Selasa, 23 Oktober 2012

Black Interview: Menggugat Jakarta 100 Tahun dari Sekarang

Pernahkah membayangkan bagaimana kehidupan di Jakarta, 100 tahun dari sekarang?

Selalu menarik untuk membahas Jakarta dari berbagai sudut pandang. Jakarta bukan hanya dapat dipandang sebagai suatu letak geografis semata. Jakarta adalah suatu entitas yang terus berkembang dan menggeliat. Jakarta adalah soal segalanya. Impian, kesuksesan, peradaban, popularitas, kekuasaan, and all that you can’l leave behind (sounds like judul album U2 :p ). Jakarta masa depan adalah Jakarta masa kini. Jakarta tidak pernah kehabisan pesona. Jakarta, Jakarta, Jakarta.




Buku ini bukan kumpulan cerpen tentang Jakarta. Penulisnya cenderung lebih suka menyebutnya sebagai “laporan jurnalistik imajinatif”. Imajinatif. Kata kunci untuk dapat menikmati dan lebih memahami esensi buku ini. Jakarta adalah magnet yang tidak pernah berhenti memancarkan pesonanya. Kini, dan entah 100 tahun lagi.

Andre Syahreza mengungkap berbagai sisi kehidupan di Jakarta dengan imajinasi pada 100 tahun kedepan. Ia menghadirkan imaji tentang citra kota Jakarta sebagai metropolitan yang tidak pernah tidur. Black Interview menantang pembaca dengan sindiran-sindiran khas black comedy atau komedi satir. Black Interview menjungkalkan logika-logika yang sedang berlangsung di masa sekarang dengan menciptakan ruang imajinasi atas segenap interpretasi di masa mendatang. Jakarta, 100 tahun dari sekarang. Dekonstruksi realitas sangat kental sebagai unsur utama dalam buku ini. Pembaca diajak untuk melepas segala macam pengalaman nyata soal Jakarta.

Semua hal yang bisa ditemukan di Jakarta, bakal ditemukan juga disini. Mulai dari kesemerawutan kota dan imajinasi tentang bau parfum yang bisa membuat kita melupakan segala kerumitan itu, soal busway dan segenap problematikanya, soal bisnis seks dan narkoba yang tetap jadi primadona, soal kebosanan atas segenap rutinitas harian, soal mall yang cenderung membela kepentingan gender tertentu, hingga soal legenda Si Pitung dan sejarah kota Jakarta. Semua terjadi lengkap dengan pengandaian pada suatu masa seratus tahun dari sekarang.

Meniru kata Seno Gumira Ajidarma pada bagian endorsement, Black Interview berhasil meleburkan genre jurnalistik dengan genre sastra. Imajinatif dan provokatif. Buku seperti ini memang sangat diperlukan untuk mewarnai kehidupan rutin kita yang cenderung monoton dan sudah mirip dengan kematian.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Personally, saya selalu suka untuk membaca segala sesuatu tentang Jakarta. Setelah novel adaptasi @adhityamulya, “Kejar Jakarta”; lalu kumpulan esai @mkusumawijaya, “Jakarta Tunggang Langgang” yang banyak mengadu wacana tentang ruang publik di Jakarta yang sudah terlanjur begini; hingga kumpulan esai dan fiksi “Jakarta Banget” (sekalian nebeng promosi :) ).

Tulisan favorit saya dalam buku ini adalah sebuah komedi satir berjudul “Hawa Air”. Tulisan yang mengingatkan kembali pada tahun terburuk dalam sejarah penerbangan Indonesia. Seperti tulisan lainnya, “Hawa Air” menegaskan dekonstruksi logika yang realistis dibalut rapi dengan konstruksi imajinatif sebagai “jiwa” dari keseluruhan buku ini.



Anyway, apresiasi terhadap Jakarta-apapun bentuknya-menandakan suatu perhatian khusus bagi publik. Jakarta seakan mewakili seluruh wajah orang Indonesia. Karenanya, impian dan segenap interpretasi publik akan Jakarta yang lebih ramah, bersahabat, dan manusiawi selalu dihadirkan dalam bentuk apapun, entah itu teks, visualisasi, atau bahkan hanya sekedar imajinasi.

Judul        : Black Interview
Penulis        : Andre Syahreza
Penerbit    : GagasMedia
Tahun        : 2008
Tebal        : 222 hal.
Genre        : Fiksi Jurnalistik

Medan Merdeka Barat, 23 Oktober 2012

Selasa, 16 Oktober 2012

Surat Cinta dari Medan #1


Aninda tercinta,

Aku memang tidak sempat melihat air matamu tadi pagi. Tapi, tak apa, bukankah kepergian seseorang seperti aku ini tidak perlu ditangisi? Air matamu terlalu mahal untuk melepas kepergianku. Dan, bukankah perpisahan selalu terjadi walau tanpa lambaian tangan?

Cuaca nampak bersahabat pagi ini. Entahlah untukmu. Banyak pertanyaanmu yang tak bisa kujawab semalam. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak mampu memikirkan apa-apa selain dirimu. Aku tidak pernah sanggup untuk meninggalkanmu barang sebentar saja. Medan sudah menantiku. 




Aku akan merangkai kisah disini tanpamu. Kita akan berpisah jarak dan waktu. Kau tahu Aninda, jarak dan waktu hanyalah penguji untuk cinta kita. Tanpanya, barangkali engkau dan aku tidak akan pernah tahu apa itu kesetiaan dalam harap penantian.

Aku baru saja mendarat di Polonia. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke hotel. Aku tulis surat ini dalam mobil yang mengantarku ke sebuah hotel bintang lima di tengah kota. Sudah kuduga engkau pasti akan menertawakanku. Sejak kapan aku mulai bersahabat dengan yang segala yang menyandang predikat “bintang lima”.

Begitulah, Aninda. Hidup membawa kita pada banyak kejutan tanpa harus kita minta. Aku tidak pernah membayangkan bakal mendapat fasilitas semewah ini. Semuanya lengkap disediakan. Full service, begitu mereka menamai layanan ini.

Aku lanjutkan menulis di kamarku yang terletak di lantai 20. Sebuah ruang yang cukup besar untuk menikmati panorama kota Medan. Semua nampak jelas membentang di depan mataku. Kelap kelip lampu di kota rmenambah semarak perasaan kagum. Hanya kabut di hatiku saja yang masih enggan mereda karena setiap kenangan yang kita ukir bersama.

Harusnya, malam ini aku berada disampingmu. Sama-sama menertawakan hidup kita yang harus kembali menjadi “robot-robot” industri keesokan harinya. Aku disini pun merindukanmu. Merindu pada bayanganmu yang melekat erat dalam pekat sunyi malam.

Yakinkan, Aninda. Aku akan kembali padamu. Hanya padamu. Untukmu, kan kujelang waktu. Hanya untuk bersamamu. Selalu denganmu.

Peluk erat dan cium mesra,


Medan, 14 Oktober 2012.

Senin, 15 Oktober 2012

Angel of My Heart

So, this is Monday. Do you have something to brighten up your Monday? Well, this is mine.


Siapa yang sih yang nggak pengen ditemenin model Victoria's Secret, apalagi bisa duduk sebelahan gitu di pesawat.



Nggak penasaran sama gimana cara doi bikin badannya tetep singset biar habis lahiran anak pertamanya? (Salam 3S: Salam Singset Selalu :)) )



Ciyuss?

Nggak penasaran juga kenapa doi lebih milih Dolce & Gabbana as her favourite designer?



Masya?





Macacih?


Miapah?


Visit her:
www.alessandraambrosio.com
www.twitter.com/AngelAlessandra



Medan, 15 Oktober 2012.

*images are reproduced from Youtube video. All trademarks shown here belong to their respective owner.


Twivortiare

Berawal dari sebuah notification di kotak masuk surel pagi ini, saya teringat pada tulisan lama yang hanya tayang di akun Goodreads saya. Saya tidak memposting ke blog ini setelah saya tahu bahwa Twivortiare ini akan diterbitkan kembali oleh penerbit Divortiare juga. Plus dengan beberapa perubahan (minor changes, perhaps), begitu kata si penulisnya @ikanatassa.


FYI, Twivortiare disini refer to edisi pertama limited edition published by @nulisbuku. Saya termasuk yang beruntung untuk mendapatkannya. Apalagi, ditambah bonus tanda tangan penulisnya. Suatu hal yang belum tentu bisa saya dapatkan bila menunggu hingga cetakan versi penerbit mainstream itu terbit.

Bytheway, taxiway, runway. I hope you enjoy this post. Please noted, sampai hari ini saya belum membaca Twivortiare edisi baru itu.



Kenapa @alexandrarheaw start to tweeting in 23rd January, not in my birthday 19th January?


Buku Twivortiare dateng juga. Well, here some initial report: twitterature. Ketika fiksi membentuk dunianya sendiri. Ini masih akan jadi publishing trend yang happening banget. Awalnya, Kicau kacau penulis galau si Indra Herlambang, kumpulan @sajak_cinta, Twitit by Djenar Maesa Ayu, and now Twivortiare. Realitas fiksi semakin diuji ketika tokoh-tokoh fiktif itu dihidupkan. 

AFAIK, @alexandrarheaw did it well. Menghidupkan tokoh fiksi dari Twivortiare sehingga menarik pengalaman pembaca untuk benar-benar terlibat dalam dunia fiksi yang dibangun oleh frame set and field of experience dari Divortiare-Twivortiare. Ini menandakan babak baru dalam kehidupan sastra Indonesia. Major changes in telco industry has been contributed on significant effect in the way we communicate the ideas. Also, the rapid development on communication technology has been changing the way we communicate now.

Cerita-cerita tentang bagaimana Beno berhasil mendekati dan menikahi Alexandra untuk kedua kalinya, sketsa-sketsa pertengkaran Beno dan Alexandra, hingga pertanyaan-pertanyaan tentang kelanjutan hidup Beno dan Alex yang mulai menginginkan 'orang ketiga'-seroang anak dalam kehidupan mereka, semua dirangkum melalui cara bercerita yang sangat berbeda.

Melihat kembali konteks judul, hal ini sangat lumrah. Hanya masalah penyajian saja yang menghasilkan pengalaman-pengalaman yang tentu berbeda juga. Narasi cerita yang sangat jauh berbeda antara Divortiare dan Twivortiare tentu menghadirkan pengalaman tersendiri bagi pembaca karya-karya Ika Natassa. Pada Twivortiare, kekuatan kata-kata menjadi lebih terasa. Kekuatan yang dibentuk justru dalam keterbatasan 140 karakter. Imajinasi pembaca dituntut untuk sedikit lebih fokus menyimak penggalan-penggalan kisah cerita hingga pada akhirnya.

Sebagai sekuel dari Divortiare, Twivortiare hadir untuk menegaskan kembali ending dan kelanjutan jalan cerita dari Divortiare. Ada keseragaman dan keselarasan konteks yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman membaca Divortiare.


Bandung, 5 Maret 2012
ditulis kembali disini: Medan, 15 Oktober 2012.

Minggu, 14 Oktober 2012

Takdir Cinta

Katanya, be careful of what you're wishing because you'll never knew when it comes to you. I do believe on such those words. Things just happened, without ever notice, sometimes. It may happen to all of us. Seperti kata @agus_noor dan @djenarmaesaayu dalam cerpen Kunang-Kunang di Dalam Bir, kita tidak pernah bisa meminta takdir seperti kita meminta segelas bir.

Katanya, kalau kita menginginkan sesuatu maka seluruh alam ini akan berkonspirasi untuk mendukung kita mencapainya. Termaktub dalam buku The Secret, dimuat juga sebagai buah pikiran dalam Laskar Pelangi. Pun, dalam konsep Mestakung alias Semesta Mendukung.

Katanya, things happen for a reason (reasons juga sometimes), nothing's free in this world. Saya tidak tahu apa ada hubungan diantara mereka semua. Padahal, ketika kita menginginkan sesuatu justru kita gagal mendapatkannya. Yang terakhir ini, ngutip dari @adhityamulya di bukunya "Gege Mengejar Cinta" #GMC.



What i want to tell you here is... Masih inget postingan terakhir di bulan September. Masih inget waktu saya nulis harus punya mokit Patlabor sebelum nikah? Kalau masih belum mudeng, sila lihat Selendang's Archice di tab sebelah kanan. 

Alhasil, gak lama setelah posting itu selesai ditulis dan selesai pula target posting bulanan, saya berhasil menemukan yang dicari. Saya tidak tahu harus berapa kali lagi mengucapkan: Thank God, It's Kaskus! Memang sedikit kecewa waktu tahu barang yang diincar sudah keduluan sama orang lain :( , but at least tangan Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada mokit Bandai, mokit lain pun jadi. 

Ini memang saya yang kurang gaul atau memang lack of knowledge. AV-98 Ingram 1 ini keluaran tahun 2011. Berarti, sudah setahun lebih. So, i keep asking myself: kemana aja loe? Anyhoo, satu pekerjaan lagi sudah menanti diantara pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai dan tuntas. You may call me a procrastinator, if i may add.


Medan, 14 Oktober 2012

NB: Judul posting sengaja dibuat begitu, sama dengan judul lagu Rossa yang jadi OMPS Ayat-Ayat Cinta, supaya lebih dramatis kayak kisah Fahri *ngarep tepuk tangan pembaca*

Kamis, 11 Oktober 2012

Story of a Song: Bidam

Title : Bidam (Sad Story)
Singer : Lee Yo Won
Album : OST. The Great Queen Seon Deok Special Part 2 (2009)

Korean

baraboneun geudae nune garyeojin nunmuri boyeoyo
amureochi antago haedo alsuitjyo manhi himdeureotdangeol

naransaram, geureonsaram, saranghan cham gomaun geudae
honja ulgo geuriwohago, huhoehaneun nan babogatayo

i noraereul deutgo innayo ireon nae mam deullinayo
doragal su eomneun gireul tteonangeotcheoreom jeomanchi deo meolli inneyo
saranghaeyo saranghalgeyo orae orae gieokhaeyo
daeum sesang uri dasi mannalttaekkaji ichyeojiji anke

naransaram, geureonsaram, saranghan cham gomaun geudae
imi urin eogeutnan sarang, seuchyeogayo, aesseuji marayo

i noraereul deutgo innayo ireon nae mam deullinayo
doragal su eomneun gireul tteonangeotcheoreom jeomanchi deo meolli inneyo
saranghaeyo saranghalgeyo orae orae gieokhaeyo
daeum sesang uri dasi mannalttaekkaji ichyeojiji anke


English

I see the hidden tears in your eyes
Eventhough you say nothing’s wrong, I know
It was very hard for you

Someone like who I am
Thank you very much for loving me
Crying and dreading by yourself
I'm regret like a fool

Chorus:

Are you listening to this song?
Can you hear my feelings?
Like leaving to a path you can’t turn back
The distance is far away
I love you, I will love you forever
I will remember you forever
Until we meet again in the next realm
So I won’t forget you

Someone like who I am
Thank you very much for loving me
Already our love is not meant to be
It passes, don’t make an effort

*****


Mendengarkan lagu ini sepintas rasanya mirip dengan lagu D’Cinnamons, So Would You Let Me. Barangkali, terbawa suasana oleh siang yang mendung dan hujan yang membuat semua terasa begitu syahdu dan menyentuh. Ditambah lagi dengan kesendirian yang berteman sepi semakin membuat saya tersentuh. Kalau D’Cinnamons memulai lagunya dengan petikan gitar akustik, Bidam dimulai dengan permainan piano bertempo lambat. Kalau boleh berkomentar, rasanya sama galaunya.

Adalah suatu hal yang baru bagi saya untuk mendengarkan lagu berbahasa Korea. Memang ini bukan yang pertama. Semenjak drama televisi “Full House” tamat tidak pernah terbersit dalam benak saya untuk mencoba menikmati lagu Korea. Lagipula saya tidak begitu mengikuti drama-drama dari Korea. Seperti mengikuti sinetron saja rasanya.

Namun semua itu menjadi terbalik medio Februari kemarin. Tepatnya, sejak saya menyenangi sinetron berjudul “Surgeon Bong Dal Hee”, dimana penyanyi lagu ini, Lee Yo Won, jadi pemeran “Bong Dal Hee” dalam drama tersebut. Ini adalah kali pertama sejak era “Full House” dimana saya mulai menonton drama Korea lagi.Memang pada akhirnya drama itu tamat juga. Namun, kesan yang ditimbulkannya sangat dalam.

Memang lagu ini bukan OST Surgeon Bong Dal Hee melainkan drama lainnya yang masih dibintangi Lee Yo Won yaitu “The Great Queen Seon Deok”. Namun, demi alasan kesan yang tertinggal, saya memutuskan untuk mendownloadnya dan menikmatinya. Saya tidak cukup paham bahasa Korea, tetapi sedikit petunjuk dari sebuah blog sudah cukup untuk membantu menafsirkan isi dan maksud lagu tersebut.

Secara teknik vokal, Lee Yo Won masih terlihat biasa saja. Ada beberapa nada tinggi di bagian reff yang tidak dapat dicapai. Bagi pendatang baru yang memang tidak dibesarkan untuk jadi penyanyi saya rasa sudah cukup. Barangkali, kalau lagu ini dinyanyikan oleh penyanyi profesional tentu akan lebih baik walau akan kehilangan sedikit kesan dari suara penyanyi aslinya.

Bagaimanapun, lagu ini telah memberikan nuansa yang berbeda dalam hidup saya yang semakin terasa datar ini. Barangkali, dengan adanya sesuatu yang baru ini semakin membuka mata, hati, telinga, dan pikiran saya terhadap berbagai macam pengalaman baru. Semakin saya mendengarkan lagu ini, semakin ingin saya menikmatinya dengan galau, sendirian saja.

Additional Note (sebuah catatan dadakan)

Memang lagu ini bukan lagu Korea pertama saya. The first was still soundtrack from "Full House" (saranghaeyo Ji Eun <3 ). Waktu itu, siapa sih yang nggak terpesona sama sinetron Korea yang satu ini. Jauh sebelum #KoreanWave menggila seperti sekarang. Saya mulai mendengarkan lagu Korea setelah khataman “My Girlfriend is a Gumiho (special thanks to @anindarizka for recommending this one, GBU). Shi Min Ah did it well to sing Sha La La. Jadi kebayang scenes dimana si Miho disakitin sama Dae Woong.


Anyway, back then, Gumiho membuat saya tersadar (plis, nggak pake nyanyi kayak Raisa. Sekarang aku tersadar...) bahwa saya masih punya dua serial Korea yang belum ditamatkan. Surgeon Bong Dal-Hee dan Fashion 70's dimana Lee Yo Won ikut main. So, lately when i realize it, this Bidam songs remains in my head. Seperti nostalgia yang biasa, this song bringing back all the memories left. Saat rasa masih bersauh berharap menambat pada labuhan hati terakhir. Dan aku tak ingin terjebak nostalgia (halah, ngambil judul punya @raisa6690 lagi :)) ).





Paninggilan, 2 Mei 2010, 14.45
catatan dadakan ditulis di Paninggilan, 11 Oktober 2012 (at Lelly's birthday)

*original lyrics and translation provided by princess-chocolates.blogspot.com


Senin, 08 Oktober 2012

Namaku Hiroko (dan catatan lainnya)

“Ya. Aku puas dengan kehidupanku. Hidup di tengah kota yang beragam. Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku.” – hal. 242.

Bicara tentang Hiroko tentu tidak akan lepas dari segenap asal muasal latar belakang budaya yang membentuknya. Mendengar namanya, sudah tentu pikiran kita akan merujuk pada suatu negeri dimana sakura bermekaran pada musimnya. Saya mengenal Hiroko dari judul buku ini: Namaku Hiroko dan satu judul lagi yaitu: Jepun Negerinya Hiroko. Lantas, saya kerap menggunakan istilah ‘Negerinya Hiroko’ untuk menyebut nama Jepang dalam beberapa tulisan terdahulu.



Namaku Hiroko adalah buku kedua dari Nh. Dini yang saya baca setelah “Argenteuil”. Bila Argenteuil lebih banyak bercerita tentang memoar yang dialami penulis menjelang perceraian dengan suaminya. Sejak pertama, berkenalan dengan karya beliau, saya langsung jatuh cinta dengan gaya penuturan yang lempeng dan terkesan biasa-biasa saja namun kaya akan deskripsi. Sejak saat itu juga saya berniat untuk membaca buku-buku seri kenangan Nh. Dini.

Gaya bertutur yang sama masih saya temukan dalam Namaku Hiroko. Selain kagum dengan gaya penulisan, saya juga dibuat kagum oleh tokoh Hiroko ini. Bermula dari seorang gadis kampung biasa, Hiroko menjelma menjadi seorang perempuan yang paripurna. Memiliki segala impian yang hanya bisa mampu diimpikan sebagian kaumnya, dimasanya.

Cerita Hiroko berlangsung pada masa pasca perang dunia ke-2. Suatu masa dimana kehidupan penduduk Jepang berada di persimpangan. Corak kehidupan Jepang tradisional berhadapan dengan datangnya gelombang gaya hidup urban masyarakat perkotaan yang semarak. Pada masa itu, Jepang bisa dikatakan berada dalam periode dilematis. Masyarakat Jepang di kota-kota besar mengalami pertentangan nilai. Antara mengimbangi kemajuan atas nama pengaruh budaya Barat atau mempertahankan nilai-nilai dan estetika kehidupan tradisional. Sedangkan, masyarakat tradisional Jepang masih memegang erat budaya turun temurun peninggalan nenek moyang mereka.

Lika-liku kehidupan mengantarkan Hiroko pada berbagai pengalaman yang kelak akan berguna pada kehidupannya di masa mendatang. Memulai perjuangan hidup sejak menjadi pembantu di rumah seorang konsul, Hiroko belajar melihat dunia. Dunia seakan membentang dihadapannya. Hiroko belajar memahaminya satu persatu. Tak lama, Hiroko harus kembali ke desa karena Neneknya meninggal.

Hiroko kembali merasakan semarak gairah kehidupan kota besar setelah bertemu dengan Tomiko. Teman sekolahnya dahulu yang membawanya ke kota. Hiroko memulai kembali perjalanan karirnya menjadi seorang pembantu. Setelah jenuh, ia mendapatkan pekerjaan di toko besar. Katakanlah sebuah mall. Dengan pekerjaannya itu, Hiroko mendapatkan segala pelajaran yang mengajarinya tanpa diminta. Kejadian demi kejadian datang menghampirinya. Hiroko mengisi waktu luangnya dengan bekerja menjadi seorang penari telanjang di kabaret lokal. Sementara, Nakajima-san (yang ternyata nama depannya sama: Hiroko). Hiroko pun tahu rasanya  jatuh cinta pada suami sahabatnya sendiri. Suatu rasa yang kelak ia sesali ketika kekasihnya itu tidak muncul karena istrinya, Natsuko, mencoba bunuh diri.

Buat saya, Hiroko ini ibarat hidup di atas angin. Hiroko tidak pernah “ngeyel” mengharapakan sesuatu untuk terjadi padanya. Memang, Hiroko menghendaki kekayaan dan kemapanan sebagai atribut hidupnya. Identitas tanda keberhasilan hidup di kota. Tetapi, perlu dicatat, Hiroko tidak pernah mengusahakan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Kesempatan dan kesempatan menghampirinya tanpa bisa dibendung. Demi hasrat keinginannya, Hiroko pun tak kuasa menahan segala rasa untuk menjalaninya. Seperti dapat dibaca di akhir cerita, Hiroko telah mendapatkan arti “paripurna” sebagai seorang perempuan. Walau harus hidup sebagai istri simpanan Yoshida, suami Natsuko, sahabatnya.

Hiroko mengajarkan pembaca bahwa seorang perempuan pun mampu memiliki keberanian dan keteguhan hati untuk menjalani hidup tanpa sedikit pun rasa penyesalan. Hiroko, mungkin terlalu polos, tetapi itulah yang menjadikan angin seakan berhembus selalu ke arahnya. Hiroko mengalami dan menjalani hidupnya tanpa banyak kompromi sekalipun dianggap “melanggar” norma dan pakem yang berlaku di kehidupan masyarakat Jepang.


Off the Record

#1

Saya menemukan sebuah quote yang menarik di bagian tengah buku ini:

"..bahwa perkawinan adalah seperti sebuah pintu. Orang yang ada di luar ingin masuk. Sedangkan yang berada di dalam ingin keluar."

Kata-kata itu meluncur deras dari mulut Emiko, satu sahabat Hiroko yang menikah duluan. Dalam suatu perkumpulan dengan sahabat-sahabat, Emiko mengucapkan hal yang demikian itu agar para sahabatnya menjadi lebih aware tentang kehidupan pernikahan. Bahwa segala sesuatu yang nampak dari luar itu tidak nampak serupa dari dalam, oleh mereka yang menjalaninya.

#2

Saya cukup kagum pada Hiroko. Hiroko tidak merasa sungkan bahwa ia telah mengalami pengalaman yang tidak dialami banyak perempuan: menjadi penari telanjang. Hiroko tidak menyesali semua yang terjadi padanya. Hal ini sangat kontras dengan tokoh-tokoh perempuan dalam buku Seno Gumira Ajidarma, Atas Nama Malam.

Dalam ‘Atas Nama Malam’ SGA mempertanyakan “penyesalan” yang kerap dialami perempuan-perempuan malam. SGA ingin mendapatkan pernyataan yang berani dari seorang pelacur. Bahwa mereka menjalani kehidupannya yang seperti itu karena mereka memang menghendakinya. Bahwa menjadi seorang pelacur itu adalah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan uang.

Judul        : Namaku Hiroko
Penulis     : Nh. Dini
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun       : 1986 (cetakan I)
Tebal        : 247 hal.
Genre       : Novel

Medan Merdeka Barat, 8 Oktober 2012.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...