Rabu, 09 Juni 2010

Botchan


Prelude

Membaca Botchan bagi saya adalah suatu keharusan setelah membaca buku Two Japanese Novelists dari Edwin McClellan. Dalam buku itu, McClellan menjelaskan biografi singkat dari kehidupan dua novelis Jepang yang terkenal pada masanya, yaitu Natsume Kinnosuke yang lebih dikenal dengan Natsume Soseki dan Shimazaki Toson. Selain menjelaskan periode kehidupan dua novelis tersebut, McClellan juga memberikan semacam review singkat berisi pembahasan dan penilaian terhadap karya-karya dua novelis itu. McClellan memberikan pembahasan yang mendetail tentang masing-masing cerita (novel) lengkap dengan berbagai proses kreatif, penggalan cerita, dan hal-hal lain disekitar penulisnya dalam pembuatan karya tersebut.

Sayangnya, Botchan sebagai novel kedua yang ditulis pada tahun 1906 oleh Soseki setelah I am a Cat tidak mendapatkan atensi penuh dari McClellan, berbeda dengan karya Soseki lainnya, yaitu I am a Cat, Kokoro, Kusamakura (The Grass Pillow), dll. Mengenai Botchan, McClellan hanya memberikan sedikit penggalan cerita dan penjelasan tentang penyangkalan dari Soseki bahwa proses kreatif penulisan Botchan dianggap sebagai refleksi perjalanan hidupnya saat itu, sebagai seorang guru di daerah terpencil.

Dalam bukunya, McClellan menulis, “His personal experiences let him to consider the philosophical and cultural significance of human isolation from a variety of perspectives.

The style has a certain crudeness which, thoughtfully intended, limits the range of expression and prevents the novel from having much depth. Style free from ornateness and his quest for naturalness and simplicity, he chose the familiar drive of making a hero, a not very intelligent through well-bred young man.


The novel is, therefore in a sense an indictment of modern society. But it is doubtful that Soseki would have admired the young man very much in the role of an arrogant Hatamoto (Shogunal retainers).”


Menarik untuk disimak bahwa Soseki melakukan penyangkalan atas karya yang dinilai beberapa pengamat sebagai refleksi dari masa-masa awal karirnya. Penilaian ini muncul karena tokoh Botchan digambarkan sebagai orang yang berpendidikan lumayan dan bekerja sebagai seorang guru di derah terpencil, tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dialami Soseki. Maka, wajar apabila terjadi silang pendapat dan penyangkalan dari penulisnya sendiri mengenai kaitan antara realita yang dialami penulis dengan latar belakang serta jalan cerita keseluruhan.

Melihat pada waktu penulisannya, Botchan lahir semasa modernisasi Jepang dengan Restorasi Meiji. Pada waktu itu, Jepang sedang mengalami pergolakan hasrat budaya untuk mengikuti modernitas dunia barat atau tetap bertahan dengan nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini terjadi karena setelah Jepang membuka dirinya, pengaruh dan terpaan dunia barat seakan tidak terelakkan lagi. Maka tak heran bila kini di zaman Jepang modern muncul Patung Liberty dan Golden Gate San Fransisco di Obaida sebagai simbol Young Dynamics Japanese Spirit of Western Culture.

Sublimasi Karakter dalam Cerita

Mengenai asal-usul nama Botchan sendiri terdapat beberapa penafsiran. Botchan diterjemahkan McClellan sebagai “Little Masters”. Selain itu, ada pendapat yang menyebutkan bahwa “Botchan” bisa diartikan sebagai suatu panggilan yang sopan untuk anak laki-laki.

Botchan sendiri diceritakan sebagai anak yang memiliki pengalaman masa kecil yang kurang menyenangkan. Dalam keluarganya ia selalu dianggap sebagai pembawa masalah karena sering melakukan hal-hal yang diluar kewajaran untuk anak seusianya. Orang tuanya pun tidak terlalu menyukai Botchan karena selalu menyebabkan timbulnya suatu masalah. Sebagai gantinya, Botchan hanya mendapat kasih sayang dari Kiyo, pembantu yang bekerja di rumah mereka. Kelak, mereka berdua akan tinggal bersama. Botchan hidup dan besar dalam gemerlap modernisme Tokyo. Satu hal yang kemudian disadarinya ketika menerima pekerjaan sebagai guru di daerah terpencil Shikoku.

Botchan tumbuh dan besar di kehidupan ultra-modern Tokyo sebelum pindah mengajar di Matsuyama, sebuah daerah yang masih tradisional dalam kultur kehidupan masyarakatnya. Botchan sendiri seringkali dikejutkan oleh beberapa kebiasaan yang tidak lazim sebagaimana sering ditunjukkan oleh kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Botchan memiliki masalah pada perilakunya, suatu hal yang menjadi titik pusat cerita novel ini.

Keacuhan dan pembawaannya yang dinilai “lack of respect” menjadi sesuatu yang mengejutkan kalangan pembaca di Jepang. Pembaca yang belum begitu paham dengan perilaku semacam itu tetap bisa menerimanya karena banyak sekali hal yang tidak masuk akal dan menarik untuk diceritakan. Botchan sangat tidak terkesan dengan orang-orang disekitarnya. Botchan menjadi orang yang cenderung lambat untuk memahami sesuatu yang terjadi padanya sehingga ia sendiri tidak pernah yakin tentang posisinya karena berbagai tindakan dari guru-guru disekelilingnya. Benturan sering terjadi akibat karakter Botchan yang berlawanan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di daerah itu. Pun dengan kolega di tempat kerja, Hotta dan Kameja Merah.

Perdebatan dalam hati dan pikiran Botchan seputar Hotta dan Kameja Merah, apakah Botchan dengan segala kebiasaan dan moralnya menjadi terkikis lantara Kameja Merah, atau Botchan malah akan bersekongkol dengan Hotta untuk melawan dan mengembalikan tradisi moral pada tempatnya semula, setelah terlanjur dikotori oleh kelakuan Kameja Merah. Kiranya, hal ini menjadi pertanyaan besar yang diwakili seluruh bagian cerita dalam novel ini.

Hal yang paling penting untuk dipelajari dari seorang Botchan adalah penting sekali untuk menjadi manusia berkarakter. Apapun situasinya dan bagaimanapun perubahan terjadi, karakter yang melekat tetap pada pendirian dan pembawaan tidak akan terkikis hanya karena masalah loyalitas dan mentalitas kelompok.

Sedikit Tentang Soseki

Natsume Kinnosuke atau yang lebih dikenal dengan nama pena Natsume Soseki lahir pada 9 Februari 1867 di Shinjuku dan meninggal pada 9 Desember 1916. Pada tahun 1900, Pemerintah Jepang mengirim Soseki ke Inggris melalui program beasiswa. Tahun 1903, ia pulang ke Jepang dan kembali mengajar di Tokyo Imperial University.

Tema-tema utama yang muncul dalam karya-karya Natsume Soseki adalah kehidupan masyarakat dalam berjuang melawan kesulitan ekonomi, konflik antara tugas, keinginan dan harapan, loyalitas dan mentalitas kelompok melawan kebebasan dan individualitas, keterasingan individu dan kesendirian, pertumbuhan industrialisasi Jepang beserta konsekuensi sosialnya, keterbukaan Jepang dalam menerima kultur Barat, dan pandangan pesimistis sebagai sifat bawaan manusia.

Soseki juga menaruh perhatian pada para penulis yang tergabung dalam Shirakaba Literary Group. Dalam tahun-tahun terakhirnya sebagai penulis, Ryunosuke Akutagawa dan Kume Masao menjadi pengagum gaya menulisnya.



Sekedar Bacaan


McClellan, Edwin. 2004. Two Japanese Novelists: Soseki & Toson. Boston: Tuttle Publishing

Soseki, Natsume. 2004. My Individualism and the Philosophical Foundations of Literature. Boston: Tuttle Publishing

Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


1 komentar:

Sinema Review mengatakan...

Aduh mas Anggi Hafidz, tolong dong sertakan banner event lombanya di setiap post atau boleh tidak disertakan tapi harus ditaruh disidebar blog mas. Untuk pasrtisipasinya terimakasih.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...