Jumat, 15 Agustus 2008

Merdeka (Sudahkah kita?)


Salam,

Bung, anda bertanya itu antrian apa?. Itu bukan antrian di pom bensin. Ah, saya rasa anda juga tahu gambar itu diambil dimana. Setiap weekend anda selalu main ke Bandung kan? Jadi saya tidak perlu lagi bercerita banyak tentang gambar itu. Gambar hanyalah sebuah gambar yang merekam suatu peristiwa.

Setelah lulus kuliah Bung langsung ke Jakarta, dan saya masih tetap di Bandung. Begitulah Bung, keadaan kota kita ini Bung. Setiap weekend terutama. Bung bisa lihat gerbang Tol Pasteur yang macetnya pernah sampai 1,5 KM. Seperti begitu itulah kelakuan kita Bung. Kita tidak pernah merasa cukup. Kita selalu merasa ada yang kurang bila weekend tidak pergi ke Bandung. (Kita?...Bung saja barangkali).

Kebetulan hari kemerdekaan negara kita tahun ini jatuh pada hari Minggu, dan asyiknya Senin masih ditambah libur. Pasti anda tidak melewatkan kesempatan ini untuk segera pergi ke Bandung. Bung, anda, dan juga para pelancong dari Jakarta sana datang kesini dengan tujuan apa? Apa anda hanya ingin menikmati suasana ketika kita masih sering jalan kaki di Jalan Dipati Ukur? Atau anda cuma mau memborong semua barang jualan di Factory Outlet sepanjang Jalan Dago? Atau mau mencoba semua jajanan ala wisata kuliner di Bandung ini? Atau malah mau berdugem sepanjang malam? Mungkin anda semua mau mencoba menjadi peserta upacara di Lapangan Gasibu? Terserah Bung saja kalau begitu. Saya tidak akan ikut-ikutan. Saya hanya sadar ternyata kita belum sepenuhnya merdeka.

Kita belum merdeka Bung! Merdeka dari keinginan-keinginan kita. Dari nafsu-nafsu rendah kita. Yang hanya mengutamakan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kita tidak pernah tahu apa esensi kemerdekaan. Yang kita tahu kita hanya merdeka. Dan karenanya kita seperti terlena. Terlena. Bukan lagu dangdut yang dibawakan Ikke Nurjanah.

Merdeka itu bangkit. Merdeka itu melawan. Merdeka itu berjuang. Bangkit. Lawan. Berjuang. Bangkit dari segala keterpurukan di segala bidang kehidupan-pendidikan,ekonomi, ketahanan nasional. Lawan semua rintangan yang menghadang-suku, ras, agama, partai, golongan, dll. Berjuang dengan semangat pengabdian luhur pada Ibu Pertiwi. Rasanya yang seperti ini pernah Bung kenal waktu Prajab kemarin.

Bung kita merdeka itu memang benar merdeka atau entah karena baiknya Meneer-meneer dari Londo itu atau si Jepun yang memang mengalah kepada kita. Bung, waktu SD, ketika upacara bendera 17-an, anda terlihat sangat menjiwai kemerdekaan yang telah kita raih ini. Anda begitu semangatnya menyanyikan Indonesia Raya dan menangis ketika lagu Mengheningkan Cipta dikumandangkan. Saya harap anda tidak kehilangan momentum itu Bung.

Kalau saja setengah warga negara ini yang seperti Bung rasanya kita tidak akan kehilangan harapan tentang masa depan yang cerah. Sehingga, Taufik Ismail pun akan menyesal karena telah malu jadi orang Indonesia.

Salam dari Bukit,

NB: Apakah tirai mobil Bung diganti juga jadi merah putih?

Bukit Pakar Timur 100, 15 Agustus 2008, 15.07



Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...