setelah jenuh, ia mendapatkan pekerjaan di toko besar. Katakanlah sebuah mall. Dengan pekerjaannya itu, Hiroko mendapatkan segala pelajaran yang mengajarinya tanpa diminta. Kejadian demi kejadian datang menghampirinya. Hiroko mengisi waktu luangnya dengan bekerja menjadi seorang penari telanjang di kabaret lokal. Sementara, Nakajima-san (yang ternyata nama depannya sama: Hiroko). Hiroko pun tahu rasanya  jatuh cinta pada suami sahabatnya sendiri. Suatu rasa yang kelak ia sesali ketika kekasihnya itu tidak muncul karena istrinya, Natsuko, mencoba bunuh diri.

Buat saya, Hiroko ini ibarat hidup di atas angin. Hiroko tidak pernah “ngeyel” mengharapakan sesuatu untuk terjadi padanya. Memang, Hiroko menghendaki kekayaan dan kemapanan sebagai atribut hidupnya. Identitas tanda keberhasilan hidup di kota. Tetapi, perlu dicatat, Hiroko tidak pernah mengusahakan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Kesempatan dan kesempatan menghampirinya tanpa bisa dibendung. Demi hasrat keinginannya, Hiroko pun tak kuasa menahan segala rasa untuk menjalaninya. Seperti dapat dibaca di akhir cerita, Hiroko telah mendapatkan arti “paripurna” sebagai seorang perempuan. Walau harus hidup sebagai istri simpanan Yoshida, suami Natsuko, sahabatnya.

Hiroko mengajarkan pembaca bahwa seorang perempuan pun mampu memiliki keberanian dan keteguhan hati untuk menjalani hidup tanpa sedikit pun rasa penyesalan. Hiroko, mungkin terlalu polos, tetapi itulah yang menjadikan angin seakan berhembus selalu ke arahnya. Hiroko mengalami dan menjalani hidupnya tanpa banyak kompromi sekalipun dianggap “melanggar” norma dan pakem yang berlaku di kehidupan masyarakat Jepang.


Off the Record

#1

Saya menemukan sebuah quote yang menarik di bagian tengah buku ini:

"..bahwa perkawinan adalah seperti sebuah pintu. Orang yang ada di luar ingin masuk. Sedangkan yang berada di dalam ingin keluar."

Kata-kata itu meluncur deras dari mulut Emiko, satu sahabat Hiroko yang menikah duluan. Dalam suatu perkumpulan dengan sahabat-sahabat, Emiko mengucapkan hal yang demikian itu agar para sahabatnya menjadi lebih aware tentang kehidupan pernikahan. Bahwa segala sesuatu yang nampak dari luar itu tidak nampak serupa dari dalam, oleh mereka yang menjalaninya.

#2

Saya cukup kagum pada Hiroko. Hiroko tidak merasa sungkan bahwa ia telah mengalami pengalaman yang tidak dialami banyak perempuan: menjadi penari telanjang. Hiroko tidak menyesali semua yang terjadi padanya. Hal ini sangat kontras dengan tokoh-tokoh perempuan dalam buku Seno Gumira Ajidarma, Atas Nama Malam.

Dalam ‘Atas Nama Malam’ SGA mempertanyakan “penyesalan” yang kerap dialami perempuan-perempuan malam. SGA ingin mendapatkan pernyataan yang berani dari seorang pelacur. Bahwa mereka menjalani kehidupannya yang seperti itu karena mereka memang menghendakinya. Bahwa menjadi seorang pelacur itu adalah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan uang.

Judul        : Namaku Hiroko
Penulis     : Nh. Dini
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun       : 1986 (cetakan I)
Tebal        : 247 hal.
Genre       : Novel

Medan Merdeka Barat, 8 Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...