Senin, 01 September 2008

Catatan Pertama Seorang Pustakawan di Bulan Ramadhan

Ada yang berbeda di Ramadhan tahun ini. Kali ini, aku menjalaninya sebagai seorang pustakawan. Seorang pustakawan yang bersarang di sebuah bukit. Andai saja aku berkantor di sebuah gunung, aku ingin berada di Gunung Kendalisada agar bisa berjumpa Hanoman yang sedang bertapa*). Malam pertama tarawih tidak ada yang berbeda. Semua orang mulai dari anak-anak, remaja-remaji, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, semuanya memenuhi masjid yang mulai akan terlihat aktif lagi sepanjang bulan ini. Semuanya seakan ingin kebagian pahala dan tidak ingin melewatkan kesempatan pertama untuk membukukan pahala-kalau kebagian.

Hari pertama ini aku berada di kantor menulis kisah ini. Harusnya hari ini aku libur. Sementara, anak-anak sekolah diliburkan oleh Gurunya-kecuali sekolah non muslim. Entah kenapa, aku tidak mau membuat prasangka, siapa tahu itu bisa mengurangi amalku. Alasan yang logis adalah "munggahan". Aku tidak tahu jelasnya itu sebuah tradisi atau apa. Yang aku tahu, setiap awal bulan Ramadhan aku selalu mendengarnya. Dan sepertinya, memang telah menjadi tradisi. Belum lagi message-message di Handphone atau e-mail yang penuh dengan ucapan selamat datang bulan Ramadhan. Hampir semua message yang masuk lewat e-mail sama semua, barangkali cuma si Mantan Pustakawan Bisnis Indonesia yang berbeda. Kalau mereka yang kreatif pasti akan membuat sesuatu ucapan yang baru. Ini mungkin berulang nanti waktu lebaran.

Aku tuliskan kisah ini berteman lagu dari Iis Sugianto yang berjudul Jangan Sakiti Hatinya. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku yang deadlinenya semakin dekat. Adzan Ashar sudah terdengar. Aku masih akan tetap disini menulis kisah ini walau aku tahu kau pun mungkin belum tentu membacanya. Aku akan tetap duduk sambil mencoba mencetak label buku-buku itu.

Tadi malam aku merasa aneh sekali. Seaneh perasaan rawan kala memandang pohon itu. Paginya, seperti biasa. Shalat Subuh berjamaah pertama di bulan ini masih dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang diberi tugas mencatat ceramah tarawih dan subuh. Subuh pada awal Ramadhan terlihat lebih baik, karena kalau pada hari biasa seluruh warga jamaah masjid seperti tertidur lelap terkena ajian Sirep Indrajit*) walau kadang hanya terbangun mendengar suara adzan Subuh. Setelah itu, majelis ta'lim ibu-ibu akan bertadarus hingga waktu Dhuha. Nanti malam, mereka yang anak-anak itu akan memaksa panitia penyelenggara yang ada di setiap masjid untuk sekedar meminta tanda tangan dan cap DKM. Semuanya biasa dan sudah wajar terjadi sehingga menjadi suatu kebiasaan.

Apalagi yang akan kutuliskan. Menjelang berbuka nanti setiap saluran televisi akan menampilkan tayangan tausiyah dari para ustadz terkemuka. Biasanya setiap tampil mereka tidak hanya membawa pesan tausiyah tapi juga pesan sponsor yang nebeng. Kalau suatu saat kau lihat mungkin bisa berupa lokasi shooting, atau (yang paling ngetop) adalah busana atau wardrobe yang dikenakan. Haah, selalu seperti itu. Semoga Ramadhan kali ini tidak menjadi suatu rutinitas yang biasa-biasa saja (untukku). Ramadhan bukan alasan untuk menjadi malas dan tidak produktif. Karena ini masih awal dan belum ada undangan buka puasa bersama, kiranya tidaklah berlebihan bila aku mengucapkan: selamat menunaikan ibadah Shaum, semoga amal dan ibadah kita diterima dan diridhoi oleh Allah SWT.

Bukit Pakar Timur 100, 1 September 2008, 16.15


*) Cerita lengkapnya di buku "Kitab Omong Kosong", Seno Gumira Ajidarma, 2005
**) masih bisa dibaca di buku yang sama

1 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

selamat menunaikan ibdah puasa
salam kenalll
mas boleh tanya,mas pustakawan ya?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...