Kamis, 14 Agustus 2008

Catatan Seorang Pilot Selendang Air


Dalam hidupku yang biasa ini aku merasa tak ada lagi yang harus dan bisa kuceritakan. Apa lagi yang harus kuceritakan? Sebagai seorang pilot tugasku hanya menerbangkan pesawat. Itu saja. Aku hanya lihat awan-awan itu diatas sana. Belum lagi segala alat instrumen penerbangan. Mulai dari tekanan bahan bakar, hidrolik, dll, di dalam kokpit. Untuk urusan yang satu ini aku hanya ingin agar penumpang (dan aku juga tentunya) selamat di perjalanan. Aku tidak mau mendadak harus mendarat darurat di sebuah tempat terpencil hanya gara-gara instrumen di kokpit tidak berfungsi. Aku harus memastikan semuanya bekerja dengan baik. Walaupun ada campur tangan mekanik disana. Itulah bagian dari pekerjaanku.

Aku hanya menerbangkan pesawat. Mungkin kau bertanya bagaimana rasanya, bagiku rasanya sama saja dengan mengendarai motor atau bahkan delman sekalipun. Bedanya, pesawat bisa terbang dan nggak bisa dibawa sembarangan. Tidak bisa ugal-ugalan di jalan tol. Kalau aku tidak menjadi pilot tentu aku sudah memilih menjadi supir travel atau bus saja. Tapi yang lewat Tol Cipularang saja. Supaya aku bisa ngebut sengebut-ngebutnya.



Pernah sekali dalam hidupku yang begini ini aku tertarik pada seorang pramugari. Aku rasa umurnya sekitar 22 an. Kakinya semampai (bukan semeter tak sampai). Lekuk badannya begitu mempesona dibalut atasan satin ketat berwarna emas. Ah, ingin sekali rasanya ia yang jadi temanku terbang. Bukan si Midun itu yang hafalnya cuma rute Bandung-Jakarta saja. aku tahu dia juga suka padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama kala transit di kantin Bandara. Bahkan, kalau kami sedang off, kami sering jalan-jalan ke sebuah tempat di Bandung Utara. Pernah juga kami tenggelam dalam lautan manusia di dalam sebuah konser dangdut di Gasibu. Tapi bagiku itu tidak ada artinya ia hanya berlalu begitu saja. Seperti air putih yang hanya menghilangkan haus sekejap. Seperti itulah wanita-wanita berlalu dalam hidupku.

Hei, Tidakkah kau mau bertanya padaku bagaimana aku bisa bergabung dengan komplotan Selendang Air yang berada di bawah Selendang Warna Corporation, dengan seorang bos yang sering disebut sebagai Selendang Merah. Ah.. selendang merah mengingatkan aku pada sebuah lagu Anita Tourisia.

Tidakkah juga kau mau bertanya padaku tentang rasanya terbang ke Negeri Senja? Aku sempat merinding ketika membaca sebuah website yang membahas tentang Negeri Senja. Disana dituliskan bahwa siapa saja yang pergi kesana tidak akan bisa kembali. Aku menjadi ketakutan. Aku telah melewati bermacam-macam jenis badai dan aku tidak takut. Namun, mendadak aku menjadi ketakutan. Setelah aku tenang, aku berpikir. Aku hanya mengantarkan penumpang saja. Tidak lebih. Aku tidak akan menginap disana karena bandara disana kecil sehingga aku harus langsung kembali ke base. Justru penumpang lah yang akan berada disana dan tidak akan pernah kembali selamanya. Ha ha ha. Mungkin mereka semua memilih jalan keabadian. tapi, bukankah keabadian hanya ada di Surga? (untuk anda yang percaya kalau surga itu benar ada).

Tidakkah kau mau juga bertanya padaku tentang rasanya terbang ke Negeri Kabut? Hmm. minggu depan aku baru akan pergi kesana jadi aku minta simpanlah dulu pertanyaanmu. Tunggu aku kembali dari sana. Kalaupun aku mau, aku hanya ingin berhenti barang semalam saja. Karena esok paginya aku ingin melihat bagaimana wanita itu keluar dari apartemennya lalu membuka lingerie tidurnya, menampakkan buah dadanya hingga terlihat seekor kupu-kupu menjelma dari buah dadanya. Aku juga ingin tahu yang orang sebut sebagai Tempat Terindah untuk Mati. Kalau sempat aku akan membawa pesawatku melintasinya dan mengambil foto udara. Tua-tua begini pesawatku masih bisa ditambah perangkat foto udara, seorang mekanik sahabatku yang memasangkannya. Dia bilang, dia ambil alat ini kala dia menyervis pesawat intai milik Angkatan Udara sebuah negara tetangga.

Apa kau mau tahu rasanya terbang dari Bandung-Magelang-Yogyakarta via Madrid-Helsinki? Rasanya hanya seorang penumpang yang gila saja yang memintaku untuk mengantarkannya kesana. Bagaimana tidak, pesawatku berkode PK yang artinya kode dari Indonesia. Dan kau tahu sendiri kalau semua pesawat Indonesia kena larangan terbang oleh Uni Eropa. Tapi aku harus tetap terbang ke Madrid dan Helsinki. Kau tentu mau tahu bagaimana aku bisa lolos melewati hadangan barikade Uni Eropa ketika aku masuki wilayah udara terluar mereka. Lalu bagaimana pesawatku yang cuma Boeing 737-200 yang tua itu dikejar oleh E-2000 Eurofighter dan satu skuadron panAvia Tornado yang siap melepaskan rudalnya kapan saja. Lalu, belum lagi satu skuadron Harrier sudah menunggu ketika aku melintasi selat Channel. Ah, buatmu itu tidak terlalu penting.


Bukit Pakar Timur, 14 Agustus 2008, 19.20


Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...