Sesama umat kita telah bersama-sama menjalani Idul Fitri meskipun harinya bisa berbeda. Kita telah berupaya membersihkan diri satu sama lain dengan cara saling memaafkan.
Cak Nun memimpin doa di #MaiyahJombang. Courtesy: @maiyahan |
Idul Fitri telah membuat sifat kebersamaan sosial kita menjadi lebih dari sekadar community atau society: kita menjadi ummah.
Ummah atau umat adalah suatu konsep dengan tatanan kuantitatif dan persyaratan kualitatif yang berbeda dengan jenis-jenis “perkumpulan manusia” lain yang dikenal dalam sejarah. Umat mengandalkan suatu kohesi, perhubungan yang rekat, dan memiliki daya tarik-menarik, yang disifati oleh sejumlah nilai Allah: kesederajatan antarmanusia, kebenaran nilai, keadilan realitas, dan kebaikan akhlak. Tolak ukur derajat manusia hanya satu: bahwa di mata Allah, yang paling bertakwalah yang tertinggi. Itu ukuran sangat kualitatif, sangat rohaniah, dimana mata pandang sosial budaya antarmanusia hampir-hampir tak mampu melihatnya.
Kalau diantara suatu komunitas Muslimin ada kedudukan dan fungsi-fungsi yang membuat seseorang menindas dan yang lainnya ditindas, maka konsep ummah belum terpenuhi. Wallahualam apakah secara “mutu” kita telah sungguh-sungguh beridul fitri atau belum, tapi memang berlalunya hari raya demi hari raya selama ini belum cukup mengubah perhubungan-perhubungan sosial yang eksploitatif, diskriminatif, dan represif di antara kaum muslimin sendiri.
Kita berbahagia melalui Idul Fitri kali ini bersama sekalian sanak saudara dan teman-teman sekampung atau seprofesi, namun diam-diam kita juga tetap harus memelihara kepekaaan terhadap sejumlah hal yang memprihatinkan. Justru sensibilitas semacam itulah yang mendorong naiknya tingkat Idul Fitri kita.
Oleh karena itu, disamping beridul fitri sebagai umat, pertanyaan tafakkur kita adalah seberapa jauh kita--sebagai pribadi-pribadi—telah sungguh-sungguh mengupayakan conditioning peridulfitrian dalam kehidupan kita masing-masing.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, lindungilah hamba dan kami semua. Bantulah kami mengidul fitri di lutut kuasa-Mu. Wa la aqwa ‘alanaril jahim. Di neraka, tak kuat hamba ya Rabbi.
Pharmindo, 7 Agustus 2013.
(dikutip dari tulisan Seandainya Allah Pun “Berlebaran” , dalam buku ‘Tuhan Pun Berpuasa’, Emha Ainun Nadjib, Penerbit Buku Kompas, Juni 2012. Hal. 149-153)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar