Sabtu, 02 Maret 2013

Melombok: The Travelogue (Eps.3 - Tamat)

Travelogue sebelumnya:
 
Melombok Eps.1
Melombok Eps.2

Day 3 – 16 Desember 2012

This is the last day. The day that would all remains in our journey.

Tercatat di itinerary, kami akan mengunjungi Pura Lingsar dan Taman Narmada. Perlu dicatat, bahwa masyarakat Lombok sedikit banyak ikut terpengaruh budaya dari tetangganya, Bali. Sehingga terjadilah akulturasi budaya. Pura Lingsar adalah perwujudan akulturasi antara dua budaya yang ada di masyarakat Lombok saat itu. Hindu dan animisme.

Pura Lingsar



Menurut catatan Dinas Pariwisata Provinsi Lombok, Pura Lingsar dibangun sekitar tahun 1759, tahun dimana berakhirnya kekuasaan Kerajaan Mataram, oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem. Namun, menurut guide Lalu Zul, Pura Lingsar dibangun sekitar tahun 1714. Hal ini masuk akal karena Taman Narmada yang ada di 6 kilometer sebelah barat Pura Lingsar dibangun pada tahun 1727. Saya rasa, penelitian tentang sejarah Pura ini perlu dilakukan kembali setidaknya untuk mendapatkan detil riwayat pembangunan Pura itu sendiri.
Yang menarik dari Komplek Pura Lingsar ini adalah sejarah yang melingkupinya. Sejarah mencatat bahwa disini kehidupan antara dua umat beragama yang berlatar belakang etnis,kultur, dan keyakinan, dapat hidup berdampingan dengan tetap melaksanakan ajaran keyakinan masing-masing.

Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem  Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari kata maliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci. Sumber mata air yang ada di Kemaliq ini oleh Masyarakat Sasak dikeramatkan atau disucikan karena tempat tersebut mereka yakini sebagai tempat hilangnya (moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin.

Keberadaan ajaran Islam Wetu Telu di daerah Lingsar ini berasal dari Jawa melalui Bayan, atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah pada permulaan abad XVI. Islam Waktu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam. Sumber ajarannya berasal dari ajaran Sunan Kalijaga. Sinkritisme ini dalam kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam (Sufisme), dengan ajaran pantheisme. Sehingga animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham animisme. Ajaran inilah yang kemudian dinamakan Wetu Telu. Menurut ajaran Hindu, orang yang beragama lain tidak boleh dipaksa menerima ajaran agama Hindu. Tetapi yang  dipaksa oleh raja Bali adalah ajaran bahwa semua orang harus berterima kasih kepada Tuhan dengan agama, kepercayaan dan caranya masing-masing.

Pancuran Air


Sekitar komplek Pura Lingsar, terdapat sebuah mata air yang mengalir dari Gunung Rinjani. Air tersebut dialirkan ke sebuah kolah dimana terdapat air pancuran yang dipercayai masayarakat sekitar dapat memberikan efek awet muda. Air tersebut boleh diminum. Ingatan saya seketika melayang pada Tujuh Sumur petilasan Prabu Siliwangi di desa Cibulan, Kuningan. Ritual yang sama pun diisyaratkan oleh masing-masing kuncen. Saya sempat mencoba “keampuhan” mata air di komplek Pesiraman ini. Bukan untuk khasiat awet muda tetapi karena suhu udara yang memang panas.

Koin Make  a Wish

Berdoa sesudah lempar koin

Selain itu juga, ada sebuah kolam yang menampung air. Menurut mitos yang beredar, jikalau seseorang berdoa disana dan melempar koin uang recehan sambil membelakangi kolam, niscaya doanya akan terkabul. Sepintas, saya pikir mirip dengan kolam air mancur Fontana di Trevi, Roma, Italia sana. Tidak ada salahnya mencoba. Saya melempar koin sambil membelakangi kolam lalu berdoa. Berdoa bukanlah sesuatu yang terlalu salah. Bergantung pada keyakinan kita sendiri, seberapa yakin doa kita akan didengar Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Sesajen di Kolam

Kolam berisi koin
Perjalanan di sekitar Pura Lingsar kami akhiri menjelang waktu makan siang. Cuaca disana sangat panas. Saya sarankan, membawa peralatan seperlunya, sunglass dan sunblock sepertinya memang diperlukan disini. Selebihnya, pengunjung harus menyesuaikan dengan tradisi setempat. Maksudnya, tidak melanggar pakem yang ada, seperti mengenakan selendang kuning yang di ikat di pinggang sebelum masuk Pura.

Taman Narmada



Taman Narmada adalah taman seluas kurang lebih 2 hektar yang dibangun oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem pada tahun 1727. Taman ini adalah lokasi upacara Pakelem yang dilakukan setiap purnama ke-5 tahun Caka atau sekitar bulan Oktober sampai November. Selain merupakan lokasi upacara, Taman Narmada dan dipakai yaitu lokasi peristirahatan Raja dalam saat musim kemarau. 


Taman Narmada berada di desa Lembuah, kecamatan Narmada, kabupaten Lombok Barat atau kira-kira 10 km sebelah timur kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Nama Narmada diperoleh melalui nama anak sungai Gangga yang sangat suci pada India adalah Narmadanadi. Dulu kala diperkirakan nama Narmada digunakan demi menamai mata air yang membuat bermacam kolam dan suatu sungai pada lokasi tersebut. Namun lama-lama dikarenakan sebuah kebiasaan pada akhirnya nama Narmada menjadi sebutan untuk keseluruhan komplek Taman Narmada.




Kelestarian Taman Narmada dilindungi oleh pemerintah karena Taman Narmada sebagai kompleks bangunan cagar alam yang sudah terdaftar melalui daftar induk inventarisasi peninggalan sejarah. Bangunan-bangunan lain di seputaran Taman Narmada kini telah amat tidak gampang ditelusuri keasliannya.

Di Taman Narmada ini, beberapa dari kami mencoba untuk mengikuti sebuah ritual di Pura yang letaknya di pinggir sebuah danau di dalam komplek. Konon, air dari Gunung Rinjani yang ada disini juga dipercaya berkhasiat sama dengan dengan air di Pesiraman Pura Lingsar, punya khasiat membuat awet muda. Kami membeli dua jerigen kecil yang kemudian diisi air dari mata air disini sebagai bekal perjalanan pulang. Karena memang sedang haus,saya menghabiskan setengah jerigen sendirian. Konon lagi katanya, air tersebut sudah pernah diteliti dan memang mengandung mineral yang cukup besar sehingga terasa menyegarkan.


Taman Narmada tak ubahnya sebuah taman rekreasi dengan berbagai macam wahana. Tata ruang lanskap di sekitar komplek yang dibuat sedemikian rupa membuat pengunjung tidak akan bosan untuk sekedar berjalan-jalan di sekitar komplek taman. Pada beberapa sudut taman, banyak ditemui penjual makanan ringan dan buah-buahan. Kami tidak berlama-lama disini karena harus segera bersiap menuju restoran tempat makan siang untuk selanjutnya kembali pulang ke Jakarta.

Konklusi



Perjalanan di Lombok ini buat saya sama dengan sebuah perjalanan budaya. Artinya, sebuah perjalanan melintasi ruang waktu dan budaya lokal. Perjalanan dimana saya mencoba membuat sebuah perbandingan antara modernisasi dengan nilai-nilai tradisionalitas lokal Masyarakat Lombok. Modernitas sebagai efek dari globalisasi telah membuat kehidupan bisnis pariwisata dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar. Sedangkan, ekses dari kenyataan itu adalah pudarnya nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai tradisional.

Akulturasi budaya yang terjadi antara masyarakat Hindu Bali, Islam Jawa, dan animisme lokal, telah menghasilkan paduan yang beragam terhadap perkembangan budaya masyarakat Lombok. Hal ini patut disyukuri karena keragaman tersebut justru memperkuat khazanah dinamika kehidupan masyarakat Lombok.

Saya beruntung karena berhasil mempengaruhi teman-teman kantor untuk memilih Lombok sebagai destinasi wisata. Sebuah destinasi yang tidak hanya berarti senang-senang saja, tetapi personally meninggalkan bermacam kesan dengan banyak catatan terhadapnya. Nilai religiusitas dan tradisi budaya masyarakat Lombok yang unik menjadikan pengalaman ini menjadi sebuah perjalanan yang sangat berkesan.

Sempat terpikir, apakah saya harus seperti Jenderal Douglas MacArthur, mengucapkan kalimatnya yang terkenal: “I Shall Return..” Ah, saya rasa tidak perlu. Kalaupun ada kesempatan untuk kembali lagi, saya tentu tidak akan menolak.


Senggigi-Paninggilan, Januari 2013

3 komentar:

Lelly Dwi Ambarini mengatakan...

Pengen ke Lombooooookkk... :D :D

Unknown mengatakan...

kemaliq tdk bisa di gabungkn dngn pura, kemaliq lbh dlu ada dri pura, sejarah kemaliq adalh asal usul desa lingsar, kemaliq itu bkn tmpt pemujaan org sasak Looo..!!!!
ingt ingt,,,,,jng optimis tentang suber iformasi yg anda beritakan ini

Unknown mengatakan...

kemaliq tdk bisa di gabungkn dngn pura, kemaliq lbh dlu ada dri pura, sejarah kemaliq adalh asal usul desa lingsar, kemaliq itu bkn tmpt pemujaan org sasak Looo..!!!!
ingt ingt,,,,,jng optimis tentang suber iformasi yg anda beritakan ini

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...